Bung Karno dikenal sebagai sosok yang sangat gemar sekali membaca.

Koran Sulindo – Kesekian kalinya berkirim surat kepada T. A. Hassan dari Ende, Bung Karno lagi-lagi membicarakan tentang kiriman buku yang ingin dipelajarinya untuk menambah wawasan tentang Islam.

Bung Karno kembali mengeluhkan kurangnya literatur yang memadahi. Dengan semua waktu longgar yang dimiliki oleh orang buangan, semua buku yang ada habis dibacanya.

“Maklum, pekerjaan saya sehari-hari, sesudah cabut-cabut rumput di kebun, dan di sampingnya ‘mengobrol’ dengan anak bini buat menggembirakan mereka,” tulis Bung Karno.

Kepada kawannya itu ia sekaligus bercerita selain sulitnya mendapat literatur baru, Di Ende ia tak menemui seorangpun yang bisa ditanyai tentang Islam karena semuanya kurang pengetahuan. Bung Karno menyebut semua orang  hanya mentaklid saja zonder tahu sendiri.

“Ada seorang sayid yang sedikit terpelajar, tetapi tidak dapat memuaskan saya karena pengetahuannya tak keluar sedikitpun dari Kitab Fiqh. Mati-hidup dengan Kitab Fiqh itulah yang menjadi pedoman hidup, bukan kalam Ilahi sendiri,” tulis Bung Karno.

Menurutnya, sama seperti di tempat lain di Ende Kitab Fiqh itulah yang seakan-akan menjadi algojo roh dan semangat Islam. Jelas kondisi itu sangat merisaukan Bung Karno karena masyarakat yang demikian akan segera menjadi masyarakat ‘mati’ atau masyarakat ‘bangkai’.

“Masyarakat yang bukan masyarakat, sebab tandanya masyarakat ialah justru ia punya hidup, ia punya nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam dalam Kitab Fiqh itu. Tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya, agama yang hidup,” tulis Bung Karno.

Mengetahui lebih lanjut kegelisahan Bung Karno berikut cuplikan lengkap surat kepada T.A. Hassan yang tertanggal 17 Juli 1935.

Ende, 17 Juli 1935

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

 Telah lama saya tidak berkirim surat kepada Saudara. Sudahkan Saudara terima saya punya surat yang akhir, kurang lebih dua bulan lalu.

Kabar Ende: Sehat wal’afiat, Alhamdulillah. Saya terus studi Islam, tetapi sayang kekurangan perpustakan. Semua buku yang ada pada saya sudah habis ‘termakan’. Maklum, pekerjaan saya sehari-hari, sesudah cabut-cabut rumput di kebun, dan di sampingnya ‘mengobrol’ dengan anak bini buat menggembirakan mereka, ialah membaca saja.

Berganti-ganti membaca buku-buku ilmu pengetahuan sosial dengan buku-buku yang mengenai Islam. Yang belakangan ini, dari tangannya orang Islam sendiri di Indonesia atau luar Indonesia, dan dari tangannya kaum ilmu pengetahuan yang bukan Islam.

Di Ende sendiri, tak ada seorangpun yang bisa saya tanyai karena semuanya memang kurang pengetahuan (seperti biasa) dan kolot-bin-kolot. Semuanya hanya mentaklid saja zonder tahu sendiri apa-apa yang pokok. Ada satu dua pengetahuan sedikit.

Di Ende, ada seorang ‘sayid’ yang sedikit terpelajar, tetapi tidak dapat memuaskan saya karena pengetahuannya tak keluar sedikitpun dari Kitab Fiqh. Mati-hidup dengan Kitab Fiqh itulah yang menjadi pedoman hidup, bukan kalam Ilahi sendiri.

Ya, kalau dipikirkan dalam-dalam, maka Kitab Fiqh itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo roh dan semangat Islam. Bisakah, sebagai misal, suatu masyarakat yang demikian itu akan segera menjadi masyarakat ‘mati’, masyarakat ‘bangkai’, masyarakat yang bukan masyarakat, sebab tandanya masyarakat ialah justru ia punya hidup, ia punya nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam dalam Kitab Fiqh itu. Tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya, agama yang hidup.

Nah, begitulah keadaan saya di Ende. Mau menambah pengetahuan, tapi kurang petunjuk. Pulang-balik kepada buku-buku yang ada saja. Padahal buku-buku yang tertulis oleh autoritet-autoritet ke-Islam-an pun masih ada yang mengandung beberapa pasal yang belum memuaskan hati saya, kadang-kadang malah bertolak hati oleh hati dan ingatan saya. Kalau di negeri ramai, tentu lebih gampang melebarkan saya punya sayap….

Alhamdulillah, antara kawan-kawan saya di Ende, sudah banyak yang mulai luntur kekolotan kejumudannya. Kini mereka sudah mulai sehaluan dengan kita dan tak mau mengambung saja lagi kepada kekolotannya, ketakhayulannya, kemesumannya, kemusrikannya (karena percaya kepada azimat-azimat, tangkal-tangkal dan keramat-keramat) kaum kuno, dan mulailah terbuka hatinya buat ‘agama yang hidup’.

Mereka ingin baca buku-buku Persatuan Islam, tetapi karena malaise mereka minta kepada saya mendatangkan buku-buku itu dengan separuh harga. Saya sekarang minta keridaan Tuan mengirim buku-buku yang saya sebutkan di bawah ini dengan separuh harga.

Haraplah Tuan ingatkan bahwa yang mau baca buku-buku ialah orang-orang korban malaise dan mereka itu pengikut-pengikut baru dari haluan muda. Alangkah baiknya, kalau mereka bisa sembuh sama sekali dari kekolotan dan kekonservatifan mereka itu. Ende barangkali bukan masyarakat mesum sampai sekarang!

Bagi saya sendiri, saya minta kepada Saudara hadiah satu-dua buku apa saja  yang bisa menambah pengetahuan saya, terserah kepada Saudara buku apa.

Terima kasih lebih dahulu, dari saya dan kawan-kawan di Ende. Sampaikan salam saya kepada Saudara-Saudara yang lain.

Wassalam

Soekarno

[TGU]