Koran Sulindo – Peringatan terbitnya Surat Perintah 11 Maret tahun ini berpusat di Masjid At Tien, Taman Mini, akhir pekan lalu. Menjadi ritual setiap tahun, terbitnya Supersemar selalu diperingati dengan khidmat. Umumnya berisi puja-puji dan selebihnya rutin saja.
Namun, ada atmosfer yang berbeda dengan peringatan pada tahun ini. Rutinitas, digelar di tengah menghangatnya persaingan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Bisa dibilang ini Supersemar rasa Pilkada. Lihat saja tamunya, selain keluarga Soeharto terlihat hadir Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, Djarot Saiful Hidayat hingga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Keluarga Cendana hadir lengkap di acara itu, ada Siti Hardijanti Rukmana, Mamiek Soeharto, Titiek Soeharto dan tak ketinggalan Tommy Soeharto.
Anies yang bakal bertarung melawan pasangan Basuki Tjahaja Purnama–Djarot Saiful Hidayat di putaran kedua 19 April mengatakan melalui peringatan itu dia ingin mempersatukan Jakarta. Anies juga memuji sosok Soeharto yang dianggapnya mampu membangun Indonesia. Anies juga menyebut penting menjaga persatuan dan keutuhan dalam berbangsa melalui acara-acara seperti peringatan Supersemar itu.
Maret memang bulan milik Soeharto. Tak cuma Supersemar yang kontroversial, serangan enam jam TNI di Yogyakarta yang membuka mata dunia itu juga terjadi di hari pertama Maret 1949. Seperti Supersemar yang terus menjadi perdebatan, Serangan Umum itu juga lekat dengan kontroversi.
Supersemar adalah surat perintah dari Presiden Soekarno yang diteken 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Surat itu ditujukan kepada Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan pengamanan untuk menjamin keselamatan pribadi, kewibawaan dan ajaran Presiden. Surat itu juga memerintahkan Soeharto untuk melaporkan terkait tugas tersebut kepada Presiden.
Mengantongi surat “sakti” itu, Soeharto bergerak cepat. Hanya dalam tempo 24 jam ia membubarkan Partai Komunis Indonesia. Soeharto juga menangkap beberapa anggota kabinet dan orang-orang dekat Soekarno. Soekarno murka. Ia menganggap kelakuan itu kebablasan dan menerbitkan surat perintah serupa pada tanggal 13 Maret. Isinya menganulir Supersemar.
AM Hanafi mantan Duta Besar di Kuba dalam bukunya Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar, menyebut surat itu menjelaskan bahwa Supersemar bersifat administratif dan bukan politik. Soeharto diperintah agar tak melampaui wewenang serta memberikan laporan pada Presiden.
Kepada Hanafi, Soekarno memerintahkan untuk menghubungi beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar tersebut. Salah seorang yang dihubungi Hanafi adalah Panglima Angkatan Udara Suryadharma. Sayang, Suryadharma tidak punya kontak untuk menyebarkan surat perintah itu. Media massa yang kala itu sudah dikontrol Angkatan Darat juga tak berani memberitakan.
Dikentuti
Kemarahan Soekarno itu ditunjukkan kepada publik saat pidato tanggal 17 Agustus 1966. Soekarno terang-terangan mengkritik Soeharto dan mengecam mereka yang telah mengkhianati perintahnya. “Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak,” kata Soekarno pada pidato berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” atau Jasmerah. “Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!”.
Setelah kegagalan Gerakan 30 September 1965, situasi politik di ibu kota ibarat api dalam sekam dan siap meledak setiap saat. Ada tiga pusat kekuasaan yang terus mencari perimbangan. Presiden Soekarno di satu sisi, PKI dan Angkatan Darat di sisi yang lain bersaing sengit saling berebut pengaruh presiden. Keadaan genting berlanjut hingga memasuki tahun 1966 dan mencapai puncaknya tanggal 11 Maret. Memanfaatkan kekosongan pimpinan di AD dan kebimbangan Nasution, Soeharto tampil sebagai pemimpin utama lembaga itu.
Fokus utamanya, semata-mata demi melucuti kekuasaan Soekarno. Panglima Kostrad itu piawai memboncengi sikap antipati mahasiswa kepada Soekarno. Ketika Bung Karno justru bimbang dengan keterlibatan PKI pada Gerakan 30 September, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya turun dari kursi kepresidenan.
Dalam perintah harian pada tanggal 8 Maret, Soekarno menyatakan pada dasarnya ia masih presiden Indonesia. Perintah harian itu dikeluarkan untuk menanggapi ‘peringatan’ Soeharto dua hari sebelumnya yang menyebut telah tumbuh ketidakpuasan di kalangan perwira militer.
Sidang Kabinet 11 Maret di Istana Merdeka terpaksa dihentikan karena pasukan tanpa atribut berkeliaran di Monas. Saat yang sama mahasiswa tengah menggelar demonstrasi besar. Itu adalah tentara RPKAD. Perundingan Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa dan Mayjen Amirmachmud selaku Pangdam V/Jakarta Raya memutuskan membawa Bung Karno pergi ke Istana Bogor dengan helikopter.
Berjalan kaki diiringi Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa ke tempat parkir helikopter Sukarno sempat sempat bertanya kepada Amirmachmud, “Mir, ada apa lagi ini?.” “Itu tentara di luar tidak banyak. Paling-paling 50 orang. Bapak pergi saja ke Istana Bogor,” kata Amirmachmud kepada Soekarno.
Mangil dalam bukunya Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967 menulis tentara liar itu sangat dekat dengan helikopter kepresidenan. Sabur memperkirakan tentara liar itu jumlahnya tak kurang dari satu batalyon.
Palsu
Kepergian Soekarno ke Istana Bogor, belakangan disusul Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. Keduanya juga menggunakan helikopter. Sedangkan helikopter ketiga yang mendarat sekitar pukul 15.00 WIB turun Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal M. Jusuf, dam Pangdam V/Jaya Jenderal Amirmachmud. Mereka minta izin ke Sabur untuk bertemu Soekarno. Masih menurut Mangil, menjelang Magrib Sabur datang tergesa-gesa ke paviliunnya membawa kertas dan berkata kepada staf ajudan presiden meminta mesin ketik dan kertas. “Gua mau bikin surat perintah, nih…” kata Sabur. Mangil mengaku tidak memperhatikan apa yang diketik Sabur. Dia tetap saja duduk di kursi, selesai mengetik masih dengan langkah yang terburu-buru Sabur kembali menemui Bung Karno. Ketiga tamu Soekarno yang menggunakan helikopter terakhir itu baru meninggalkan meninggalkan paviliun Istana Bogor pukul 20.00 WIB. Mereka ke Jakarta naik mobil.
Mangil baru mengetahui adanya surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Soeharto besok paginya tanggal 12 Maret dari radio.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) hingga saat ini setidaknya menyimpan tiga versi Supersemar. Ketiganya adalah dari Pusat Penerangan TNI AD dan dua versi dari Sekretariat Negara. Namun, bisa dipastikan tiga naskah Supersemar di brankas antiapi milik ANRI itu palsu. Kepastian itu didapat ANRI setelah uji forensik pada Laboratorium Polri tahun 2012 silam. Supersemar versi tentara itu dibuat dengan teknologi mesin komputer. Padahal, di masa-masa itu tentu saja mesin komputer belum digunakan.
Mantan Kepala ANRI, M. Asichin seperti dikutip harian Kompas menyebutkan pencarian naskah asli Supersemar secara serius sudah dilakukan sejak tahun 2000. ANRI juga sudah menemui Sekretariat MPR karena menurut informasi naskah itu diserahkan Amirmachmud kepada Ketua MPRS tahun 1966. Naskah itulah yang menjadi dasar MPRS membuat TAP MPRS mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden. Naskah itu tidak ada di MPR. Tak kurang, ANRI juga meminta kepada DPR untuk memanggil Soeharto dan M. Jusuf untuk memberikan penjelasan di mana keberadaan Supersemar. Alasan kesehatan, keduanya tak kunjung memberi keterangan di DPR.
Terlepas soal berbantah versi dan klaim, Soeharto menggunakan Supersemar sebagai surat “sakti” yang pada akhirnya menjadi dasar legitimasi mengambil-alih kepemimpinan Soekarno. Dari titik inilah Orde Baru lahir dan berkuasa hingga lebih dari tiga dekade. Dari sebuah surat “palsu”. [TGU]