BANYAK yang mencurigai, ada kepentingan bisnis perusahaan farmasi di balik kampanye berhenti merokok konvensional. Yang kerap menyuarakan suara kritis ini di Indonesia adalah mereka yang bergabung dalam Komunitas Kretek. Rokok kretek adalah rokok khas Indonesia, yang bahan utamanya adalah tembakau dan cengkih.
Dalam opininya yang dimuat di di situs komunitaskretek.or.id pada 21 Juni 2017 lampau, aktivis Komunitas Kretek Azami Mohammad menilai, publik selama ini disuguhi slogan-slogan kampanye yang menstigma rokok melulu negatif. Yang meneriakkan kampanye itu adalah orang-orang yang dianggap otoritatif mengenai kesehatan.
“Sekali gosok isu rokok versus kesehatan, publik akan gampang percaya begitu saja tanpa melemparkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Sebab, konten kampanye yang dilempar bersifat negatif dan juru kampanyenya dianggap otoritatif. Kedua kombinasi ini sukses meruntuhkan sikap kritis kita terhadap apa yang ada dibalik persoalan rokok,” tulisnya.
Alasan melepas ketergantungan, merugikan negara, tidak baik untuk dikonsumsi, dan tawaran produk alternatif yang diklaim lebih baik, menurut Azami, tak lebih dari strategi pemesaran semata. “Agar konsumen tak punya pilihan lain, beralih konsumsi ke produk lainnya,” ungkapnya.
Azami juga mengutip hasil penelitian Wanda Hamilton dari Amerika Serikat, yang menguak kepentingan bisnis nikotin yang dialihkan dari produk hasil tembakau ke produk farmasi. Melalui kampanye bebas tembakau kemudian berkembang menjadi bisnis nikotin gaya baru yang dikelola korporasi farmasi internasional.
“Transperancy Market Research (TMR) yang berpusat di New York melansir data bahwa bisnis yang akrab disebut sebagai smoking treatment industry ini menghasilkan US$ 6,5 juta dari pasar global pada tahun 2014. Angka ini, menurut TMR, akan terus bertambah tiap tahunnya dan bakal mencapai US$ 20,5 juta pada tahun 2023. Sebuah angka yang tidak kecil untuk bisnis yang menggunakan dalih membebaskan dunia dari tembakau, tapi menjadikan nikotin sebagai produk jualannya,” tulis Idris lagi.
Memang, para pemain utama bisnis nikotin yang menggiurkan ini adalan korporasi internasional, seperti Johnson & Johnson, GlaxoSmithKline (GSK ), dan Pfizer. Dari perusahaan-perusahaan tersebut kemudian hadir produk-produk nicotine replacement therapy, nicotine gums, nicotine transdemal patches, nicotine lozenges, nicotine sprays, nicotine inhalers, nicotine sublingual tablets, drug therapy, dan e-cigarettes.
Ia juga mempertanyakan, mengapa di Indonesia ada yang mendorong pemerintah agar membuat mengakomodasi produk alternatif tembakau dan membuat regulasi agar tidak dilarang untuk dikonsumsi. “Kalau [mereka yang] antirokok ini tidak main-main dengan kepentingan bisnis, ngapain mereka nawarin produk alternatif lain? Kalau serius, ya, mari sama-sama kita banned total tembakau dan produk hasil tembakau lainnya, segala yang berbau tembakau tidak lagi ada di muka Bumi ini, termasuk produk alternatifnya pun jangan. Anggap saja dengan melakukan hal tersebut antara [yang] protembakau dan antitembakau jadi sama-sama tidak punya kepentingan terhadap tembakau,” tutur Azami Mohammad. [PUR]