Koran Sulindo – Sepanjang tahun 2018 tercatat terjadi 2.564 bencana di Indonesia yang menyebabkan 3.349 orang meninggal dunia, 1.432 orang hilang dan 21.064 lainnya terluka.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bencana-bencana tersebut berdampak pada lebih dari 10,2 juta masyarakat Indonesia.
Sutopo menambahkan sampai saat ini jumlah kerugian materiil yang ditimbulkan akibat bencana-bencana itu sampai belum bisa dihitung.
“Tapi kalau melihat becana perkiraan kita lebih dari 100 triliun. Kerugian ekonomi, baik oleh kerusakan becana maupun ekonomi,” kata Sutopo di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Senin (31/12).
Menurut catatan BNPB dari 2.564 bencana yang terjadi selama 2018, 96,8 persen atau 2.481 kejadian merupakan bencana hidrometerologi seperti banjir, longsor, kekeringan, hingga cuaca ekstrim.
Sedangkan sisanya 3,2 persen atau 83 kejadian merupakan bencana geofusi seperti gempa, erupsi gunung berapi, hingga tsunami.
Meskipun bencana geofusi hanya menyumbang 3,2 persen dari seluruh bencana, namun dampak ditimbulkan bencana itu tergolong luar biasa karena merusak rumah warga, infrastruktur, hingga ekonomi. “Dari 83 bencana geofusi yang menimpa, tahun ini gempanya lebih dari 11.500 kejadian,” kata Sutopo.
Sutopo mengatakan jumlah bencana jika dibandingkan dengan tahun 2017 cenderung menurun. Namun jumlah korban dan kerugian tahun ini meningkat.
“Namun pada 2018 korban meninggal naik 984 persen, korban hilang naik 1.972 persen. Korban luka-luka naik 1.996 persen dan korban mengungsi dan terdampak juga naik 178 persen dan jumlah rumah rusak naik 1.341 persen, dan bencana 2018 ini adalah yang terbesar sejak tahun 2007 sampai 2018,” tuturnya.
Sebaran korban terbanyak itu terjadi di lima daerah, yakni Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Aceh, dan Kalimantan Selatan. Sutopo menyebut wilayah paling banyak kena bencana ialah Pulau Jawa.
“Ini dari jumlah kejadiannya, mengapa paling banyak selalu Jawa? Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur karena penduduknya paling banyak di sana. Mereka tinggal di daerah daerah rawan bencana,” kata Sutopo.
Lebih lanjut Sutopo juga menyimpulkan ada tiga fenomena langka dari bencana yang terjadi di tahun 2018. Pertama, gempa yang secara berturut-turut mengguncang wilayah NTB hingga Lombok. Gempa beruntun ini dianggap sebagai hal yang aneh.
“Gempa berturut-turut di NTB itu termasuk aneh dan langka. Beruntun sekali. Lombok Timur kena, kemudian geser ke barat. Masih penanganan, tiba-tiba geser ke Lombok Utara dan sebagainya. Ternyata segmen di Flores fault terpengaruh,” kata Sutopo.
Fenomena langka kedua adalah gempa diikuti tsunami di wilayah Sulawesi Tengah, Palu, dan Donggala di mana terjadi pergeseran tanah atau likuifaksi yang baru sekali terjadi di Indonesia.
“Kita baru sekali itu melihat gempa yang besar dan masif. Biasanya hanya terjadi di sesar dan tanah tanah yang retak, tapi ini terjadi begitu besar, dan likuifaksi adalah likuifaksi yang terbesar di dunia,” kata Sutopo.
Sedangkan yang ketiga adalah tsunami di Selat Sunda yang dipicu erupsi Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan longsor di bawah laut. Menurut Sutopo, erupsi yang mengakibatkan tsunami tanggal 22 Desember 2018 hanya mencapai 1,5 km, jauh lebih kecil dibanding erupsi besar yang terjadi bulan September.
“Kita tidak menyangka bahwa tsunami ternyata dibangkitkan oleh longsoran bawah laut akibat erupsi Gunung Anak Krakatau, erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi kemarin tidak besar. Mengapa longsornya tidak terjadi pada September, Oktober ketika pada saat itu letusannya besar?” kata dia.[TGU]