Sejak usia 14 tahun di Blitar, Supeni mengagumi cita-cita politik PNI yang ditawarkan Bung Karno. Tapi sebenarnya ia juga iri pada karir politik Sukarni, yang dulu masih selevel ketika di Blitar, ketika pindah ke Bandung menjadi murid langsung Bung Karno. Ia juga ingin menjadi murid langsung Bung Karno, orang yang sudah membuatnya berpolitik sejak usia belia.

Sewaktu ia menuntut ilmu di HIK Blitar, Sukarni sekolah di MULO. Kedua gedung sekolah itu berhadap-hadapan dalam satu halaman. Usia mereka sebaya, dan sama-sama aktif di Indonesia Muda. Supeni menjadi Ketua Keputrian IM merangkap Wakil Ketua IM, sedangkan Sukarni menjadi Ketua IM. Waktu Supeni dipecat dari HIK karena berpolitik, Sukarni juga.

Keakraban itu membuat Supeni memahami benar sifat Sukarni yang menurutnya okol dan suka memaksakan kehendak. Kalau mereka kekurangan uang, bersama-sama pergi ke Ibu Wardoyo, kakak Bung Karno.

Supeni sudah akrab dengan keluarga Soekarno sejak kecil. ”Soekarno sudah melihat saya sejak saya muda, jadi sudah pahamlah tentang orang yang namanya Supeni itu,” kata Supeni, ketika ia diisukan adalah gundik Soekarno– seperti dikatakan Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshal Green.

Hanya dalam waktu 3 tahun, Supeni sudah menjadi anggota Dewan Partai, dan ditugasi menangani persiapan pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada 1955. Pada 1951, ia disertakan dalam misi belajar penyelenggaran Pemilu di India. Hasilnya, buku “Pemilihan Umum di India” (1952). Pada Oktober 1952, Supeni diundang ke AS untuk mempelajari hal sama.

PNI juga aktif mempersiapkan rancangan undang-undang Pemilu. Pada Pemilu 1955, Supeni menjadi ketua DPD PNI Jakarta dan memenangkan PNI di wilayah itu. Secara nasional, PNI juga menjadi partai yang mendulang suara paling banyak dalam pemilu yang terkenal dalam sejarah Indonesia sebagai benar-benar jujur dan adil itu.

Sesudah pemilu memilih anggota DPR, 3 bulan kemudian diadakan pemilu untuk memilih anggota konstituante. Hasilnya, selain terpilih menjadi anggota DPR, Supeni juga terpilih menjadi anggota konstituante.

Di DPR, Supeni dipilih menjadi  Ketua Seksi Hubungan Luar Negeri.  Haluan anti nekolim ajaran Bung Karno diperlihatkannya saat ia mengusulkan resolusi DPR yang berisi dukungan kepada pemerintah Mesir menasionalisasi Terusan Suez pada 1956.

Ketika itu pemerintahan Mesir dibawah pimpinan Gamal Abdul Nasser yang berhaluan nasionalis-progresif menasionalisasi terusan yang mempersingkat jarak Eropa ke Afrika. Tindakan ini mengakibatkan Mesir dibombardir senjata oleh Inggris, Perancis, dan Israel. Usulan Supeni itu diterima oleh DPR secara aklamasi.

Di partai, setahun kemudian ia juga menjadi anggota Dewan Pimpinan PNI.

Karier politik Supeni terus melaju mulai dari anggota DPR pada 1956-1960, penasihat delegasi Indonesia dalam Konferensi Asia Afrika I di Bandung 1955, Duta Besar Keliling RI dengan tugas menyiapkan Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok I 1961, dan memimpin delegasi Indonesia di Sidang Umum PBB 1962.

Supeni turut memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui Dewan keamanan PBB. Sejak 1955, sebenarnya, Supeni sudah gigih memperjuangkan Irian Barat dalam Konferensi Asia Afrika. Karena kegigihannya itu, ia mendapat julukan “The Irian Lady”.

Pada 1965, ketika Bung Karno mempersiapkan Konferensi Asia Afrika II, Supeni mendapat tugas khusus mengunjungi 22 Negara di Afrika. Supeni juga hampir selalu menjadi utusan khusus Presiden Soekarno untuk menjelaskan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia kepada Filipina, Kamboja, dan negara Asia Tenggara lain. Ia benar-benar wanita utusan negara.

Bung Karno pernah memuji Supeni sebagai diplomat berkemampuan tinggi. Tapi dikatakan juga Supeni adalah seorang pendebat, yang juga berani mendebat Presiden Indonesia, jika pendapatnya ada yang salah.

Di antara masa-masa pergerakan wanita dan partai, dunia jurnalistik juga sempat digelutinya. Supeni pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pembimbing (1951-1954), Ampera Review (1964-1972), dan Dwiwarna (1968-1972). Ia juga menjadi anggota Persatuan Bridge Wanita.

Supeni tetap mendampingi Bung Karno sampai kejatuhannya. Bahkan bersama suaminya kerap mengunjunginya di kediaman Batu Tulis Bogor. Ketika Bung Karno menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso, barulah Supeni tak bisa menjenguknya. Bahkan istri Soekarno, Hartini, baru bisa menjenguk suaminya setelah satu bulan di sana.

Pada 26 Oktober 1995, Supeni mendirikan kembali PNI dan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, namun saat itu lepas dari pemberitaan media karena hiruk-pikuk reformasi. Pada 24 Juni 2004, dalam usia ke-87, Supeni Pudjobuntoro menghembuskan napas terakhir. [DAS]