Walau pun sebagian besar cabang yang datang adalah pendukung Ali, namun situasi umum perhelatan itu berlangsung tidak bebas dan penuh tekanan. Menurut Supeni, suasana konggres penuh dengan kegaduhan, gangguan, dan pengacauan.
Merasa di atas angin, Osa meminta Ali menyerahkan kepemimpinan partai. Di tempat penginapan Ali, Osa menyodorkan susunan pengurus yang dibuat pihaknya. Osa sebagai ketua, Hardi, Sabilal Rasyad, Mh Isnaeni, Sunawar, dan A Majid sebagai wakil ketua. Sekertaris Jenderal adalah Usep. Ali menyetujui susunan itu, dengan pesan, asal garis politik partai tetap dijalankan.
Namun PNI berbaju baru itu malah menolak garis partai Bung Karno, salah satu pendirinya pada 1927. Partai yang tadinya berteriak bangga, “Marhaen Menang” atau “Marhaen Jaya” porak-poranda, pelan-pelan menjadi partai gurem. Pada proses fusi pada 1972, partai itu bersatu ke dalam Partai Demokrasi Indonesia, dan pelan-pelan orang-orang PNI asli terpinggirkan dalam perpolitikan orde berikutnya.
“Biarlah Isnaeni mendapat kehormatan membubarkan PNI. Saya tidak menyesal tidak hadir dalam sidang tersebut, sebab dengan begitu saya tidak ikut-ikut membubarkan PNI,” kata Supeni, dalam buku “Supeni, Wanita Utusan Negara” (1989)
Secara organisatoris murni, PNI sebenarnya tidak pernah dibubarkan. Tapi dengan fusi itu artinya sudah tidak ada dengan sendirinya, tanpa upacara pembubaran.
Indonesia Muda
Baru dua bulan dalam kandungan, Supeni sduah ditinggal bapaknya. Lahir 17 Agustus 1917 di Tuban, Jawa Timur, ia dibesarkan oleh ibu yang buta huruf dan hanya mengandalkan pensiun janda sebesar 17.50 gulden sebulan. Ayahnya pegawai kehutanan di Ngelo, Karesidenan Bojonegoro, yang dibunuh para pencuri kayu yang berkeliaran di hutan-hutan jati. Supeni anak ke-6 dari 7 bersaudara.
Setelah lulus HIS (sekolah dasar berbahasa Belanda, 7 tahun), Supeni melanjutkan ke HIK (sekolah guru, 6 tahun) di Blitar. Pada 1931 di kota itu berdiri persiapan cabang gerakan pemuda nasional, Indonesia Muda. Sewaktu membaca asas dan tujuannya,
Supeni tertarik dan bergabung. Beberapa bulan kemudian utusan IM dari Jakarta meresmikan IM Blitar menjadi cabang penuh.
Dalam kepengurusan itu, Sukarni (belakangan menjadi tokoh pemuda saat menjelang proklamasi 1945 dan kelak pimpinan Murba) terpilih menjadi ketua. Supeni menjadi wakil ketua merangkap ketua Keputrian IM.
Jika ada tokoh nasional datang ke wilayah itu, biasanya Supeni ditugasi mencatat pidato mereka dan menyampaikan pada para anggota IM Blitar yang tak bisa hadir.
Dalam usia 14 tahun itu, Supeni sudah mampu memahami pidato politik. Bahkan di rapat-rapat umum yang diselenggarakan IM, Supeni sering tampil sebagai penbicara. Karena itu ia seringkali diketok PID (reserse bidang politik pemerintah kolonial Belanda) dan diberi bermacam-macam peringatan. Ia tak pernah gentar.
Sampai pada masa kenaikan ke kelas 3, meskipun dinyatakan lulus ujian dengan angka-angka baik dan berhak naik, tapi waktu itu juga ia dikeluarkan dari sekolah dengan catatan di rapornya: karena berpolitik.
Supeni menerima pemberiatahuan itu dengan tenang, namun sepulang sekolah, kakak tertuanya mengambil lidi lalu menyabetnya, ”Apakah kamu mau Indonesia Merdeka sekarang juga? Tidak mungkin! Saya juga mau, tapi saya sadar, bukan sekarang waktunya. Nanti, di zamannya anak-anak kita!”
Supeni pindah ke Solo. Mencoba masuk MULO, tapi ditolak. Maka bersekolahlah ia di HIK Muhammadiyah. Pada akhir sekolah, kakaknya memaksa ia mengikuti ujian negeri agar memperoleh ijazah negeri.
Ada 25 siswa dari sekolah partikelir yang ikut ujian, 9 dari HIK Muhammadiyah. Supeni satu-satunya yang lulus.
Lalu Jepang masuk, lalu Indonesia memerdekakan diri. Di masa revolusi fisik setelah proklamasi itu, Supeni banyak melibatkan diri dalam organisasi pergerakan wanita yang sepenuhnya menyokong perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada Juni 1946, Supeni terpilih sebagai Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) cabang Madiun. Dalam periode selanjutnya, Supeni terpilih sebagai Ketua Umum Kowani Pusat. Di masa kepemimpinannya, Konferensi Antar Wanita Indonesia digelar di Yogyakarta pada September 1949.
Masuk PNI
Di tengah memuncaknya revolusi fisik dan kesibukan mengatur organisasi wanita, baru pada 1946 Supeni mendaftarkan diri masuk PNI. Ia merasa pengabdiannya tak sempurna jika hanya di organisasi wanita saja. Ia harus terjun langsung dalam partai politik.