Sunda Kecil yang Multietnis

koransulindo.com – Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis di abad ke-19, segera jalur perdagangan laut domestik dan rute pelayaran internasional berpindah ke wilayah Kepulauan Sunda Kecil. Sejak abad ke-16, kawasan ini bahkan sudah menjadi tujuan pedagang, karena di sana tersedia komoditas rempah-rempah, kayu cendana, kopi, dan beras.

“Sunda kecil menjadi pusat pelabuhan tak hanya di wilayah Timur Indonesia, tapi di Nusantara,” kata I Gde Parimartha, guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, dalam dialog Arung Sejarah Bahari VII di Mataram, beberapa waktu lalu. Sebanyak 45 mahasiswa pilihan dari seluruh provinsi Indonesia menjadi peserta dialog ini.

Kepulauan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau yang membentang dari Pulau Bali di sebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur. Pelabuhan-pelabuhan seperti Ampenan, Bima, Sekotong, dan Pelabuhan Haji, sejak lama menjadi lokasi singgah dan bongkar muat kapal-kapal asing. Kondisi lautnya yang dalam memungkinkan kapal-kapal besar singgah.

Singgahnya kapan-kapal di wilayah ini ikut mengantarkan warga dari aneka etnis. Mereka berdatangan ke sana, di Sunda Kecil, untuk mengais rezeki. Hingga kini, kelompok-kelompok orang dari berbagai suku seperi Bugis, Jawa, Cina, Arab, Buton, bahkan Melayu, masih banyak dijumpai dan berketurunan di kawasan ini.

Itulah masa kejayaan maritim di Nusantara. Masa surut pelabuhan Sunda Kecil tiba berbarengan dengan makin kuatnya cengkeraman kekuasaan kongsi-kongsi Belanda. Masyarakat lokal terpinggirkan, dan pelabuhan dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda yang datang dengan kekuatan modal. Saat itulah perlawanan rakyat muncul, hingga tiba kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan RI, pemerintah pusat membentuk delapan provinsi. Yaitu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Selebes, Maluku, dan Provinsi Sunda Kecil. Ini hasil rapat Panitia Kecil, yang bertugas menyusun rancangan pembagian wilayah negara, kepolisian, tentara kebangsaan, dan perekonomian.

Presiden Sukarno menunjuk sembilan orang anggota sebagai Panitia Kecil sebelum Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diakhiri (18-22 Agustus 1945). Ketuanya R. Oto Iskandardinata, dan anggotanya Mr. A. Subardjo, Sayuti Melik, Mr. Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusuma, dr. Amir, A.A. Hamidhan, dr. Ratulangie, dan Mr. I G.K. Pudja.

Bung Karno mengangkat dan menetapkan Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil pada 22 Agustus 1945, setelah PPKI dibubarkan pada sidangnya yang terakhir. Gubernur Pudja diberi kuasa untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya. Hal ini tercatat di Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, 1995

Gubernur Pudja pun mulai membentuk Pemerintahan Sunda Kecil. Singaraja ditetapkan sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota Provinsi Sunda Kecil. Untuk menjalankan tugasnya sehari-hari, dia membentuk Badan Pekerja beranggotakan dr. Moh. Angsar, I Goesti Bagoes Oka, dan I.B. Putra Manuaba.

Provinsi Sunda Kecil, berdasarkan PP No. 21/1950 (Lembaran Negara Tahun 1950 No. 59), terdiri dari apa yang sekarang disebut wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi ini kemudian berubah menjadi Nusa Tenggara berdasarkan UU Darurat No. 99/1954 yang kemudian ditetapkan dengan UU tanggal 6 Februari 1958.

Berdasarkan UU No. 64/1958, Provinsi Nusa Tenggara alias Sunda Kecil dibagi tiga, Daerah Swatantra Tingkat I Bali, Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat, dan Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Karena perkembangannya, ketiganya diubah lagi menjadi Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Selain kaya rempah-rempah, Sunda Kecil juga kaya sumber daya perikanan. Wilayah ini merupakan satu dari 11 ekoregion di segitiga terumbu karang. Namun, kini ekosistem kepulauan Sunda Kecil mulai rusak akibat hancurnya terumbu karang di sana. Maka, untuk menjaga ketersediaan ikan di lautnya, pemerintah menargetkan 3,35 juta hektare konservasi perairan di Sunda Kecil.

Dengan keindahan alamnya, gugusan kepulauan Sunda Kecil sudah ditetapkan sebagai kekuatan baru bagi pariwisata Indonesia. Kerjasama di antara wilayah-wilayah Sunda Kecil, terutama pada momen pandemi Covid-19 sekarang ini, perlu diperkuat untuk lebih mensinergikan satu wilayah dengan yang lain dalam menggarap potensi pariwisata.

Provinsi NTB memiliki 15 objek dan daya tarik wisata (ODTW) – 9 terdapat di Pulau Lombok dan 6 di Pulau Sumbawa. Di antaranya yang populer, Pantai Senggigi dan Gili Trawangan. NTB juga memiliki destinasi wisata internasional seperti Gunung Rinjani dan Tambora. Desa Wisata Sade juga memiliki potensi besar untuk menarik kunjungan wisatawan.

Sementara itu, NTT memiliki keunggulan destinasi wisata Pulau Komodo. Ia juga punya Pulau Gili Lawa, danau tiga warna Kelimutu di Ende, taman laut di sekitar Labuan Bajo di Manggarai Barat, Riung di Ngada, Teluk Maumere di Sikka, dan Pulau Kepa di Alor.

Di Sumba terdapat pesona megalitik, tenun ikat, dan Pasola atau perang tanding sambil mengendarai kuda. Sementara, Timor memiliki banyak objek petualangan. NTT sebagai bagian Sunda Kecil, telah ditetapkan sebagai gerbang Asia-Pasifik berbasis pariwisata, seni, dan budaya yang spesifik. [AT]

Baca juga: