Ilustrasi asma. (Pexels)

Setiap tahun, pada hari Selasa pertama bulan Mei, dunia memperingati Hari Asma Sedunia sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran tentang asma—sebuah kondisi pernapasan kronis yang memengaruhi ratusan juta orang di seluruh dunia. Tahun ini, peringatan jatuh pada tanggal 6 Mei 2025, dengan tema yang sangat relevan dan penuh harapan: “Jadikan Perawatan Inhalasi Dapat Diakses oleh SEMUA ORANG”. Tema ini menjadi seruan global untuk memastikan bahwa setiap individu yang hidup dengan asma memiliki akses terhadap perawatan yang memadai, terutama inhaler yang menjadi penopang utama pengendalian gejala dan penyelamat dalam serangan akut.

Peringatan ini diinisiasi oleh Global Initiative for Asthma (GINA) bekerja sama dengan berbagai kelompok tenaga kesehatan dan pendidik asma. Tujuannya sederhana yaitu membangun pemahaman publik terhadap penyakit yang telah lama menjadi momok diam-diam ini.

Sejarah Panjang dan Kompleksitas Asma

Asma bukanlah penyakit baru. Mengutip laman National Today, catatan tertulis dari Tiongkok sekitar tahun 2600 SM telah menyebutkan gejala pernapasan yang serupa. Dalam teks Mesir Kuno, keluhan seperti sesak napas dan gangguan saluran napas pun terekam. Hipokrates, tokoh kedokteran Yunani Kuno pada abad ke-5 SM, tercatat sebagai orang pertama yang menghubungkan kondisi ini dengan faktor lingkungan dan pekerjaan. Kemudian, sekitar tahun 100 SM, Aretaeus dari Kapadokia menyusun definisi asma secara rinci yang mencerminkan pemahaman ilmiah modern.

Pada masa Romawi, Plinius yang Tua mengenali hubungan antara serbuk sari dan kesulitan bernapas, bahkan merekomendasikan bentuk awal pengobatan serupa epinefrin yang kini dikenal sebagai pereda cepat. Pada abad ke-19, Dr. Henry H. Salter memperkenalkan gambaran medis yang lebih akurat mengenai mekanisme asma di paru-paru. William Osler dari Johns Hopkins pada akhir abad tersebut menambahkan bahwa asma berkaitan erat dengan alergi dan faktor genetik. Ia juga menyebut pemicu seperti iklim, emosi ekstrem, dan pola makan.

Perkembangan penting terjadi pada tahun 1980-an, ketika pemahaman medis mengarah pada kesadaran bahwa asma merupakan kondisi peradangan yang melibatkan sistem imun. Dari sinilah lahir pendekatan pengelolaan jangka panjang, bukan sekadar penanganan gejala saat muncul.

Menurut data WHO pada tahun 2019, sebanyak 262 juta orang di seluruh dunia menderita asma dan lebih dari 460.000 di antaranya meninggal dunia. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat sejak 1980-an. Ini menunjukkan bahwa meskipun pengetahuan dan teknologi medis berkembang, tantangan akses perawatan masih membayangi banyak negara, terutama yang berkembang.

Upaya Pencegahan dan Pengelolaan

Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa pencegahan memainkan peran krusial dalam mengelola asma. Berdasarkan rekomendasi dari PACE Hospital, sejumlah langkah preventif yang bisa dilakukan antara lain:

1. Menghindari polusi udara, suhu dingin ekstrem, dan wewangian menyengat

2. Menjauh dari sumber alergen seperti debu dan serbuk sari

3. Menghindari paparan asap rokok, lilin, dupa, serta kembang api

4. Menjaga kebersihan lingkungan

5. Menghindari kontak dengan penderita infeksi saluran pernapasan

6. Melakukan vaksinasi tepat waktu, termasuk untuk pneumonia, difteri, dan batuk rejan

Tema “Jadikan Perawatan Inhalasi Dapat Diakses oleh SEMUA ORANG” merupakan ajakan yang mendalam akan keadilan kesehatan. Inhaler adalah alat utama bagi penderita asma untuk menjaga kualitas hidup dan menghindari komplikasi serius. Sayangnya, di banyak wilayah dunia, harga, keterbatasan distribusi, atau kurangnya edukasi membuat alat ini tidak tersedia bagi yang membutuhkan.

Hari Asma Sedunia 2025 mengajak kita semua, tenaga kesehatan, pemerintah, komunitas, dan individu, untuk bersatu memastikan bahwa tidak ada satu pun penderita asma yang terabaikan hanya karena persoalan akses. [UN]