Ilustrasi

Koran Sulindo – Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Raja Keraton Yogya sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mempersilahkan para buruh membangun perumahan di atas tanah Sultan (Sultan Ground – SG).

“Pada prinsipnya saya tidak masalah. Kalau pemerintah mau silahkan saja, tapi nanti perlu dipikirkan siapa yang akan membangun dan teknisnya seperti apa. Hanya saja tanah yang mana yang cocok saya belum tahu, kita lihat nanti,” tutur Sultan saat dicegat wartawan usai menghadiri Rapat Paripurna di DPRD DIY, Rabu (31/5).

Kesediaan Sultan ini menjawab keinginan para buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) saat beraudiensi dengan DPRD DIY sebelum digelar Rapat Paripurna.

Di hadapan Dharma Setiawan, Wakil Ketua DPRD DIY, Kirnadi, Sekjen ABY, mengungkapkan setidaknya, ada sebanyak 50 persen dari 1,2 juta buruh yang ada di wilayah DIY tak memiliki rumah. Para buruh ini tak punya rumah sendiri lantaran harga tanah semakin mahal, sementara UMR yang diterima hanya sekitar Rp 1,4 juta setiap bulan.

“Kalau yang masih punya warisan orangtua maka bisa punya rumah, kalau yang tidak? Padahal saat ini lebih dari 50 persen dari total buruh DIY 1,2 juta yang tak punya rumah. Harusnya DIY bisa mewujdukan rumah murah untuk buruh dengan keistimewaannya,” ujar Kirnadi.

“Sebenarnya kami punya peluang besar memiliki rumah tinggal dengan harga terjangkau yakni memanfaatkan SG dan Pakualaman PAG yang jumlahnya sangat banyak. Kalau SG itu bisa dipakai untuk perumahan murah bagi buruh, tentu sangat mungkin,” tambah Irsan Irawan Sekretaris SPSI DIY.

Keinginan atau niat untuk mengadakan perumahan murah bagi warga DIY, menurut Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Keistimewaan DIY (UUK DIY). Sebab salah satu tujuan utamanya adalah menyejahterakan rakyat. “Perumahan untuk rakyat jadi bagian tak terpisahkan untuk kesejahteraan rakyat. Konstitusi memerintahkan seperti itu dan harus dilaksanakan. Soal teknisnya monggo saja apakah akan mengunakan APBD atau bisa libatkan swasta dengan CSR,” kata Eko dari fraksi PDI Perjuangan ini.

Hanya saja, menurut Eko, tanah SG dan PAG tak boleh menjadi hak milik atau diperjualbelikan. “Hanya jadi hak pakai saja tapi bisa digunakan hingga anak cucu sepert yang ada di eks PJKA Baciro dan Bumijo yang statusnya SG tapi jadi rumah tinggal,” tuturnya lagi. [YUK]