Pesawat All Nippon Airways yang mirip dengan kapal terbang yang celaka pada 1971 (Wikipedia)

Langit di atas Prefektur Iwate, Jepang, menjadi saksi bisu dari salah satu insiden penerbangan paling memilukan dalam sejarah dunia.

Pada tanggal 30 Juli 1971, pukul 14:04 waktu setempat, pesawat penumpang Boeing 727-281 milik All Nippon Airways (ANA) bertabrakan di udara dengan pesawat tempur Mitsubishi F-86F Sabre milik Japan Air Self-Defense Force (JASDF).

Peristiwa ini menewaskan 162 jiwa, menjadikannya kecelakaan pesawat paling mematikan di Jepang saat itu, dan salah satu yang paling tragis sepanjang sejarah penerbangan sipil global. Di kutip dari berbagai sumber termasuk The New York Times, berikut kronologi dan dampaknya bagi sistem penerbangan Jepang.

Kronologi Tabrakan

ANA Flight 58 mengudara dari Bandara Chitose, Sapporo, menuju Bandara Haneda, Tokyo, dengan membawa 155 penumpang dan 7 awak. Pesawat Boeing 727 yang mereka tumpangi masih tergolong baru yakni baru tiga bulan dioperasikan dengan registrasi JA8329.

Pada ketinggian jelajah sekitar 28.000 kaki, di langit dekat Shizukuishi, pesawat ini tidak disangka akan bersinggungan dengan latihan udara militer.

Dua unit F-86F Sabre tengah melakukan simulasi manuver udara di kawasan tersebut. Salah satunya dikemudikan oleh Sersan Teknis Yoshimi Ichikawa, seorang taruna berusia 22 tahun dengan jam terbang hanya 25 jam, didampingi Kapten Tamotsu Kuma, instruktur berusia 31 tahun.

Saat instruktur mendeteksi keberadaan pesawat komersial ANA, ia segera memberi perintah untuk menghindar. Namun, respons yang terlambat dan kurangnya pengalaman sang trainee menjadi faktor penentu tragedi. Sayap kanan F-86F menghantam bagian horizontal stabilizer kiri Boeing 727 pada ketinggian sekitar 26.000 kaki.

Boeing 727 langsung kehilangan kendali, memasuki spiral menukik tajam, dan pecah di udara sebelum jatuh menghujam bumi di sekitar kota Shizukuishi, Prefektur Iwate. Seluruh orang di dalam pesawat tewas seketika.

Nasib Jet Tempur dan Pilotnya

Jet tempur F-86F yang kehilangan satu sayap juga mengalami spin tak terkendali. Ichikawa berhasil menyelamatkan diri dengan melontarkan kursi pelontar dan menggunakan parasut, sementara instruktur Kuma juga selamat, meski keduanya mengalami trauma berat akibat kejadian tersebut.

Mayoritas penumpang berasal dari Fuji, Shizuoka, dan merupakan anggota rombongan keluarga mantan serdadu Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II. Mereka sedang dalam perjalanan menuju peringatan dan ziarah.

Pilot pesawat, Saburo Kawanishi yang berusia 41 tahun, adalah kapten berpengalaman dengan 8.000 jam terbang, termasuk 242 jam di Boeing 727. Awak pesawat lainnya juga memiliki catatan penerbangan yang solid, menunjukkan bahwa faktor kesalahan dari pihak sipil sangat kecil dalam insiden ini.

Hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa penyebab utama tabrakan adalah kegagalan sang trainee militer dalam menghindari pesawat komersial, meski telah diperintahkan oleh instruktur.

Selain itu, investigasi juga menyoroti kelalaian koordinasi antara lalu lintas udara sipil dan militer, serta buruknya pengawasan terhadap wilayah latihan udara.

Dampaknya, Kepala Badan Pertahanan Jepang dan Kepala Staf JASDF mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Dari sisi hukum, trainee Ichikawa dibebaskan dari dakwaan pembunuhan karena dinilai tidak ada unsur kesengajaan. Namun, instruktur Kuma dinyatakan bersalah atas kelalaian, dijatuhi hukuman penjara tiga tahun dengan masa percobaan, dan kehilangan pekerjaannya sebagai anggota JASDF.

Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan, tapi menjadi alarm keras bagi sistem penerbangan Jepang. Saat itu, insiden ini tercatat sebagai kecelakaan pesawat paling mematikan di dunia, serta menjadi bencana udara terburuk dalam sejarah All Nippon Airways (ANA) dan salah satu dari yang paling fatal melibatkan Boeing 727 secara global.

Tragedi ini memicu reformasi besar-besaran di Jepang dalam hal koordinasi lalu lintas udara sipil dan militer, pengawasan wilayah latihan militer, standar pelatihan pilot militer, dan peraturan zona ketinggian dan jalur penerbangan.

Kecelakaan udara 30 Juli 1971 mengajarkan dunia bahwa langit bukan sekadar ruang kosong yang tak terhingga. Di sana, ribuan nyawa bergantung pada presisi, koordinasi, dan kehati-hatian. Kegagalan kecil dalam sistem bisa menjadi sebab tumbangnya ratusan nyawa yang tak berdosa.

Kisah ANA Flight 58 bukan hanya lembar kelam dalam buku sejarah penerbangan, tetapi juga peringatan abadi bahwa keselamatan udara tidak boleh dianggap remeh karena satu kesalahan saja, bisa berarti akhir dari segalanya. [UN]