Koran Sulindo – Nama Tan Malaka kembali menjadi pembicaraan. Setidaknya pemilik nama asli Sutan Ibrahim itu menjadi topik diskusi di gedung parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (27/3). Diskusi kali ini berlangsung aman tanpa gangguan.
Umumnya diskusi tentang sosok yang sering dikait-kaitkan dengan komunisme akan selalu mengalami penolakan. Tapi, entah kenapa kali ini tidak. Mungkin karena penyelenggaranya adalah Fadli Zon, Wakil Ketua DPR atau karena Tan Malaka memang bukan seorang komunis seperti yang diungkapkan Fadli Zon. Entahlah.
Diskusi kali ini mengambil tema Pemikiran dan Perjuangan Tan Malaka. Mereka yang menjadi pembicara di samping Fadli, juga menghadirkan sejarawan Belanda yang telah meneliti Tan Malaka selama puluhan tahun: Harry Poeze.
Menarik membicarakan Tan Malaka, lelaki kelahiran Suliki, Payakumbuh, Sumatra Barat pada 1896 itu. Selain karena sosoknya yang misterius, juga karena sikap politiknya yang boleh dikata kerap berubah-ubah seperti petualang politik. Alimin, mantan kawan sejalan Tan Malaka dalam sebuah tulisannya berjudul Analysis yang diterbitkan pertama kalinya pada 1947 menjulukinya “adventurer” atau avonturir (orang yang suka berpetualang).
Tentu saja cap demikian ditolak oleh Poeze. Baginya Tan Malaka merupakan sosok yang memiliki ideologi teguh dan berpihak pada rakyat. Itu ditunjukkan Tan Malaka ketika menjadi guru – setelah pulang dari Belanda pada 1919 – bagi anak-anak kuli kontrak di Deli, Sumatra. Menurut Poeze, Tan Malaka melihat secara langsung penderitaan dan penindasan di luar batas kemanusiaan sehingga memicu radikalismenya.
Tan Malaka karena itu, kata Poeze, memutuskan untuk hijrah ke Pulau Jawa pada 1920. “Ia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI) salah satunya adalah Semaun,” kata Poeze ketika ditemui seusai diskusi di gedung parlemen, Jakarta, Senin (27/3).
Poeze akan tetapi nampaknya kesulitan menjelaskan awal mula ketertarikan Tan Malaka pada dunia pergerakan. Juga kesulitan untuk menjelaskan bagaimana Tan mula-mula mengenal Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian mencapnya sebagai pengkhianat itu.
Dalam buku berjudul Apa, Siapa & Bagaimana Tan Malaka yang diterbitkan pada 2007 dan Tan Malaka Karakter Tauladan, Konsequen Satu Kata dengan Perbuatan juga sama sekali tidak menjelaskan awal mula Tan terlibat dalam PKI. Dan dalam buku itu Tan tidak pernah menyinggung mengenai kesannya pada Semaun yang kala itu menjadi pemimpin PKI.
Terkesan pada Semaun
Buku terjemahan berjudul Kemunculan Komunisme Indonesia karangan peneliti dari Universitas Cornell, Ruth Mcvey menceritakan secara apik awal mula kiprah Tan Malaka di PKI. Ketika Tan Malaka tiba di Jawa, ia pergi ke Yogyakarta untuk menemui temannya bernama Sutopo, salah satu pemimpin muda progresif Budi Utomo.
Kunjungannya itu, sebut Mcvey, bertepatan dengan Kongres SI dan Sutopo membawanya ke perhelatan itu serta memperkenalkannya kepada para pemimpin Indonesia yang sedang berkumpul di sana. Ketika itu, Tan Malaka terkesan dengan Semaun yang senang didatangi oleh seorang terpelajar dan pengagum antusias Marx.
Semaun lalu menawarkan Tan Malaka agar bergabung dengannya di Semarang dan di sana membantu mendirikan sekolah yang disponsori SI Semarang. Tan Malaka dengan bergairah menerima tawaran itu. Dari situlah awal mula kiprah Tan Malaka.
Berdasarkan itu, akan sangat berlebihan rasanya ketika Poeze mengatakan pendirian sekolah di Semarang itu merupakan inisiatif dari Tan Malaka. Apalagi, Poeze acap meninggi-ninggikan kelebihan Tan Malaka seperti pembawa warna aliran Islam dalam PKI dan sebagai “Bapak Republik”. Padahal, jauh sebelum Tan Malaka, Haji Misbach sudah terlibat dalam pergerakan sejak 1914 dengan ideologi marxis.
Oleh karena itu, sah-sah saja jika ingin menempatkan Tan Malaka dalam sejarah pergerakan Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Akan tetapi, menempatkan Tan Malaka sebagai “Bapak Republik” dan seolah-olah Indonesia tidak akan pernah ada tanpa Tan Malaka itu rasanya terlalu berlebihan.
Terlepas dari itu, Poeze menuturkan, untuk mengenal sosok Tan Malaka secara intim bisa dilihat dari 14 karakternya. Beberapa di antaranya adalah ia seorang yang akrab dengan tradisi masyarakat Minang. Buktinya, ada banyak karangannya yang berupa sindiran dalam bahasa Minangkabau.
Kemudian, karakter yang lainnya, kata Poeze, adalah sosok Tan Malaka sebagai komunis-nasionalis, penulis dan politikus praktis. Dalam masa revolusi, Tan Malaka disebut sering berbuat kesalahan. Mungkin itu karena selama 20 tahun hidup dalam pelarian. Ia juga tidak terlalu suka untuk muncul ke permukaan, juga berwatak komunis-nasionalis.
Dari berbagai kajian dan studi tersebut, sosok ini memunculkan berbagai macam penafsiran. Namun, yang terpenting, mengapa dalam berbagai tulisannya, Tan Malaka amat jarang menyinggung nama-nama mantan kawan sejalan seperti Semaun, Alimin, Musso atau Darsono, misalnya? Menanggapi itu, Poeze mengatakan, “Apa betul ia tidak pernah menyinggung? Saya kurang tahu juga.” [KRG]