Ilustrasi: Cover buku Mereka yang Terasing/bantuanhukum.or.id

Koran Sulindo – Kehidupan Karyati berubah  saat rumahnya di Kalijodo digusur pada 29 Februari 2016 lalu. Pemerintah Daerah DKI Jakarta memindahkan warga bekas kawasan lokalisasi itu ke Rumah Susun Marunda, di Cilincing, Jakarta Utara.

Tinggal di rusun adalah pengalaman baru bagi perempuan yang tinggal di salah satu kawasan miskin ibukota itu hampir sepanjang umurnya. Rumah berbentuk vertikal dengan tetangga di atas dan di bawah; juga lebih sempit dibandingkan rumah bertanahnya  lamanya yang dua lantai; tentu menyeramkan.

Di Kalijodo Karyati membuka warung nasi, suaminya berjualan soto keliling ke pabrik-pabrik. Ia sebenarnya sudah kembali berdagang soto di rusun itu, hanya bertahan setengah bulan. Akhirnya ia banting setir menjual gorengan keliling rusun. Pembeli dari luar rusun terkendala akses, sehingga mau tidak mau mengandalkan daya beli warga rusun. Masalahnya, warga rusun pun daya belinya rendah karena sama-sama terputus dari penghidupan yang lama.

Beragam usaha untuk bertahan hidup dilakukan Karyati dan para warga gusuran. Mereka mengaku sudah berusaha keras agar bisa bertahan hidup di rusun.

“Digusur tanpa bantuan apa-apa. Tanpa ganti rugi. Ahok, mah, gubernur paling kejam,” kata Karyanti, seperti dikutip Tirto.id

Warga gusuran itu menambah jumlah penduduk miskin Jakarta. Data Sensus BPS DKI Jakarta per Maret 2015 terdapat 487.388 orang miskin. Pada September 2015 jumlah itu  menjadi 503.038 orang,  dan naik lagi menjadi 510.359 jiwa pada Maret 2016.

Mereka yang Terasing

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melakukan penelitian tentang warga terusir yang sebagian kemudian dipindahkan ke rusun tersebut. Penelitian bertajuk “Mereka yang Terasing: Laporan Hak Atas Perumahan yang Layak Bagi Korban Penggusuran Paksa Jakarta yang Menghuni Rumah Susun” itu dirilis akhir Desember 2016 lalu. Hasilnya: mereka lebih miskin daripada sebelum direlokasi.

“Justru mereka yang digusur hidupnya lebih sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menunggak biaya sewa,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Aldo Felix Januardy.

Hasil survei juga menemukan bahwa warga korban penggusuran mengalami peningkatan pengeluaran drastis dan mempersulit kondisi ekonomi mereka. “Pengeluaran mereka lebih besar daripada pendapatannya.”

Hanya sebagai ilustrasi, mayoritas orang gusuran itu harus mengeluarkan uang ekstra dari penghasilannya untuk biaya sewa rusun.

Ironisnya, setelah dipindah, angka pengangguran di antara mereka otomatis meningkat. Hampir separuh warga pernah menunggak biaya sewa rumah susun dan terancam diusir. Hal ini mengakibatkan warga kembali terjerumus ke lingkaran setan utang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, hak-hak mendasar warga negara seperti hak kesehatan dan pendidikan juga terabaikan.

Penelitian LBH itu menggunakan metode kualitatif dengan melakukan survei dan wawancara mendalam dalam rentang 9 April sampai dengan 17 April 2016; dipadu dengan metode kuantitatif antara April hingga Oktober 2016. Penelitian berdasarkan standar HAM komentar umum CESCR 4/1991 tentang perumahan yang layak dan komentar umum 7/1997 tentang penggusuran paksa. Survey dilakukan di 18 rumah susun wilayah DKI Jakarta dengan 250 responden kepala keluarga atau pencari nafkah, baik laki-laki maupun perempuan.

Tujuh Janji

LBH Jakarta menyatakan ada 7 janji yang tidak dipenuhi oleh gubernur DKI. Pertama, terjadi pelanggaran hak atas kesehatan dan pendidikan pada warga korban penggusuran yang dipindah ke rumah susun. Survei menemukan ada 59,8 persen penghuni warga rusun tidak memiliki Kartu Jakarta Pintar, dan 59,8 persen tidak memiliki Kartu Jakarta Sehat.

Kedua, pelanggaran janji Presiden Joko Widodo soal legalisasi kampung kota. Pada 2012, Presiden Jokowi yang saat itu merupakan calon gubernur DKI menjanjikan akan mematuhi hukum dengan melegalisasi bidang tanah warga yang tinggal di kampung dan kota apabila telah dihuni selama lebih dari 20 tahun.

Ketiga, tingginya keterlibatan aparat TNI dan Polri yang memicu kekerasan fisik dan verbal, dan kerusakan atau hilang harta benda milik warga. Undang-Undang Polri dan UU TNI menyatakan kedua lembaga itu tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan penggusuran paksa. Penelitian LBH menemukan ada keterlibatan Polri sebanyak 88,2 persen dan TNI 71,4 persen dalam berbagai kasus penggusuran paksa.

Keempat, warga ditelantarkan tanpa bantuan hukum sehingga tidak mendapat ganti rugi yang layak. Kelima, pengeluaran warga meningkat drastis dan mempersulit kondisi ekonomi. Keenam, infrastruktur rumah susun layak, meski tidak aksesibel bagi kelompok rentan. Survei menunjukkan bahwa fasilitas dapur, kamar mandi, sirkulasi udara, keamanan, dan kebersihan cenderung lebih layak dari rumah lama. Namun, hal tersebut tidak sejalan dengan aksesibilitas bagi kelompok difabel dan lanjut usia.

Dan terakkhir, warga korban penggusuran terasing dari hak dasar, warga dijauhkan dari akses pendidikan, tempat berbelanja, tempat rekreasi, transportasi publik, dan tempat bekerja akibat lokasi rusun yang terlampau jauh dari kediaman mereka sebelum digusur.

Tidak Punya Nasionalisme Lagi

Ini bukan pertama kalinya Uming melewati bulan kemerdekaan dengan kekecewaan. Tepat setahun sebelumnya, warung kopi di pinggir Jalan Jatinegara Barat yang selama 10 tahun terakhir menjadi tulang punggung keluarga juga digusur.

“Saya sudah tidak punya nasionalisme,” kata Uming (59), dalam pengantar buku Menulis untuk Mengingat: Catatan Penghuni Rusunawa Jatinegara (Islam Bergerak; Desember 2016).

Buku yang digagas Islam Bergerak mencoba adalah hasi pelatihan menulis bagi sebagian warga yang menjadi korban dan dipindah kerumah susun sewa Jatinegara Barat. Belakangan, koran dari Inggris  The Guardian tertarik mempublikasikan sebagian karya tulis warga itu dalam segmen khususnya.

Pada awal 1990-an, Uming sempat sukses sebagai perakit barang-barang elektronik dan mempunyai 8 karyawan dengan distribusi barang sampai Singapura dan Batam. Namun, usaha itu layu sebelum berkembang. Uming tidak tahu kalau usahanya kalah saat pemerintah memutuskan bergabung dengan WTO.

Pada tahun 1995 itu, Indonesia harus menghapus tarif impor barang-barang elektronik yang selama ini dia jual. Dia juga tidak tahu kalau pesaing-pesaingnya dari China mendapatkan subsidi dari pemerintahnya sehingga bisa memasang harga murah.

Yang dia tahu, pasar Glodok tiba-tiba kebanjiran barang murah dari Cina. Produk Uming kalah harga. Ia terpaksa tutup usaha. Kantornya di Jatinegara kini ditempati Indomaret, toko waralaba milik salah satu konglomerat paling kaya di Indonesia, Salim Group.

Setelah 10 tahun susah payah memulai usaha warung kopi dengan keuntungan bersih Rp100.000 per hari,Uming sekali lagi harus kembali berhadapan dengan instrumen globalisasi lain yang tidak dia kenal, Bank Dunia-institusi keuangan internasional yang dibentuk usai Perang Dunia II untuk memberi pinjaman pembangunan negara-negara dunia ketiga.

Program normalisasi Sungai Ciliwung yang menggusur rumahnya pada 2015 lalu merupakan bagian dari Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) yang didanai dari pinjaman Bank Dunia senilai lebih dari Rp 1 triliun.

Uming tidak pernah mendengar JEDI. Ia hanya tahu pentungan aparat lokal dan wajah Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.

Konsorsium Internasional Jurnalis Investigatif (ICIJ) mencatat, hanya dalam satu dekade, sudah lebih dari 3.300.000 orang di seluruh dunia kehilangan rumah, tanah, dan mata pencaharian akibat proyek-proyek Bank Dunia. Jutaan korban penggusuran di Brasil, Uganda, India, sampai Indonesia harus menghadapi nasib yang sama dengan Uming. Mereka tidak tahu bahwa yang mereka hadapi adalah sindikasi internasional yang tidak berwajah.

Para korban itu hanya bisa pasrah menghadapi serdadu lokal bersenapan. Ciri umum penggusuran di negara-negara itu sama saja, semakin jauhnya pengambil keputusan dengan warga yang terdampak langsung atas kebijakan. Tak ada cinta antara penguasa dengan yang digusur. Dalam kasus Uming, tak ada cinta di rumah susun Jatinegara. [Didit Sidarta]