Sikap Kapolri seolah tak menghargai hak-hak buruh yang tertuang dalam undang-undang, seperti hak unjuk rasa dan mogok kerja.

Koran Sulindo – Langkah Kapolri Jendral Idham Azis yang mengeluarkan surat telegram Kapolri bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 yang memerintahkan seluruh jajarannya di 25 Provinsi dan 300 kabupaten/kota agar melarang aksi unjuk rasa, terlalu berlebihan.

Sikap Kapolri seolah tak menghargai hak-hak buruh yang tertuang dalam undang-undang, seperti hak unjuk rasa dan mogok kerja.

“Dalam mengeluarkan kebijakan soal buruh, Kapolri harusnya mau memahami bahwa persoalan buruh adalah persoalan laten dan tidak pernah berhenti sejak Indonesia merdeka,” ujar Ketua Presidium IPW Neta S Pane di Jakarta, Selasa (6/10).

Meski begitu, IPW mengaku memahami pelarangan unjuk rasa itu bertujuan untuk mencegah penularan Covid-19 serta menjaga kondusifitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di tengah pandemi yang masih berlangsung.

Namun, pelarangan dalam telegram itu terkesan mengedepankan arogansi dan menyepelekan undang-undang karena penyampaian aspirasi atau demonstrasi tidak dilarang, seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Di sinilah Kapolri perlu bersikap bijak, dengan cara mengingatkan para buruh bahwa di tengah pandemi Covid-19 ini keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi sehingga dalam melakukan aksinya para buruh perlu menahan diri,” ucap Neta.

Sebelumnya Kapolri Jenderal Pol Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri berisi arahan kepada jajaran untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa dan mogok kerja oleh buruh pada 6-8 Oktober 2020 terkait penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Adanya Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 yang ditandatangani oleh As Ops Irjen Pol Imam Sugianto atas nama Kapolri tersebut dibenarkan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono. [WIS]