Tari Kecak, Sakral dan Magis

Di TAHUN 1930-an, seniman Bali bernama Wayan Limbak dan pelukis asal Jerman bernama Walter Spies menciptakan tarian kecak. Tarian ini terinspirasi dari ritual tradisional yang dilakukan masyarakat Bali yang kemudian diadaptasi dalam cerita Ramayana dalam kepercayaan Hindu untuk dipertontonkan sebagai pertunjukkan seni saat turis datang ke Bali.

Di sekitar tahun 1930-an itulah tari kecak mulai diperkenalkan. Sama seperti sang hyang, tujuan tari kecak adalah sebagai bentuk kegiatan adat untuk menolak bala. Para pelakunya akan menari dengan kondisi tidak sadar dan melakukan komunikasi dengan roh leluhur.

Tari ini dipentaskan hanya pada saat-saat tertentu untuk mengusir wabah penyakit. Kesakralan tari itu membuat masyarakat tidak bisa mementaskannya setiap saat. Diyakini apabila dipentaskan setiap saat nilai kesakralan akan menjadi lemah serta aura magisnya akan hilang.

Kisah Awal Tari Kecak

Ni Made Pira Erawati dalam artikelnya Pariwisata Dan Budaya Kreatif : Sebuah Studi Tentang Tari Kecak Di Bali (2019) menuliskan Walter Spies dan penari sekaligus peneliti tari dari Inggris, Beryl de Zoete, menyadari orang asing yang berkunjung sangat berminat untuk menyaksikan seni sakral sebagai ciri khas atau identitas etnis Bali.

Akhirnya mereka bekerja sama dengan penari Bali, Wayan Limbak dari Banjar Bedulu, Gianyar, untuk mengemas koor laki-laki pada tari Sanghyang. Kemasan koor laki-laki tari Sanghyang itu dimodifikasi menjadi tari Kecak yang akhirnya dapat disaksikan oleh wisatawan.

Tari kecak merupakan ritual sanghyang atau tradisi menolak bala yang diselipkan kisah Ramayana di dalamnya. Tari kecak menceritakan tentang pencarian Permaisuri Shinta, Raja Rama dibantu oleh Hanoman. Hanoman lalu memporakporandakan tempat penyekapan Permaisuri Shinta dengan membakarnya. Namun Hanoman justru terkepung oleh prajurit Raja dan Rahwana dan hampir terbakar.

Pada awalnya Raja Rama mengalami kekalahan, tetapi tidak menyurutkan kesungguhan Raja Rama menyelamatkan permaisurinya. Raja Rama berdoa dengan sungguh dan kemudian berusaha kembali. Pada akhirnya Raja Rama dapat menyelamatkan Permaisurinya.

Berdasarkan buku Pembelajaran Tari dalam Kurikulum PAUD, Dessy Putri Wahyuningtyas, M.Pd., (2020:155), tari kecak merupakan jenis tarian ritual yang menggunakan pola lantai lengkung yang membentuk lingkaran.

Di dalam ritual sanghyang untuk menolak bala ini, para penari tidak perlu mengikuti setiap tari yang diiringi oleh gamelan, melainkan bisa lebih santai, karena jalan cerita dan perpaduan suara lebih diutamakan.

Gerak Tari Kecak

Dalam buku karya Resi Septiana Dewi yang berjudul “Keanekaragaman Seni Tari Nusantara“, dalam menarikan tari kecak para penari duduk melingkar dan mengenakan kain khas Bali yang bermotif kotak-kotak seperti papan catur yang ditaruh di pinggang. Beberapa penari juga memerankan tokoh-tokoh seperti Rama, Shinta, Rahwana hingga Hanoman.

Dalam pementasan tari Kecak, suara musik dibuat secara akapela yang dihasilkan dari adanya gabungan suara penari “cak cak cak cak”, pelaku tari biasanya sekitar 50-70 orang laki-laki.

Satu orang penari akan memimpin dengan cara memberikan nada awal, kemudian dilanjutkan dengan seorang yang bertugas sebagai penyanyi solo dengan tekanan nada tinggi atau rendah, dan ada seorang lagi yang bertugas menjadi dalang untuk mengantarkan alur ceritanya. Tari kecak lebih mengutamakan alur cerita dan perpaduan suaranya.

Akhir Kisah Pencetus Tari Kecak

Dikutip dari salah satu artikel New York Times, I Wayan Limbak telah menghembuskan napas terakhir dalam usia 106 tahun pada tahun 2003. Beliau berhasil mewariskan karya spektakuler yang saat ini menjadi ikon wisata dari Bali dan Indonesia.  Sosok I Wayan Limbak sebagai pencipta tari kecak masih jarang diketahui. Khususnya, bagi masyarakat dari luar Bali. Karena jumlah sumber literatur yang menceritakan tentang tokoh ini memang tidak banyak.

Spies si seniman Jerman setelah pecahnya Perang Dunia II ditahan selama 20 bulan di kamp-kamp interniran di Jawa dan Sumatra. Karena saat itu Jerman menginvasi Belanda maka tentara Belanda  menangkapi warga jerman yang ada di Hindia Belanda.

Kemudian pada awal tahun 1942 Spies ditempatkan di kapal pengangkut menuju Ceylon. Sehari setelah meninggalkan Sumatra, pada 19 Januari 1942, kapal dihantam bom Jepang di lepas pantai Pulau Nias, awak kapal Belanda meninggalkan kapal tanpa membebaskan tawanan Jermannya. Spies tenggelam bersama tahanan lainnya. [S21]