Koran Sulindo – Salah satu propaganda licik yang ‘diterima’ dunia adalah anggapan bahwa Barat, memiliki tanggung jawab moral menggunakan militernya melindungi hak orang yang ditindas pemerintahnya.

Klaim ini sebenarnya tak memiliki legal standing apapun. Sejarah justru menunjukkan klaim itu merupakan warisan berdarah 500 tahun kolonialisme, perbudakan, genosida dan eksploitasi AS dan Eropa sebagai dasar peradaban ‘Barat’. Proyek kolonialis penuh kekerasan itu berlanjut di bawah hegemoni AS.

Pertaanyaan utamanya seharusnya justru siapa yang melundungi masyarakat dunia dari AS dan sekutu-sekutunya itu. Satu-satunya tanggapan logis adalah dunia dan seluruh masyarakatnya harus menolak ‘hak’ istimewa Barat itu.

Golongan neocons laiknya William Kristol, Paul Wolfowitz atau Richard Pearl yang tampil sebagai sponsor utama perang Irak jelas tahu betul hal ini. Mereka paham, jika ingin menjual perang, ‘orang Amerika’ harus dibuat percaya bahwa konflik menyangkut soal nilai, bukan kepentingan.

Kaum neocons memasang wajah baru pada rasionalisasi jadul era kolonialisme bahwa sudah menjadi tanggung jawab Barat menyebarkan cara hidup. Intervensi adalah cara membawa demokrasi dan kebebasan kepada setiap orang di dunia seperti model mereka yang lebih ‘maju’ di Barat yang tentu saja putih.

Intervensi liberal menjadi gagasan utama ‘intervensionisme kemanusiaan’ dan ‘tanggung jawab untuk melindungi.’

Fakta bahwa AS dan Eropa menyelimuti dirinya sendiri dengan moralitas dan di sisi lain mempraktikan politik intervensi untuk ‘penyelamatan’ jelas merupakan bukti pikiran supremasi kulit putih.

Selama pemerintahan Obama, gagasan tentang keistimewaan AS digunakan untuk membenarkan proyek barbarisme pemerintahan Bush dalam mimpi ‘Perang Melawan Teror’.

Hak ‘membela’ demokrasi itu terwujud dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Afghanistan, Timur Tengah, Afrika dan Asia.

Sebuah jajak pendapat Gallup dan Pew internasional secara konsisten menunjukkan masyarakat dunia menganggap Amerika Serikat sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian di planet ini.

Saat Trump menerbitkan Strategi Keamanan Nasional, pakar Liberal menyebut bahwa pendekatan itu secara signifikan berbeda dengan strategi AS sebelumnya. Tentu saja itu kata mereka.

Namun menempatkan prioritas bagi Amerika dan warganya di urutan pertama dalam ide America First Trump jelas tak sedikitpun menyimpang dari strategi AS pasca-Perang Dingin tahun-tahun sebelumnya. Trump hanya beda gaya dibanding substansi.

Sama seperti para neocons dan intervensionis liberal di pemerintahan sebelumnya yang memanfaatkan tujuan geo-strategis sebagai bentuk hegemoni AS, retorika Trump menjelaskan AS melindungi kepentingan di abad 21 dengan mengandalkan agresi militer, perang atau subversi.

Martin Luther King Jr, 50 tahun lalu dengan jelas sudah menyatakan, AS adalah pemasok terbesar kekerasan di dunia. Dia juga mengatakan, bahwa masyarakat yang diam-diam membiarkan kekerasan ini terus berlangsung hanya akan membawa semacam kematian rohani nasional. Ini jelas membuat AS sebagai negara yang berbahaya bagi dunia.

Kematian rohani seperti yang diceritakan itu belum sepenuhnya terjadi, namun menerima ‘keniscayaan’ kekerasan dan perlunya melancarkan perang justru makin tertanam dalam kesadaran kolektif individu-individu di AS dibanding era Martin Luther King.

Secara kultural, penembakan massal, perang terhadap narkoba dan teror, kekerasan dan perang sebagai hiburan bagaimanapun telah membuat masyarakat AS seperti yang disebut Henry Giroux memiliki naluri kental dengan ‘budaya kekejaman’.

Di sisi lain, pemerintahan AS membangun dan kalau perlu berbohong kepada rakyatnya dengan dongeng tentang tanggung jawab memberikan perlindungan sebagi alasan moral tindakan perang mereka.

Intinya, tanpa kepentingan obyektif mayoritas masyarakat untuk melawan perang, AS tak akan pernah menyediakan pondasi hidupnya gerakan anti-perang modern.

Di Baltimore, menanggapi pembunuhan atas Freddie Gray oleh polisi beberapa aktivis memulai sebuah kampanye untuk menutup semua pangkalan asing AS. Bagaimanapun gerakan ini merupakan pertemuan untuk menghidupkan kembali gerakan anti perang di AS. Konferensi ini terjadi menyusul pertemuan lain yang terjadi beberapa bulan sebelumnya di Washington, DC, di mana mereka berkumpul untuk memulai kampanye ‘melepaskan diri dari mesin perang.’

Langkah strategis ini dirancang sebagai langkah menuju membangun kepercayaan diri, kekuatan kelembagaan dan program gerakan baru, kebangkitan kembali, berbasis luas, anti perang, pro-perdamaian dan anti-imperialis di Amerika Serikat. Jelas tidak ada jalan pintas rekonstruksi ulang kekuatan dengan membawa formasi baru.

Perbedaan ideologis dan politik yang muncul di antara kekuatan kiri dan progresif seputar isu perang dan imperialisme membuatnya juga menjadi tantangan tersendiri. Namun, keharusan mengungkapkan solidaritas kepada korban AS harus diutamakan dari segala perbedaan dan harus menjadi dasar membangun persatuan politik.

Oposisi perang yang muncul selama masa Bush yang dibubarkan selama pemerintahan Obama. Di sisi lain gerakan liberal dan elemen utama ‘kiri’ secara obyektif justru menyejajarkan diri dengan sumbu dominasi AS/Uni Eropa/ NATO melalui kesunyian atau dukungan langsung mereka atas nama melawan rezim otoriter. Menjadi masalah karena kolaborasi itu telah menjadi ciri permanen.

(disarikan dari tulisan Ajamu Baraka di mintpress.com)