KENAIKAN suku bunga global seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa memiliki dampak negatif bagi negara yang bergantung pada utang. Pasalnya kenaikan suku bunga menyebabkan sulitnya memperoleh dana atau pembiayaan bagi negara-negara tersebut.

Sebelumnya, Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) dan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) kompak menaikkan suku bunga acuan mereka. Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) juga sudah memutuskan akan menaikkan suku bunga acuan pada bulan Juli nanti.

Hal ini sangat berdampak besar terhadap negara dengan prospek ekonomi buruk. Sebab, negara-negara tersebut akan ditinggal investor sehingga kesulitan memperoleh pembiayaan dan meredam depresiasi nilai tukar.

Sebagaimana di sampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), kebijakan moneter ketat akan makin dianut banyak negara. Oleh karena itu, mereka mewanti-wanti jika ongkos pinjaman akan naik dan pertumbuhan ekonomi bisa melemah.

Hal serupa disampaikan oleh Bank Dunia atau WB dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects. WB juga mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga acuan dan tingginya inflasi akan membuat sejumlah negara berjuang keras menahan arus modal keluar.

Seperti yang dialami Turki, inflasi melesat hingga 73,5% (year on year/yoy) pada Mei tahun ini, atau mencatatkan rekor tertinggi sejak Oktober 1998. Turki juga selalu mencatat defisit transaksi berjalan sejak 2012, kecuali pada tahun 2019.

Pertumbuhan ekonomi mereka melemah menjadi 1,2% (yoy) pada kuartal I-2022 dari 1,5% pada kuartal sebelumnya.

Bank Dunia bahkan meramal pertumbuhan Turki akan anjlok dari 11% pada 2021 menjadi 2,3% pada tahun ini.

Guncangan ekonomi

Dalam laporannya, Bank Dunia mengingatkan negara yang berstatus importir komoditas akan menghadapi guncangan dalam utang jangka pendek dan derasnya outflow, terutama di pasar saham.

Sebaliknya, negara dengan ekspor komoditas dalam jumlah besar seperti Indonesia akan memiliki kemampuan meredam gejolak eksternal lebih baik.

“Lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga, beban utang besar, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat akan membuat pasar keuangan sejumlah negara tertekan,” tulis Bank Dunia.

Menurut Bank Dunia tidak ada kawasan yang bebas dari risiko outflow. Menurut mereka, sebagian besar negara emerging market dan berkembang akan mengalami capital outflow dalam jumlah besar yang membuat otoritas fiskal mempercepat langkah pengetatan fiskal.

Pengetatan kebijakan moneter negara-negara maju juga akan membuat kawasan Asia Tenggara dan Pasifik berjuang keras menahan outflow. “Negara-negara yang mengandalkan modal asing jangka pendek seperti Mongolia dan Dailan akan terimbas sangat besar,” tulis Bank Dunia.

Rasio utang pemerintah dan swasta yang melonjak sejak 2019 juga menjadi persoalan bagi negara seperti Fiji, Laos, dan Mongolia. Utang yang besar membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan saat investor asing kabur.

Rasio utang pemerintah dan swasta Fiji terhadap PDB mencapai 80% sementara Laos dan Mongolia yang memiliki rasio utang 60% terhadap PDB juga tidak akan mengalami hal serupa.mencapai 60%.

Bank Dunia juga menyoroti kemampuan Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka dalam meredam capital outflow seiring besarnya utang dan buruknya prospek ekonomi mereka. Negara tersebut kini berjuang dengan lonjakan yield surat utang, inflasi, dan depresiasi mata uang. [PAR]