T.S.G. Mulia: Tokoh Nasionalis Kristen yang Terlupakan

Todung Sutan Gunung Mulia/Buku Menerangi Indonesia dengan Hati dan Akal Budi: Kesaksian dan Pelayanan Todung Sutan Gunung Mulia

Koran Sulindo – Nama Todung Sutan Gunung Mulia kembali terdengar setelah lebih dari 2 tahun buku rintisannya selesai ditulis. Buku tersebut digagas oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sekitar 2 tahun lalu.

PGI tentu saja punya alasan yang kuat untuk menuliskan jejak Mulia di negeri ini. Sebab, Mulia merupakan pendiri sekaligus Ketua Umum PGI pertama yang berdiri pada 1950. Dan tidak lama lagi – tepatnya 25 Mei – PGI akan memperingati hari jadinya itu.

Kendati menjadi pendiri sekaligus Ketua Umum PGI yang pertama tak lalu Mulia dikenal di kalangan Kristen. Nama Mulia seolah-olah tenggelam dalam perjalanan waktu. Ia dilupakan dengan segala warisannya yang masih bisa kita lihat hingga hari ini.

Dengan demikian, wajar pula nama Mulia tak tercatat dan tidak dikenal dalam sejarah pergerakan nasional. Padahal, kiprahnya telah merentang panjang sejak sebelum dan setelah kemerdekaan nasional RI. Ia bahkan pernah menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan dalam Kabinet Sjahrir I.

Dibanding adik sepupunya Amir Sjarifuddin, nama Mulia mungkin kalah populer dalam pergerakan nasional. Itu sebabnya, Gerry van Klinken dalam 5 Penggerak Bangsa yang Terlupa memasukkan nama Mulia bersama 4 orang lainnya sebagai tokoh penggerak bangsa yang terlupakan.

Nama Mulia kembali terdengar dan diperbincangkan melalui grup aplikasi perpesanan WhatsApp beberapa waktu ini. Dalam pemberitahuan itu, akan ada diskusi tentang Mulia yang digelar komunitas Rumah Semua Bangsa. Bahan utama diskusi itu berasal dari sebuah buku berjudul Perjuangan Todung Sutan Gunung Mulia: Dari Volksraad Hingga Menteri Pendidikan.

Lantas siapa sesungguhnya Mulia dan bagaimana kiprahnya di negeri ini sehingga disebut sebagai tokoh penggerak bangsa yang terlupakan? Mulia dengan marga Harahap lahir pada 21 Januari 1896, di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Di pengujung abad ke-19 itu, kota kecil di dekat perbatasan dengan Sumatra Barat tersebut termasuk dalam Afdeeling Mandheling en Ankola.

“Ayah mengenang kehidupan masa kecilnya di Padang Sidempuan sebagai kenangan indah. Yang selalu diceritakannya adalah saat menggembala kerbau di padang rumput dan bermain di sungai, sebagaimana kebanyakan anak kampung lainnya di masa itu,” kata Wanda Mulia, putri Mulia seperti dikutip dari buku Menerangi Indonesia dengan Hati dan Akal Budi: Kesaksian dan Pelayanan Todung Sutan Gunung Mulia.

Sebagai anak tunggal, Mulia tumbuh dalam asuhan ayahnya yang bernama Humala Mangaraja Hamonangan dan kakeknya yang bernama Ephraim Sutan Gunung Tua. Mulia muda tumbuh sebagai bocah dan remaja di mana kebijakan Politik Etis tengah bergema kuat di seantero Hindia-Belanda.

Tak pelak, Moelia merupakan salah seorang “anak kandung” Politik Etis. Van Klinken menyebutnya sebagai tokoh pribumi yang relatif terkenal dalam politik kolonial di antara dua perang (Perang Dunia I dan Perang Dunia II), “yang secara mendalam meyakini cita-cita kebijakan etis.”

Setelah menyelesaikan sekolah di Tapanuli pada 1911, setahun kemudian Mulia berangkat ke Belanda. Usianya baru 15 tahun ketika itu. Tujuannya Leiden. Salah satu kota pendidikan utama di negeri Belanda. Ia akan menjalani pendidikan sebagai seorang guru.

Ketika Mulia tiba di Belanda, para mahasiswa dan pelajar dari Hindia-Belanda belum terlalu banyak. Umumnya yang belajar di Belanda merupakan anak-anak kaum bangsawan di Jawa, Banten dan Kesultanan Asahan.

Di Leiden, Mulia tinggal bersama sebuah keluarga warga jemaat Gereja Reformasi Kristen Calvinis (Gereformeerd). Tak lama kemudian, Mulia pun masuk Gereformeerd, yang eksklusif, ketat, dan konservatif, yang didirikan Abraham Kuyper beberapa dekade sebelumnya.

Mulia segera dikenal sebagai siswa yang tekun. Ia bekerja dengan teliti dalam perannya sebagai mahasiswa di bawah arahan kebijakan Politik Etis. Di universitas, ia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Belanda (NCSV).

Dalam organisasi mahasiswa itu, Mulia bertemu dengan Hendrik Kraemer, seorang misionaris, teolog, dan tokoh ekumenis Hervormd. Kraemer adalah seorang misionaris intelektual—disertasinya di Universitas Leiden di bawah bimbingan C. Snouck Hungronje—yang bersimpati kepada nasionalisme Indonesia, dan simpatinya itu mengesankan banyak misionaris lainnya. Selanjutnya, Mulia dan Hendrik Kraemer banyak berdiskusi tentang masa depan gerakan Kristen.

Di Belanda pula, Mulia berkenalan secara pribadi dengan tokoh-tokoh yang mencetuskan dan merumuskan Politik Etis, seperti: Van Deventer, Abendanon, dan Snouck Hurgronje. Dari tokoh-tokoh inilah, menurut Van Klinken, Mulia mengambil sikap yang akan tetap dipegangnya seumur hidup: kekaguman pada hak yang ilahiah, yang telah menghasilkan pemerintahan modern, dan perasaan bahwa orang Indonesia masih harus belajar banyak untuk layak meraih kemerdekaan.

Kritis kepada Penjajahan
Mulia yang digambarkan Van Klinken sebagai “anak kandung” Politik Etis itu tidak sepenuhnya tepat. Sebab, sepulangnya dari Belanda, Mulia menunjukkan sikap yang berbeda dan kritis terhadap penjajahan dan pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda.

Ia menunjukkannya ketika menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada 1922. Mulia menentang dominasi kekuasaan kolonialisme Belanda, terutama di bidang pendidikan. Ia menentang kontrol para misionaris terhadap sekolah-sekolah untuk kaum pribumi. Menurut Mulia, semua orang dapat mengecap pendidikan di sekolah negeri baik dari kalangan Islam maupun Kristen.

Karena sikapnya itu, antropolog dari Kenyon College, Amerika Serikat Rita Smith Kipp menggambarkan Moelia sebagai seorang nasionalis Kristen. Yang tidak selalu memiliki sikap yang sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Sikap yang serupa juga ditunjukkan Mulia dalam Konferensi Perhimpunan Zending Hindia-Belanda di Bandung pada Agustus 1928.

Dalam konferensi itu, Mulia berpidato dan menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan lembaga zending di Hindia-Belanda, yang disebutnya tidak menghiraukan peristiwa-peristiwa besar dunia. Padahal, bangsa-bangsa di Asia-Afrika telah ditarik ke dalam suatu arus niaga dunia, di mana imperialisme diperhadapkan melawan nasionalisme dan komunisme.

Karena itu, kata Mulia, orang-orang Kristen Indonesia dan non-Kristen bertanya: apakah misi Kristen itu hanya sekadar alat ekspansi Barat? Ada kesan kuat di kalangan pemimpin-pemimpin Kristen Indonesia di Tapanuli, Minahasa dan Maluku, bahwa misi hanya melayani tata hidup kolonial dan kapitalisme.

Bukti konsistensinya melawan penjajahan juga tergambar dari dalil-dalil yang disusunnya dalam disertasinya berjudul Het Primitieve Denken in de Modern Wetenschap. Soal ini, Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe meyakini rasa nasionalisme Mulia itu sangat tinggi terutama untuk memerdekakan bangsanya. Tengok, misalnya, bagaimana Mulia konsisten memakai kata Indonesia – bukan Hindia-Belanda – dalam disertasinya, kata mantan Ketua Umum PGI itu.

“Saya terkesan dengan pemakaian secara konsisten istilah Indonesia dalam disertasi itu untuk merujuk kepada wilayah Indonesia. Padahal waktu itu Indonesia secara resmi masih bernama ‘Hindia-Belanda’ (Nederlands-Indie),” kata Yewangoe ketika memberi tanggapan disertasi Mulia dalam buku Menerangi Indonesia dengan Hati dan Akal Budi: Kesaksian dan Pelayanan Todung Sutan Gunung Mulia.

Dari semua kiprahnya ini, tentu agak mengejutkan bahwa tokoh ini sama sekali terlupakan sebagai penggerak bangsa sekaligus tokoh nasionalis Kristen. Kita agaknya masih perlu belajar lagi untuk menghargai mereka yang punya peran walau kecil dalam membangun bangsa ini. Karena seperti kata Bung Karno bangsa yang besar itu bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. [Kristian Ginting]