Feses dari situs arkeologi Xiaosungang, Provinsi Ahui, Tiongkok (Foto: Anhui Provincial Institute of Cultural Relics and Archaeology via Eurekalert)

 

Suluh Indonesia – Sebelum dikenalnya pandemi Covid-19 atau Covid-2019, ratusan tahun lalu berbagai negara Eropa pernah mengalami pandemi hebat. Pandemi itu dikenal sebagai Death Black atau Wabah Hitam, terjadi pada masa 1347-1351. Bahkan Wabah Hitam masih ada jauh setelah itu dan telah membunuh 1/3 hingga 2/3 populasi Eropa.

Pada masa hampir bersamaan terjadi pula pandemi di Asia dan Timur Tengah. Sekitar 75 juta nyawa direnggut oleh si ‘maut’ itu. Demikian gambaran yang diberikan oleh Giovanni Boccaccio dalam The Decameron (1353). Penyakit itu memiliki gejala khas kulit penderita menjadi hitam karena pendarahan subdermal.

Terdapat beberapa teori mengenai asal dari wabah itu. Menurut Wikipedia, teori yang paling tua mengatakan ‘si maut hitam’ bersumber dari dataran stepa di Asia Tengah. Dari daerah ini, wabah menyebar menuju Eropa melewati Jalur Sutra dibawa oleh tentara dan pedagang Mongol. Wabah itu menyebar di Asia dan merebak di Hubei, Tiongkok. Wabah Hitam di Eropa pertama kali dilaporkan berada di Kota Caffa, Krimea, pada 1347.

Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, belum ditemukan bukti (tertulis) tentang  keberadaan Wabah Hitam. Ini cukup mengherankan mengingat Asia Tenggara terutama Indonesia, termasuk ke dalam jalur laut pada Jalur Sutra.

Penelitian Sharon N DeWitte dari University of South Carolina telah memberi dimensi baru dalam mempelajari Wabah Hitam. Penelitian tentang Wabah Hitam jarang terjadi karena sampel yang digunakan sangat jarang. “Hanya beberapa sampel akbar yang jelas bersumber dari zaman ke-14 masa Wabah Hitam terjadi,” demikian Wikipedia.

Jalur Sutra berlangsung selama ratusan tahun di banyak negara. Sisa-sisanya masih bisa ditemukan di Tiongkok (22 situs), Kazakhstan (8 situs), dan Kirgizstan (3 situs). Di luar ketiga negara itu, masih banyak teridentifikasi situs kuno.

Berbagai penelitian arkeologi sejak lama dilaksanakan di negara-negara yang pernah berperan dalam Jalur Sutra. Selain ditemukan artefak berupa benda, para peneliti pun menemukan kotoran manusia atau tinja (feses). Feses, tulang, dan gigi menjadi petunjuk berharga buat para peneliti paleopathologi (penyakit purba).

Situs National Geographic pada 2016 pernah menulis bahwa para peneliti menemukan feses berusia 2.000 tahun dari sebuah kakus dalam Jalur Sutra di daerah barat laut Tiongkok. Dalam kotoran itu ditemukan cacing hati, cacing parasit yang biasanya ditemukan 930 mil jauhnya dari lokasi temuan feses.

Peneliti menunjukkan bahwa para penjelajah telah terinfeksi parasit dalam perjalanan jarak jauh mereka. Ini adalah bukti awal penyebaran infeksi penyakit sepanjang Jalur Sutra, dan pertama kali ditemukannya bukti situs arkeologi yang ada sepanjang Jalur Sutra. Demikian  Piers Mitchell, paleoantropologis University of Cambridge.

Para peneliti, menurut situs National Geographic, menemukan kotoran pada “tongkat hiegenis” yang terbuat dari kayu atau bambu dengan kain yang melilitnya, yang digunakan untuk membersihkan pantat mereka. Di bawah mikroskop, peneliti melakukan pengetesan pada sisa-sisa kotoran dan hasilnya menunjukkan bahwa tongkat tersebut memiliki tanda-tanda adanya parasit kuno.

Mereka menemukan telur-telur dari empat spesies cacing parasit berbeda pada kotoran tersebut. Termasuk telur cacing pita cina, parasit yang menyebabkan diare, penyakit kuning, hingga kanker hati.

Namun, cacing pita cina hidup di daerah yang basah agar dapat melengkapi perputaran hidup mereka, dan para peneliti menemukan telur-telur di bagian timur Tamrin Basin, wilayah Gurun Taklamakan.

Sebelumnya, peneliti menunjukkan bahwa para penjelajah Jalur Sutra itu membawa beragam penyakit seperti pes, anthraks, dan kusta. Tiongkok dan Eropa, misalnya, pernah sama-sama terkena penyebaran penyakit pes.

Parasit lain yang ditemukan dalam feses menunjukkan para penjelajah telah menyantap makanan yang terkontaminasi kotoran manusia. Boleh jadi kontaminasi terjadi lewat pupuk, atau juga makan daging setengah matang.

Beberapa peneliti sempat memlesetkan istilah Silk Road atau Jalur Sutra sebagai Sick Road atau  jalur yang penuh dengan wabah penyakit. Hal ini tidak lepas dari ditemukannya bukti adanya wabah tikus yang mengerikan di sepanjang jalur tersebut. Apalagi setelah heboh Wabah Hitam itu.

Para peneliti meyakini virus Wabah Hitam menyebar melalui tikus lalu tertular pada unta-unta di padang pasir. Suhu udara yang lembab membuat wabah itu cepat menyebar. Kejadian itu membuat perubahan arah perdagangan yang awalnya melalui darat menjadi perdagangan melalui jalur laut.

Feses menjadi sumber penting untuk mengetahui penyakit dan banyak hal lain. Di AS penelitian molekul feses digunakan untuk menafsirkan pemukiman Cahokia dari abad ke-13 yang semakin hari ditinggalkan masyarakatnya. Dari temuan feses terungkap bahwa pada saat itu terjadi perubahan iklim yang sangat hebat. Saat banjir, misalnya, masyarakat berpindah ke tempat yang lebih tinggi.

Penyakit atau pandemi di Jalur Sutra bisa terjadi karena interaksi antarmanusia. Maklum dulu belum dikenal masker atau menjaga jarak. Ada hal positif dari dampak Jalur Sutra, yakni dunia medis mengenal vaksinasi. [DS]

Baca juga