Suluh Indonesia – Tana Toraja adalah serangkaian permukiman tradisional dan konstituennya – seperti pemakaman atau tempat upacara – yang telah menjadi tradisi dan terus hidup dari generasi ke generasi, berumur setidaknya 700 tahun atau bahkan lebih. Tradisi ini didasari oleh sistem kepercayaan Toraja yang mengatur kehidupan masyarakat yang dikenal dengan kepercayaan Aluk Todolo.
Terdapat elemen-elemen fisik yang membentuk permukiman ini, antara lain tongkonan (rumah adat), alang (lumbung padi), liang (penguburan), rante (dataran upacara/ dataran dengan menhir), tanah gembala atau padang rumput untuk kerbau dan babi.
Situs ini tersebar di beberapa tempat di Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Indonesia. Luasnya sekitar 3.205 km2 dengan medan yang relatif berbukit dan dataran tinggi yang menanjak dari 300 hingga 2.800 meter di atas permukaan laut. Jarak Tana Toraja dari ibu kota Makassar, Sulawesi Selatan adalah 300 km dengan jarak tempuh perjalanan darat kurang lebih 7-8 jam.
Yuk kita lihat situs-situs tradisional menarik yang terdapat di Tana Toraja:
1. Kete Kesu
Kawasan Kete Kesu memiliki seluruh komponen dalam sebuah permukiman adat Toraja, yaitu tongkonan, alang, liang, rante, sawah dan areal penggembalaan. Hutan bambu sebagai bahan utama dalam setiap upacara maupun bahan baku rumah juga masih bisa ditemukan di antara areal permukiman dan areal pemakaman. Kete Kesu memiliki 5 tongkonan (rumah) dan 15 alang (lumbung) yang dibangun sesuai dengan tradisi. Terdapat 17 menhir (tugu) berdiri di rante dengan ukuran bervariasi, yang paling besar berukuran tinggi 3,85 m dan ketebalan batu 0,9 m dan yang terkecil berukuran tinggi 0,4 m dan tebal 0,4 m.
Tongkonan terbesar dan tertua adalah Tongkonan Puang Ri Kesu’, berada pada bagian tengah jejeran rumah yang dibangun oleh pemimpin pertama di wilayah Kesu’. Sedangkan Tongkonan Rura saat ini difungsikan sebagai museum, yang menjadi semacam contoh hasil kebudayaan material Toraja. Areal pekuburan berada bagian lereng bukit karst pada bagian belakang tongkonan.
Baca juga: Medang, Negeri Jawa Pembangun Candi
2. Buntu Pune
Situs Buntu Pune dan situs Rante Karassik pada dasarnya merupakan satu bagian dalam konsep komponen dalam sebuah tongkonan Toraja. Dimana Buntu Pune merupakan area perkampungannya dan Rante Karassik sebagai lokasi pelaksanaan upacara khususnya untuk upacara Rambu Solo’ (kematian).
Pemukiman Buntu Pune dibangun pertama kali pada tahun 1880 oleh Siambe’ Pong Maramba’, salah satu pimpinan atau bangsawan yang berpengaruh di Toraja pada tahun 1880-1916.
Buntu Pune memiliki dua tongkonan yaitu, Tongkonan Kamiri yang berada di sisi barat dan Tongkonan Potok Sia di sisi Timur. Di depan kedua tongkonan tersebut terdapat tujuh lumbung yang menghadap ke arah selatan.
Area pekuburan berada diperbukitan karst sisi barat tongkonan. Hutan bambu ditanam di sekitar tongkonan. Selain itu juga terdapat beberapa peralatan perang peninggalan leluhur masyarakat Buntu Pune seperti, tombak, tameng, parang, baju perisai lengkap dengan helmnya, serta peralatan sehari-hari seperti peralatan makan, kain dari kulit kayu serta serat/ benang dari serat nanas.
3. Liang Pia (Baby Grave)
Liang Pia merupakan kuburan bayi yang diletakkan dalam pohon. Pohon yang digunakan adalah jenis Tarra. Sekeliling pohon atau kuburan bayi ini merupakan kebun bambu. Pemakaman pohon ini diperuntukkan bagi bayi yang meninggal dalam keadaan belum sempurna, seperti misalnya belum tumbuh gigi. Terdapat sebanyak 11 buah lubang yang ditutupi dengan ijuk pada Liang Pia.
4. Bori Parinding
Bori Parinding yang juga dikenal sebagai Rante Kalimbuang, mulai digunakan pertama kali pada tahun 1717 oleh Ne’ Ramba’. Bori Parinding merupakan tempat pelaksanaan upacara kematian rapasan bagi delapan tongkonan yang tersebar di sekitarnya. Tongkonan tertua adalah Tongkonan Lumika yang berada di sisi barat laut rante dan memiliki luas sekitar 736 m2. Situs Bori Parinding merupakan kombinasi antara lapangan upacara dan lokasi pekuburan.
5. Papa Batu
Papa Batu dibangun oleh Nek Buntu Batu dan telah berdiri sekitar kurang lebih 10 abad. Tongkonan memiliki 1 buah lumbung. Atap tongkonan terbuat dari batu, berbeda dengan tongkonan lainnya di Toraja. Di bagian depan tongkonan yakni di keempat tiang rumah dan tiang utama tongkonan dipenuhi oleh tanduk kerbau.
6. Sillanan
Terdapat 8 tongkonan induk, 5 tongkonan berada pada satu area dan 3 tongkonan masing-masing terpisah letaknya. Areal ini memiliki luas wilayah sekitar 3,17 Ha. Lokasi ini berada di atas bukit.
7. Londa
Londa memiliki lorong gua alami yang sangat panjang, dan menurut penuturan masyarakat panjangnya bisa mencapai 1,2 km. Peti-peti kubur dalam jumlah yang banyak bisa dijumpai di dalam lorong-lorong gua yang diletakkan di lantai dan dinding gua. Bekal kubur juga banyak dijumpai di sekitar peti kubur dan biasanya merupakan benda-benda kesenangan dari orang yang dikuburkan.
Area ini merupakan lokasi penguburan bagi masyarakat umum. Orang dengan status sosial tinggi dikuburkan di lubang gua bagian atas perbukitan atau di tebing bukit karst yang tinggi dan dibuatkan patung (tau-tau) sebagai personifikasi orang yang dimakamkan dan ditempatkan tidak jauh dari peti kuburnya (erong). Peti kubur mereka ada yang digantung di tebing dan ada pula yang dibuatkan lubang (liang pa’a) sebagai tempat menyimpan peti kuburnya.
Baca juga: Jong Bayan: Penutup Kepala Perempuan Khas Lombok Utara NTB
***
Tana Toraja telah masuk sebagai daftar usulan calon nominasi (tentative list) Situs Warisan Dunia UNESCO dalam kategori budaya pada 6 Oktober 2009. Ini adalah daftar yang memuat berbagai tempat yang diajukan setiap negara untuk dinominasikan sebagai calon Situs Warisan Dunia. Setelah menjadi nominasi, dan melalui proses evaluasi, Komite Warisan Dunia (UNESCO World Heritage Committee) menetapkan layak tidaknya sebuah tempat menjadi Situs Warisan Dunia.
Tana Toraja adalah satu dari 20 tempat di Indonesia yang masuk sebagai daftar tentatif, di samping delapan Situs Warisan Dunia asal Indonesia yang telah diresmikan UNESCO. Setiap tahunnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan berperan aktif mengusulkan situs-situs warisan budaya Indonesia ini ke UNESCO.
Permukiman Tradisional dan budaya Tana Toraja masih mempertahankan karakteristik budaya Austronesia awal. Ini dapat ditunjukkan oleh kosmologi Toraja, upacara, pengaturan pemukiman, rumah, dekorasi, dan peran kerbau. Dalam hal ini, warisan memiliki nilai ilmiah yang sangat diperlukan sebagai sumber analogi untuk mempelajari masa lalu.
Unsur-unsur Permukiman Tradisional Tana Toraja, seperti rumah tongkonan, penataan pemukiman, dan seni dekoratif, menunjukkan desain yang luar biasa, teknik, konsep fungsional, dan pengerjaan. Karenanya, warisan itu pasti memiliki nilai seni dan teknis yang relatif. Warisan ini pun terus hidup dan menjadi nilai yang selaras dengan budaya masyarakat Toraja saat ini. [Ahmad Gabriel]