Ilustrasi

Suluh Indonesia – Marinir adalah satu pasukan yang banyak dielu-elukan di beberapa negara karena memiliki kharisma dan kemampuan yang lebih dan di atas rata-rata. Menjadi dielu-elukan dan diidam-idamkan banyak orang, karena sebagai kesatuan dalam tubuh tentara, marinir merupakan pasukan yang biasanya bisa ramah dan membaur dekat dengan sipil yang ada di sekitarnya, namun bukan berarti kehilangan wibawa dan kegarangannya.

Mengacu pada buku History of The US Marines yang ditulis oleh Jack Murphy, tercatat bahwa tatkala era Yunani kuno, Themistocles sebagai pimpinan Athena, memerintahkan agar sebanyak 20 serdadu pendarat ditempatkan pada setiap kapal perang miliknya. Mereka ini awalnya dijuluki Epibata, yaitu pasukan yang berhasil memukul mundur serangan dari Persia. Sama halnya dengan Kerajaan Romawi yang pada saat itu juga memiliki pasukan khusus “Milites Classiarii” atau Serdadu Armada.

Pertempuran 5 Hari

Keadaan kota Semarang beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, situasinya agak berbeda dari kota-kota lain. Setelah kaiji dapat direbut dari tangan Jepang, semua kekuatan pemuda Semarang dikerahkan untuk menghadapi penyerahan senjata oleh militer Jepang yang berpusat di Kidoo Boetai kepada para pemuda pejuang dan BKR Semarang. Akan tetapi, karena beberapa sebab, penyerahan senjata itu gagal. Bahkan terjadi malapetaka besar di kota Semarang, yaitu meletusnya pertempuran yang disebut “Pertempuran 5 Hari” di kota Semarang.

Apa yang menyebabkan para pemuda pejuang pada waktu itu mengalami clash bersenjata dengan pihak tentara Jepang? Padahal sesungguhnya setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak komandan tentara Jepang di Indonesia sudah lelah dan tak peduli lagi dengan pengambilalihan kekuasaan pejuang Pertempuran 5 Hari B01 Indonesia di daerah yang mereka kuasai. Namun ada beberapa faktor yang telah menyebabkan mereka akhirnya melawan pihak Indonesia, yaitu:

1.Mereka merasa terikat oleh perintah tentara Sekutu untuk mempertahankan status quo di daerah-daerah yang mereka duduki, dengan disertai ancaman hukuman bila hal itu tidak mereka laksanakan. 2. Para pemuda pejuang itu kurang pandai memanfaatkan kelemahan psikologis tentara Jepang yang telah patah semangat untuk menyerah kepada Indonesia dengan jaminan fisik keselamatan. Sering terjadi, rakyat Indonesia pada waktu itu sudah sangat membenci Jepang, sehingga mereka langsung menyerang pasukan Jepang yang sudah sangat terjepit itu. Padahal, sesungguhnya mereka bersedia menyerah kepada pihak Indonesia. 3. Sering pula terjadi kedua belah pihak, baik tentara Jepang maupun tentara pejuang, terbawa emosi dan mudah terpancing. Satu letusan kecil senjata yang tidak disengaja saja akan dapat menimbulkan kemarahan dan berakhir dengan pertempuran hebat yang menimbulkan banyak korban.

Pertempuran 5 hari di Semarang penyebabnya adalah faktor ketiga tersebut. Peristiwa itu dimulai ketika muncul berita bahwa akan ada penyerahan senjata oleh para petugas pemerintah Jepang, dan para pemuda pejuang beserta BKR akan mengambil alihnya. Sebagian senjata telah dapat dikumpulkan dan kemudian dipindahkan ke suatu tempat di gedung sekolah di lereng bukit bernama Bergota. Tetapi ketika pimpinan BKR Laut Semarang dan pemerintah RI setempat bersama para pemuda pejuang berusaha menghubungi tentara Jepang  Kidoo Butai di Jatingaleh untuk menyerahkan senjata yang masih mereka kuasai, sikap militer Jepang di sana tidak kooperatif. Keadaan pun menjadi panas.

Baca juga Akrobat Terakhir Jenderal Gatot

Ditambah lagi dengan adanya peristiwa perobekan bendera Nasional Merah Putih oleh seorang tentara Jepang, membuat amarah rakyat tak terkendali lagi. Penguasa Jepang tahu bahwa para pemuda pejuang sangat berapi-api untuk melawan, sehingga bukannya mereka menyerahkan senjata tetapi malah memerintahkan Kidoo Butai, pasukan istimewa Jepang di Jatingaleh itu, untuk turun bergerak ke utara menguasai kembali kota Semarang dan berusaha merebut kembali senjata yang telah dikuasai BKR dan para pemuda pejuang.

Jadi, bergeraknya pasukan Kidoo Butai telah memicu meletusnya pertempuran 5 hari di Semarang, yang berlangsung dari 14 s/d 19 Oktober 1945. Pertempuran itu berlangsung begitu sengit, sehingga menimbulkan korban jiwa tidak sedikit dari kedua belah pihak. Sejumlah catatan menyebutkan, lebih kurang 2.000 jiwa pemuda pejuang dan rakyat Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut. Sedangkan dari pihak tentara Jepang tidak kurang dari 1.000 anggota tentaranya tewas terbunuh. Dengan gigih semua unsur TKR Semarang, termasuk TKR Laut, beserta seluruh tenaga Laskar Rakyat Semarang, bahu-membahu menghadapi serangan tentara Jepang dalam pertempuran yang fenomenal itu.

Begitu pertempuran 5 hari di Semarang ini mereda, mendaratlah di pantai Semarang tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Belanda, Australia, Gurkha, dan Sikh. Dengan demikian pada 21 Oktober 1945 berkecamuk lagi pertempuran dahsyat antara TKR dan pemuda-pemuda yang tergabung dalam organisasi perlawanan Indonesia melawan tentara Sekutu.

Hijrah ke Demak dan Menerobos Tegal

Beberapa tokoh BKR Laut Semarang yang dahulu berasal dari Pemuda Kaiji dan Pemuda SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi) Semarang di bawah pimpinan Nazir, Agoes Soebekti, Soekamto, Wiranto dan lain-lain, berhijrah ke Demak dan Pati. Di kota Demak dan Pati ini para pemuda itu dan para pemuda pecinta Samodra lainnya segera mengadakan konsolidasi. Konsolidasi yang mula-mula terbentuk adalah Laskar Rakyat Laut, yang kemudian kembali ke bentuk awalnya, yaitu TKR Laut. TKR sendiri sesuai dengan keputusan Presiden RI tanggal 5 Oktober 1945 kemudian menetapkan hari jadinya sama dengan tanggal keputusan itu.

Dalam pertimbangan kemudian, karena daerah Demak-Jepara dipandang kurang strategis sebagai basis pertahanan melawan Sekutu/Belanda, maka diputuskan untuk segera meninggalkan daerah ini. Pasukan direncanakan akan dipindahkan ke kota Tegal, yaitu sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah. Kota ini dipandang memiliki potensi yang lebih menjanjikan untuk membina masa depan tentara terutama ditinjau dari segi strategi kemaritiman. Usaha menerobos kota Semarang untuk mencapai Tegal oleh para pasukan TKR Laut ini, telah menimbulkan cerita legendaris di kalangan para pejuang bahari yang ikut ambil bagian dalam usaha penerobosan dari Demak itu.

Baca juga Hikayat Tentara di Zaman Satu Warna

Perlu dicatat di sini munculnya seorang tokoh pimpinan TKR Laut Demak bernama Darwis Djamin. Ia seorang saudagar kaya, yang memiliki kemampuan mengelola perlengkapan dan perbekalan anggota TKR Laut Demak. Ia juga memiliki peranan cukup penting dalam usaha memindahkan pasukan pejuang dari Demak ke Tegal ini.

Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk menerobos Semarang ialah dengan jalur kereta api. Karenanya, semua pegawai KA di daerah Semarang segera dihubungi oleh pimpinan TKR Laut agar dapat membantu usaha penerobosan pasukan dari Demak ke Tegal itu. Kode-kode sandi atau pun tanda-tanda isyarat dan hal-hal yang diperlukan untuk mengawal keselamatan para penerobos pejuang pun segera diatur dan diberitahukan secara rahasia kepada para pegawai kereta api mulai dari masinis, tukang rem, sampai dengan tukang langsirnya.

Demi keamanan dan kelancaran, beberapa pejabat KA dan koleganya yang tidak dapat dipercaya, segera diganti dengan orang lain dari pihak pejuang kemerdekaan. Pasukan pun segera disiapkan masuk ke gerbong kereta api secara tertib. Semua jendela dan pintu diperintahkan untuk ditutup terutama setelah kereta api mendekati kota Semarang. Pada waktu kereta memasuki Stasiun Tawang dan Poncol, kereta yang berjalan dengan kecepatan normal tanpa tanda-tanda mau berhenti, serta merta dipacu dengan kecepatan tinggi. Kereta api berjalan cepat melaju tanpa berhenti walaupun memasuki stasiun besar. Stasiun Tawang dan Poncol dilalui begitu saja tanpa memperhatikan tanda-tanda dari kepala stasiun kereta api di kedua stasiun tersebut.

Kondektur dan penumpang yang menunggu di kedua stasiun Semarang itu melongo keheranan ketika melihat kereta api meluncur persis di depan hidung mereka. Demikian pula para petugas kereta api dan para serdadu Sekutu yang sedang berdinas berjaga pada waktu itu. Mereka baru menyadari setelah kereta api berjalan beberapa puluh meter lewat meninggalkan stelling (posisi) mereka. Segera setelah mereka menyadari hal itu, barulah para serdadu Sekutu itu pun bergerak dan langsung memuntahkan peluru sambil mengejar kereta api yang sudah terlanjur lewat dengan kecepatan tinggi dan terus menjauh. Akhirnya, mereka hanya mampu melihat gerbong-gerbong kereta api yang sudah berada di luar jarak tembak dan tak sanggup mereka kejar lagi. Kereta berjalan terus tanpa hambatan dan selamat sampai di kota Tegal.

Tegal Basis Perjuangan Corps Mariniers

Pada waktu rombongan yang dipimpin Darwis Djamin dari Demak tiba di Tegal, di kota ini sejak akhir bulan September 1945, sesungguhnya telah terbentuk BKR Laut sebagai realisasi Dekrit Presiden RI lewat pidato radio tanggal 23 Agustus 1945. Modal anggotanya berasal dari tenaga eks SPT Tegal sendiri, dan mencapai jumlah kurang lebih 40 orang.

Kedudukannya kemudian diperkuat dengan datangnya rombongan dari eks-SPT  Jakarta dengan kekuatan lebih kurang 60 anggota di bawah pimpinan Laksamana Adam dan Ali Sadikin. Rombongan ini datang dari Jakarta atas Perintah eks Laksamana M Pardi ( Perintis ALRI ), untuk memperkuat posisi BKR Laut Tegal.

Rombongan dari Jakarta itu dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 2 Grup. Grup I langsung menuju Tegal dibawah pimpinan Ali Sadikin, dan sampai di tegal pertengahan September 1945. Grup II menuju Cirebon di bawah pimpinan Laksamana Adam. Rombongan berikutnya yang menggabungkan diri ke Tegal adalah rombongan dari  eks Marine Belanda (KM) dan eks-KNIL yang berjiwa patriotik  Proklamasi “45. Bergabung pula kemudian rombongan eks pemberontak Hutapea dengan kekuatan 1 Batalyon tempur ringan. Para pemuda pecinta bahari Indonesia ikut  pula menggabungkan diri di pimpin oleh J Saminoe.

Rombongan dari eks Pelayaran Bangsa Indonesia datang dari Australia  dipimpin oleh Jerison, dengan diikuti lebih kurang 56 orang. Selain itu masih banyak lagi unsur militer lain yang turut memperkuat kedudukan ALRI Tegal baik yang dilakukan secara berombongan taupun perorangan. Oleh karena itu, setahap demi setahap ALRI Tegal menjadi tumbuh besar sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada waktu itu menjadi semakin kondusif.

Pada konsolidasi pertama, Angkatan Laut ini hanya merupakan kesatuan kecil saja yang memiliki bagian-bagian antara lain : pelaut, mesin, navigasi, mariniers (tentara laut, infanteri laut ). Dengan mengalirnya para bahariawan pada bulan-bulan September, Oktober dan awal November ke Tegal, maka pada bulan November 1945 organisasi Pangkalan IV Tegal telah siap untuk ditata dan disempurnakan.

Pimpinan pertama dalam tahap konsolidasi  TKR Laut  di Tegal sebelum sebutan Pangkalan IV ALRI Tegal lahir adalah Darwis Djamin dari Demak, dengan pangkat Letnan Kolonel dan kemudian Kolonel. Selanjutnya ditunjuk sebagai Wakil Komandan Pangkalan adalah Marzis da AF Langkay sebagai Kepala Staf.

Sebagai markas pangkalan TKR Laut dipergunakan gedung Lindeteeves Tegal. TKR Laut Tegak terus berkembang namun organisasi dan susunan stafnya sampai dengan akhir 1945  masih berubah-ubah. Selain terdapat corps-ysteem atau spesialisasi juga terdapat dinas-dinas khusus. Baik di dalam maupun di luar lingkungan TKR Laut Tegal, terdapat pula beberapa lembaga pendidikan yang sifatnya permanen dan semi permanen berdasarkan kebutuhan.

Di tubuh Pangkalan IV (TKR) Tegal, yang paling mengalami perkembangan pesat adalah Corps mariniers (CM) atau yang sering juga disebut sebagai Korps Ketentaran ALRI. Pangkalan ini mempunyai 7 Batalyon dan merupakan yang terbesar dibandingkan pangkalan-pangkalan lain di Indonesia saat itu.

Beberapa saat setelah warga TKR Laut hijrah, baik dari Timur (Semarang) maupun Barat (Jakarta), segera setelah itu diperlukan reorganisasi yang bersifat agak permanen dilingkungan susunan TKR Laut Tegal. Karenanya, selain terdapat Staf- Markas, kemudian terdapat pula beberap korps, yaitu Korps Navigasi, Korps MSD ( Machine Stoom Dienst ), dan Corps Marinirer (CM). Korps ketiga ini dibentuk pada 15 November 1945 dan dipimpin pertama kali oleh Mayor Agoes Soebekti. Korps ini kelak dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. A/565/1948 tanggal 9 Oktober 1948 disahkan menjadi Komando Angkatan Laut (KKO AL) atau juga kerap ditulis dengan singkatan KKO AL.

Di samping korps terdapat pula staf khusus semacam dinas atau biro, antara lain Biro Perhubungan, Biro Kesehatan dan Biro Penerangan. Terdapat pula lembaga-lembaga pendidikan yang dikordinasikan di lingkungan Pangkalan TKR Laut Tegal,antara lain: AO ( Sekolah Perwira Angkata Laut ) berkedudukan di Kalibakung, Cader-School CM ( Sekolah Kader Bintara CM ) berkedudukan di Gayam (Tegal), lembaga pendidikan yang diurus langsung oleh MBTAL, Jogja yaitu SAL (Sekolah Angkatan laut ) berkedudukan di Tegal dan kemudian dipindah ke Tuwel, yaitu daerah Tegal bagian Selatan.

Itulah beberapa bagian, Korps, dinas dan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di daerah hukum Pangkalan TKR Laut Tegal,beberapa saat setelah Kemerdekaan RI diproklamasikan sampai menjelang akhir 1945.

Menjelang akhir 1945 datanglah rombongan pejuang bahari dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta bergabung ke dalam Pangkalan TKR Laut Tegal. Para anggotanya umumnya berasal dari Kaigun Heiho Jepang (Pembantu Militer Angkatan laut Jepang). Mereka mengikuti pendidikan Jepang di Ujung-Piring Madura dan di Pajarakan Besuki. Setelah Jepang bertekuk lutut, mereka menghimpun diri di Klaten menjadi 1 Kompi BKR Laut. Di Klaten kompi ini bergabung dalam Batalyon Soenitijoso TKR Darat, sebagai Kompi ke-6. Kemudian kompi ini tiba di Tegal pada 27 desember 1945 dan dimasukkan sebagai Ki 1 Yon I CM yang baru selesai dipersiapkan.

Gelombang tenaga pejuang yang datang menggabungkan diri ke tubuh Pangkalan TKR Laut Tegal masih terus membanjir. Rombongan terakhir yang tiba di tegal pada awal 1946 adalah rombongan PETA ( Pembela Tanah Air ) dari Gombong.

Baca juga Petani, Tulang Punggung Masyarakat Jawa Kuno

Di tubuh Pangkalan TKR Tegal yang paling mengalami perkembangan pesat pada (waktu itu adalah Corps Mariniers atau yang sring juga disebut Korps Ketentaraan ALRI, setelah istilah ALRI diresmikan pada 19 Juli 1946 oleh Presiden RI di Lawang Jawa Timur. Namun sejak pecahnya Revolusi Indonesia 1945 sampai dengan penyerahan kedaulatan RI, sebutan yang paling akrab dikenal adalah singkatan saja, yaitu “ CM “, singkatan dari Corps Mariniers.

Dengan semboyan Jalesu Bhumyamca Jayamehe yang artinya di laut dan darat kita jaya, pasukan marinir Angkatan Laut ini, memiliki keistimewaan berupa kepemilikan panji kebesaran yang diserahkan langsung oleh Presiden Soekarno pada tahun 1959, yaitu atas kesetiaan dan pengabdian KKO AL kepada negara. Menjadi istimewa karena selain Korps Marinir, panji kebesaran ini hanya dimiliki oleh TNI Angkatan Darat, TNI AL, dan TNI Angkatan Udara, yang ketiganya notabene bukan Korps. (Hano Zahaban/Dispenmar)

 

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 10 November 2016)