Koran Sulindo“Pulau Sebuku dikata orang, ada seribu lebih dan kurang, orangnya habis nyatalah terang, tiadalah hidup barang seorang.”

Begitulah Syair Lampung Karam menceritakan bagaimana air bah dari laut menghantam daratan di Lampung akibat Krakatau yang marah.

Syair itu langka dan penting karena menjadi satu-satunya kesaksiaan lokal yang secara detail membuat dokumentasi, jauh sebelum peneliti asing menulis tentang bencana itu.

Ya, Syair Lampung Karam ditulis hanya tiga bulan berselang setelah letusan dahsyat pada tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883 yang memicu awan panas setinggi 70 km serta tsunami setinggi 40 meter dan menewaskan 36.000 orang.

“Ada yang lari nyatalah terang, anak didukung ada di belakang, dipukul air tunggang-langgang, anak dilihat nyawanya hilang.”

“Air di situ sahaya khabarkan, naik ke darat bukan buatan, dua belas pal nyatalah, Tuan, dari tepi laut sampai daratan.”

Dari ribuan makalah dan buku tentang bencana letusan dahsyat Krakatau itu, Syair Lampung Karam baru muncul 125 tahun atas usaha keras Suryadi, peneliti dan ahli filologi dari Leiden University, Belanda.

Suryadi mendapatkan naskah tersebut ‘tercecer’ di enam negara yang berbeda dan baru pada tahun 2009 berhasil menerbitkan kesaksian itu dalam Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883.

Buku tersebut merupakan kumpulan transliterasi syair Syair Lampung Karam yang terdiri dari 38 halaman dengan 374 bait yang ditulis Muhammad Saleh.

Suryadi menyebut menyebut Syair Lampung Karam terbit dalam empat edisi di Singapura tahun 1883/1884. Edisi pertama dari syair itu berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu itu terbit setebal 42 halaman.

Menyusul terbitan pertama, edisi kedua adalah Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut juga setebal 42 halaman sedangkan edisi ketiga berjudul Syair Negeri Anyer Tenggelam.

Menurut Suryadi, dalam syair itu Saleh berkisah tentang kehancuran desa-desa dan kematian massal dengan gaya reportase dan secara dramatis Saleh menggambarkan bencana hebat yang dipicu letusan Krakatau pada tahun 1883 itu.

Diperkirakan Muhammad Saleh menulis reportase berdasarkan pandangan mata kepalanya sendiri dan boleh jadi merupakan salah seorang korban letusan Krakatau yang mengungsi ke Singapura.

Dalam syair itu, Saleh juga merujuk beberapa wilayah yang luluh lantak akibat tsunami, lumpur, hujan abu dan batu seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Tanjung, Kampung Teba, Kampung Menengah, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, Pulau Sebesi, Sebuku, hingga Merak.

Tak melulu bercerita tentang kehancuran, dalam keadaan pilu dan kacau balau itu, Syair Lampung Karam juga menulis orang masih tetap saling tolong menolong satu sama lain meski ada juga beberapa yang memanfaatkan kesempatan dengan mengambil harta benda dan uang orang lain.

Laksana umumnya syair, bagian awal naskah Syair Lampung Karam karangan Saleh juga merujuk kepada latar belakang bobroknya moral masyarakat dan kesewenang-wenangan penjajah. Dalam konteks inilah letusan Krakatau dianggap sebagai bencana yang merupakan azab Tuhan.

Letusan dahsyat Krakatau terjadi pada 26 Agustus 1883 itu gejala awalnya sudah dimulai sejak bulan Mei dan berpuncak pada  tanggal 27 Agustus 1883.

Akibat letusan itu dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya.

Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-meter.

Dari dua pulau di utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoed juga menghilang sepenuhnya.

Letusan ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkannya. Dampak letusan ini juga bisa dirasakan di seluruh penjuru dunia.

Tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di Ketimbang, di Lampung dan menewaskan kurang lebih 1.000 orang.

Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau. Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km (8,1 mi) dari Krakatau.

Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 km di sebelah utara Krakatau.

Pemerintah Belanda mencatat jumlah korban jiwa adalah 36.417, namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. [TGU]