Koran Sulindo – Akhir-akhir ini, saya sering ke Rusia, untuk pengembangan bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah yang berada di bawah naungan Koperasi Mitra Sarana Perjuangan (MSP) yang saya pimpin. Kehadiran yang cukup sering dan intens di sana membuat saya memiliki kawan-kawan baru yang cukup akrab dan tulus.
Sebagaimana layaknya wartawan yang baru dan memiliki latar belakang sebagai politisi, pengusaha, sekaligus insinyur, keluar naluri saya untuk melakukan investigasi tentang kehidupan sosial di Rusia. Saya menemukan fakta-fakta yang cukup menarik, bagaimana warga Rusia generasi sekarang menikmati kebebasannya dan bagaimana persepsi orang-orang di sana mengenai ideologi sosialis-komunis saat lalu.
Bagi anak-anak muda usia 30 tahunan yang saya temui, mereka tidak ingat bagaimana kehidupan zaman sosialis-komunis yang ketat. Namun, ada juga sekelompok pemuda yang menyesalkan, saat angin perubahan oleh Gorbachev dan Yeltsin mengubah wajah Uni Soviet menjadi Rusia dan ideologi sosialis-komunis ditinggalkan, tiba-tiba muncul 23 juta orang Rusia yang tak punya kewarganegaraan (stateless)—padahal tinggal dan sudah beranak-pinak bergenerasi di daeah itu.
Terutama soal Ukraina yang dipisahkan dari Rusia. Padahal, Hitler saja yang dari Jerman begitu bernafsu menguasai Ukraina. Apalagi, penduduk Ukraina didominasi bangsa Rusia, terutama di Krimea—yang akhirnya menjadi pemicu keributan Rusia dan Ukraina sampai hari ini. Dan pihak Barat ikut campur, seolah-olah Rusia menginvasi. Dunia seakan lupa bahwa Ukraina pernah menjadi bagian dari Rusia. Akibatnya, Rusia pun harus berhadapan dengan negara-negara yang menentang itu.
Seorang pemuda yang saya temui merasa, sebagian negara Eropa Timur dulu, khususnya Polandia, sejak lama menjadi sekutu Barat. Dengan begitu, ada juga negara Barat yang beraliansi dengan beberapa negara di Eropa Timur. Jadinya tidak berguna untuk beraliansi dengan mereka .
Sementara itu, kalangan orang tua yang saya temui umumnya mengatakan masa lalu lebih tenang, terutama ketika Uni Soviet dipimpin Khrushchev, Leonid Brezhnev, dan Yuri Andropov. Pada masa itu, kata mereka, tak ada kebutuhan yang harus dicari. Sandang dan pangan disediakan negara. Ada dan cukup, namun memang tidak ada pilihan, semua sama dan mutunya sangat standard walau kuat, sehingga tidak ada kelompok atau orang yang modis.
Jika ingin punya rumah dan mobil sendiri memang menunggu giliran atau antre sampai belasan tahun. Kecuali yang menjadi anggota partai komunis, mereka bisa dapat fasilitas antre yang lebih singkat.
Juga fasilitas umum seperti listrik, air, dan pemanas disediakan gratis. Kalaupun harus membayar, seperti bensin, negara memberikan subsidi sehingga harganyasangat terjangkau.
“Kehidupan tenang dan tidak ada rivalitas. Semua merasa sama dan senasib sehingga kami menjadi punya banyak waktu untuk berekspresi,” ujar seorang senior citizen. Itu sebabnya, lanjutnya, pada masa itu banyak lahir pelukis, penari balet, dan penulis-penulis sastra hebat dari Uni Soviet. Masih kata dia, sekarang dengan ekonomi setengah Barat/pasar, aneka ragam barang tersedia di pasar, bahkan lebih lengkap daripada di negara-negara Nordik, seperti Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia. Barang-barang modis dariPrancis memenuhi pertokoan. Wanita Rusia menjadi wanita pesolek–dan memang pada dasarnya mereka umumnya lebih cantik dari wanita Eropa Barat.
Saya akui ini, di Eropa Barat dan Amerika, para wanita cenderung sangat santai dalam berbusana. Kebanyakan mereka hanya pakai t-shirt, jins pendek atau panjang, dan tanpa make-up. Hanya sedikit sekali yang memakainya, sehingga jauh di bawah standard wanita Rusia.
Benar, toko-toko dipenuhi barang impor. Saya mencoba mencari produk asli atau produk dari usaha kecil dan menengah Rusia, ternyata memang cukup sulit didapat.
Namun, satu hal yang mengejutkan saya: mereka tetap tidak suka Barat. Bahkan, mereka merasa bersaing. Juga terhadap Jepang dan Cina, mereka masih merasa jauh. Dua bangsa yang mereka cintai dan mau berbuat banyak untuk kedua bangsa itu adalah bangsa Vietnam dan… bangsa Indonesia!
Sambil lalu saya tanyakan ke mereka, “Apakah Anda sekalian mau kembali menjadi negara komunis?”
Semua menjawab sama: “No way.”
Si senior citizen bahkan berkata, di dunia tidak pernah ada negara komunis, baru ada negara sosialis, itu pun masih penuh dengan ketimpangan. “Negara sosialis adalah negara yang warganya berbuat atau bekerja maksimal dan hasil kerjanya diakui atau dihargai sesuai dengan yang mereka hasilkan. Misalnya, dalam memproduksi suatu barang, sumber daya manusia atau tenaga kerja yang paling berperan, maka buruhlah yang paling berhak mendapat penghasilan paling tinggi,” katanya. Akan halnya dalam negara komunis, lanjutnya, warga negara memberikan karyanya, sedangkan apa pun kebutuhannya tinggal mengambil saja. “Suatu hal yang sangat absurd dan merupakan mimpi.”
Saya sepakat 1.000%. Ini yang saya pelajari: komunisme adalah sosialisme utopis (maaf kepada sang filosof besar Karl Heinrich Marx atas komen saya ini). Jadi, pada massa lalu, komunisme lebih merupakan wadah, simbol, atau jargon saja. Untuk menjadi negara komunis masih sangat jauh di awang-awang dan tidak mungkin tercapai.
Saya menjadi bernostalgia ke tahun 1950-1960-an di negara kita, zaman Bung Karno dulu. Soal sandang dulu ada baju pembagian, kainnya pun paling-paling drill atau bercolin buatan Ratatex dan industri sandang. Bisa dibeli dengan harga sangat murah. Dulu rata-rata orang indonesia berpakaian sederhana, tidak branded. Dan, semua biasa-biasa saja. Tidak ada persaingan, saling benci, saling cemburu dengan keadaan ekonomi masing-masing. Harga listrik murah, air leding murah, bensin isi tangki penuh masih lebih murah daripada harga sebotol Coca-cola. Mahasiswa juga enggak perlu beli buku, karena disediakan pemerintah.
Sekarang kita memang lebih maju, barang-barang branded, makanan dan daging impor, tapi perbedaan begitu jauh. Gini ratio kita tinggi. Rasa permusuhan, saling benci, tinggal kita baca saja dengan mudah di media sosial Internet, yang seakan telah menjadi ladang haters sesama anak bangsa. Inikah Indonesia yang kita inginkan? []