Koran Sulindo – “Aku adalah seorang raja sekaligus tentara, bukan pedagang seperti raja-raja Jawa yang lain,” begitu Sultan Agung memproklamirkan dirinya saat mulai memerintah Kerajaan Mataram.
Memandang dirinya berbeda dengan ulama sekaligus raja-raja pesisir Jawa yang aktif dalam perdagangan jarak jauh di Nusantara. Perspektif Sultan Agung itu merupakan gambaran kultural Jawa pedalaman yang menjadi lokasi geografis Mataram.
Menyandang nama kecil Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang, ia merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Hanyakrawati adalah raja kedua Mataram, sedangan Banawati adalah putri Pangeran Benawa, Raja Pajang.
Seperti umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung juga memiliki dua orang permaisuri utama yakni Ratu Kulon yang merupakan putri sultan Cirebon, dan Ratu Wetan putri Adipati Batang yang merupakan cucu Ki Juru Martani.
Di masa awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang segera mengenakan gelar Panembahan Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma. Ia kemudian mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung Hanyakrakusuma setelah menaklukkan Madura.
Ia juga menggunakan gelar Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman dan Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram yang diperolehnya dari pemimpin Ka’bah di Mekkah.
Memandang wilayah pesisir sebagai ancaman dan menjadi penghalang visi politiknya, Sultan Agung membangun balatentara yang kuat dan menggelar serangkaian penaklukan ke seantero Jawa.
Mengirimkan tentaranya ke timur, Lasem dan Pasuruhan segera takluk pada tahun 1614 dan 1617 yang menjadi salah satu penaklukan terpentingnya. Dalam tahun-tahun berikutnya, ia menaklukan Sukadana pada 1622 dan Madura dua tahun berikutnya.
Dengan kekuasaan membentang di semua wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Madura, Mataram di bawah Sultan Agung memiliki modal yang cukup untuk mengklaim sebagai kerajaan Islam terkuat di Jawa.
M.C. Ricklefs menyebut penaklukan Mataram atas Giri-Gresik di tahun 1936 itu melengkapi prestasi Sultan Agung sebagai ‘penakluk terbesar’ di Indonesia sejak masa Majapahit.
Di sisi lain, keberhasilan Mataram mempersatukan Jawa bagaimanapun segera mengakibatkan runtuhnya kekuatan politik ulama dan adipati-adipati pesisir.
Selain tak hanya menghancurkan pusat perdagangan penting, penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 juga menandai munculnya kekuatan baru. Penaklukan itu harus dilihat dalam konteks lebih luas yakni tentang Nusantara yang tengah berubah terutama karena munculnya pedagang-pedagang Eropa, khususnya VOC.
Ketika VOC berhasil membangun markasnya di Batavia pada 1619, perusahan dagang itu segera menjema menjadi kekuatan raksasa yang mempengaruhi perekonomian Asia Tenggara.
Ditopang teknologi militer yang maju, dukungan keuangan yang kuat dan organisasi yang rapi, VOC segera melampaui apa yang berhasil diraih Portugis dengan menaklukan Malaka.
Di sisi lain dengan memiliki pangkalan permanen di Batavia, selain karena letaknya yang startegis tempat itu sekaligus menjadi banteng kokoh, VOC segera mengontrol dan memperluas kekuasaannya di semua pulau penghasil rempah-rempah di bagian timur Nusantara.
Kontrol itulah yang membuat VOC sejak tahun 1620 dan pada masa-masa berikutnya tampil sebagai kekuatan maritim utama di Asia Tenggara. Keadaan itu tentu saja menjadi tantangan serius visi Sultan Agung untuk menguasai seluruh Jawa di bawah Mataram.
Di sisi lain, meskipun memusatkan perdagangan di sepanjang pesisir Jawa, VOC tetap sangat membutuhkan wilayah pedalaman Jawa sebagai pemasok besar dan kayu untuk membuat kapal dan sekaligus memperkuat armadanya.
Pada titik inilah visi politik anti-pesisir yang dicanangkan Sultan Agung harus dipahami sebagai upaya untuk mencegah meluasnya pengaruh VOC. Sultan Agung bahkan sempat dua kali melancarkan serangan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, tapi gagal merebut Batavia.
Dengan demikian visi mempersatukan Jawa dibawah Sultan Agung gagal terpenuhi. Kegagalan itu membuat posisi VOC makin kuat sekaligus memaksa Mataram mengakui hingga pada akhirnya mengakomodasi kepentingan VOC.[TGU]