Koran Sulindo – Sempat tiga kali mengalami penundaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan larangan penggunaan cantrang resmi diberlakukan per 1 Januari 2018. Tak hanya cantrang, KKP juga melarang penggunaan penangkap ikan model pukat hela dan tarik.
Larangan yang termaktub dalam Peraturan Menteri Kelautan No. 2/2015 itu sejatinya mulai diberlakukan sejak 8 Januari 2015. Aturan itu terus mengalami penundaan karena penolakan dan protes keras nelayan. Nelayan menganggap cantrang berbeda dengan trawl yang memang merusak lingkungan. Protes bahkan disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara.
Tarik ulur antara pemerintah dan nelayan itu tak urung membuat Jokowi gerah. Dalam suatu kesempatan ia mendesak agar para nelayan di Indonesia dibantu untuk menggunakan cara baru dalam menangkap ikan.
Jokowi menegaskan nelayan jangan terus diajak bekerja dengan cara-cara dan pola lama. Ketika Indonesia sibuk memperdebatkan alat tangkap nelayan berupa cantrang, negara lain sudah sibuk melakukan riset dan inovasi di bidang kemaritiman.
“Kita harus berani kita loncatkan. Sudah berapa lama kita urusan cantrang setiap tahun, urusan cantrang enggak ada habis-habisnya,” kata Jokowi. “Norwegia atau Taiwan saat ini sedang membicarakan offshore aquaculture. Ajari nelayan kita untuk mengetahui barang apa ini, nilai tambahnya bisa puluhan kali daripada yang kita lakukan sekarang ini.”
Dibanding regulasi lain yang dirilis KKP seperti moratorium perizinan usaha perikanan tangkap atau penenggelaman kapal pencuri ikan, larangan cantrang boleh dibilang paling menguras perhatian pemerintah karena larangan penggunaan cantrang menyasar nelayan besar hingga dan nelayan tradisional yang bagi Jokowi ini bisa berimplikasi politis.
“Saya akan melihat dulu kondisi lapangannya seperti apa. Akan tetapi, saya belum berbicara dengan Menteri Kelautan dan Perikanan. Kalau sudah berbicara dengan Menteri, nanti saya akan sampaikan kebijakan terkait cantrang itu,” kata Presiden.
Mediasi yang dilakukan antara Aliansi Nelayan Indonesia dan Kantor Staf Presiden akhirnya menyepakati kebijakan pelarangan cantrang ditunda hingga bulan Desember 2017. Selain itu Pemerintah juga berjanji bakal melakukan studi ilmiah terkait tudingan cantran merusak lingkungan. Jika kajian menunjukkan cantrang tak merusak lingkungan maka pemerintah wajib mencabut kebijakan itu. “Tidak ada perpanjangan lagi, masa transisi hanya sampai 31 Desember 2017,” kata Menteri KKP Susi Pujdiastuti September 2017 lalu seperti dikutip dari Antara.
Susi mengklaim pelarangan cantrang dilakukan semata-mata untuk melindungi mata pencaharian para nelayan. “Pemerintah saat ini memperhatikan dan memastikan perlindungan kepada nelayan. Kita harus memastikan bahwa laut itu ada banyak ikannya terus menerus untuk masa depan, tidak hanya untuk sekarang,” kata Susi.
Ia menyebut pelarangan cantrang merupakan upaya pemerintah membuat laut menjadi masa depan bangsa sekaligus menjaga kelestarian sumber daya ikan. Pemerintah merekomendasikan 10 jenis alat tangkap dengan 89 spesifikasi seperti jaring insang atau gill net, rawai, bubu, jaring kantong atau trammel net, pancing tonda, pancing ulur atau hand line, dan huhate atau pole and line.
Lagi pula, menurut Susi pemerintah juga tak serta merta mewajibkan nelayan mengganti alat tangkap ikan begitu saja, namun memberikan alat tangkap pengganti dengan cuma-cuma untuk nelayan pemilik kapal berukuran di bawah 10 gros ton (GT).
Tak cuma melarang, KKP juga mengaku telah menyerahkan bantuan paket alat penangkapan ikan ramah lingkungan kepada nelayan yang memiliki kapal berukuran di bawah 10 gross ton sebanyak 30 persen atau 2.000 paket dari total 7.255 nelayan.
Cantrang dianggap merusak lingkungan karena tak cuma ikan bernilai ekonomis saja yang tertangkap, tapi juga biota laut yang dianggap sebagao tangkapan sampingan juga terangkut. Cantrang telah digunakan oleh nelayan tradisional Indonesia sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Bisa dibilang, sejarah menganggap cantrang sebagai alat tangkap ikan ‘kerakyatan’.
Alat tangkap cantrang merupakan salah satu alat tangkap ikan yang dianggap produktif sehingga banyak digunakan oleh para nelayan. Selain itu, harga jaring cantrang lebih terjangkau dibanding pukat cincin yang harganya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Alat ini banyak di operasikan di perairan utara Jawa dengan cara menarik jaring menggunakan kapal yang yang sedang bergerak, apapun yang berada didasar perairan dan berada di depan mulut jaring akan masuk dengan mata jaring berukuran rata-rata 1,5 inci. Dari aspek teknis, alat tangkap ini mirip dengan trawl atau umum disebut sebagai Pukat Harimau.
Di Jawa Tengah, tempat di mana populasi nelayan cantrang terbanyak masih terdapat sekitar 70 persen nelayan yang belum beralih alat tangkap dari yang tidak ramah lingkungan ke ramah lingkungan.
Di Kota Tegal saja, sedikitnya 12 ribu orang nelayan terancam kehilangan pekerjaan menyusul pelarangan resmi penggunaan cantrang sejak awal tahun lalu. Selain itu, 36 ribu anggota keluarga nelayan yang terancam tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari hari.
Data dari Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari terhitung Juni 2017 ada 600 kapal cantrang yang sebagian besar sudah melakukan pendaftaran verifikasi atau ukur ulang di Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP). Selain berdampak langsung pada nelayan, pelarangan ini berpotensi mematikan industri pengolahan ikan. Pengolahan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal Sari, Kota Tegal.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng Lalu M. Syafriadi seperti dikutip dari detikfinance.com menyebut dari 6.344 kapal berukuran di bawah 10 GT yang teridentifikasi menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan, baru 2.341 kapal yang menerim alat tangkap pengganti.
“Dari 6.334, yang baru mendapat bantuan dari KKP sebanyak 2.341. Bantuan alat tangkapnya berupa gillnet milenium, bubu dan lainnya. Jadi yang dapat bantuan baru sekitar 30 persen, posisi sampai akhir 2017,” kata Lalu.
Ia menambahkan bantuan alat tangkap pengganti tersebut belum tuntas lantaran belum ada tambahan suplai alat tangkap pengganti. Semula KKP berjanji bakal menyediakan 7.000 bantuan alat tangkap pengganti untuk Provinsi Jawa Tengah. “Karena anggaran KKP enggak ada. Barangnya belum ada dan mungkin saja baru dialokasikan di 2018 ini,” kata Lalu.
Tanpa bantuan alat tangkap pengganti sementara larangan diberlakukan, ribuan nelayan terancam tak melaut meski beberapa nelayan nekat menggunakan cantrang, arad atau dogol. Arad adalah salah satu alat tangkap yang masuk dalam klasifikasi trawl dengan mata jaring yang lebih kecil.
“Masih ada yang melaut. Namanya urusan perut. Tapi sekarang jelas ada keresahan. Karena bagi mereka yang rakyat kecil, yang memang hidupnya dari situ, merasa kok belum dapat alat, tapi kok sudah dilarang. Yang lain kok bisa. Ini juga problem tersendiri,” kata Lalu.
Tentu saja, urusan perut mana bisa ditunda![TGU]