Sulindomedia – Defisit anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagaikan penyakit menahun yang diidap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam APBN Perubahan 2015, setahun pemerintahan Jokowi menjabat, total defisit anggarannya mencapai Rp 292,1 triliun atau 2,56% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Penyebab utamanya tak lain penerimaan pajak yang tidak mencapai target. Akibatnya, pemerintah harus menambah utang lagi untuk menutup defisit. Padahal, jumlah utang pemerintah pada akhir 2015 lalu saja sudah cukup besar, mencapai Rp 3.098 triliun.
Kondisi serupa sepertinya akan berulang pada tahun ini. Kendati masih delapan bulan ke depan perjalanan APBN 2016, indikasi terjadinya defisit anggaran sudah bisa diendus sejak dua bulan pertama tahun ini. Awal Februari, misalnya, belanja negara mencapai Rp 164,9 triliun, sementara penerimaan negara hanya Rp 94,9 triliun. Itu berarti telah terjadi defisit Rp 70 triliun hanya selama dua bulan pertama di tahun ini.
Pendapatan dari pajak yang digadang-gadang akan mengurangi defisit APBN rupanya tidak semanis yang diharapkan. Data Kementerian Keuangan menyebutkan, kinerja penerimaan pajak negara dalam dua bulan pertama tahun 2016 masih loyo. Realisasi penerimaan pajak Januari-Februari hanya Rp 122,4 triliun. Jumlah ini turun 5,4% dibanding Januari-Februari 2015 yang sebesar Rp 130,8 triliun.
Meskipun nilai defisit pada realisasi Februari 2016 relatif kecil dibandingkan dengan target penerimaan pajak sebesar Rp 1.546,7 triliun dan bukan pajak sebesar Rp 273,8 triliun—yang totalnya Rp 1.822,5 triliun—ini tidak boleh dianggap remeh. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Investasi, Perhubungan, Informatika, dan Telekomunikasi Chris Kanter mengingatkan, jika penerimaan pajak melempem dan berlanjut di bulan ke depan, dampaknya akan membahayakan keberlangsungan berbagai program pembangunan infrastruktur di Tanah Air. “Bahkan dampaknya lebih dari itu. Bisa mengganggu penuntasan pembangunan proyek infrastruktur yang memang memakan waktu lama. Kalau itu banyak tertunda, kerugian lebih besar akan dialami ekonomi Indonesia,” ujar Chris Kanter, kepada wartawan di Jakarta, medio Maret lalu.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Muhammad Farouk. Target penerimaan pajak di era kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua tahun terakhir tidak realistis atau terlalu besar. Itu sebabnya, dia meminta pemerintah menetapkan target penerimaan pajak yang lebih realistis. “Sejak 2015 sampai 2016 saat ini, target penerimaan pajak kita ini tidak realistis dengan kondisi yang ada saat ini. Seharusnya, pemerintah itu membuat perpajakan yang berkualitas terlebih dulu sehingga penentuan target penerimaan pajak tidak terlalu memberatkan,” kata Farouk.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo juga sempat bertanya, apa langkah yang akan diambil pemerintah untuk memperbaiki postur APBN yang dililit defisit, karena kondisi defisit ini akan berpengaruh terhadap kepercayaan pelaku pasar dan investor. “Untuk menambal defisit, apakah akan ada pemotongan belanja atau perlu dibiayai oleh surat utang? Ini perlu dijelaskan agar ranking Indonesia bisa lebih baik dan segera dinaikkan,” kata Agus saat menghadiri pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Shanghai, Tiongkok.
Hingga saat ini, lanjut Agus, baru lembaga pemeringkat Fitch dan Moody’s yang menjaga rangking Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade). Lembaga pemeringkat lain, Standard and Poor’s (S&P) misalnya, masih menempatkan rangking Indonesia di bawah level layak investasi dengan peringkat BB+.
Pemerintah sendiri sejauh ini belum dapat menjalankan “jurus sakti” untuk mengatasi solusi defisit anggaran APBN karena masih harus menunggu persetujuan DPR. Jurus sakti pertama adalah kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Pemerintah berencana menerapkan tax amnesty guna meningkatkan penerimaan negara melalui penghapusan sanksi administrasi perpajakan serta penghapusan sanksi pidana perpajakan dengan membayar uang tebusan. Namun, rencana kebijakan tersebut belum bisa dieksekusi sampai sekarang mengingat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak di DPR belum menunjukkan kemajuan yang berarti.
DPR menganggap pemberlakuan kebijakan tax amnesty mesti dikaji lebih mendalam. Pasalnya, tax amnesty ibarat pisau bermata dua, yang jika salah dalam penerapannya justru akan bisa “melukai” dan merugikan semuanya. Makanya, DPR tidak serta-merta mengesahkan tax amnesty menjadi undang-undang. Selain membutuhkan payung hukum yang kuat, tax amnesty sarat dengan muatan ketidakpastian (ambigu).
Mengandalkan tax amnesty jelas sangat mustahil diterapkan sekarang. Padahal, pemerintah perlu anggaran untuk menggerakkan ekonomi. Pemerintah mengklaim memiliki sedikit dana untuk menambal potensi lonjakan defisit APBN. Dana tambalan tersebut sebesar Rp 20 triliun, yang merupakan dana Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) 2015, yakni selisih antara realisasi pembiayaan per 31 Desember 2015 sebesar Rp 318,1 triliun dengan realisasi defisit anggaran pada periode yang sama sebesar Rp 292,1 triliun. “Dengan dana itu, kami bisa menambal defisit sampai Rp20 triliun tanpa harus tambah utang,” kata Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro.
Meski demikian, dana Silpa itu tidak akan berpengaruh apa-apa dan tidak cukup menambal defisit. Karenanya, menurut Juniman, ekonom Maybank Indonesia, pemerintah perlu mengubah asumsi makro dalam APBN Perubahan 2016, sehingga lebih rasional. “Kalau pertumbuhan cuma 5 lima persen bilang 5 persen. Kalau harga minyak cuma US$ 30-US$40 per barel buat seperti itu,” katanya.
Efektif dan selektif menggunakan anggaran adalah sikap yang paling mungkin dilakukan pemerintah ketika pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Pilihan efektivitas tersebut tertuju pada belanja barang dan belanja rutin. “Apabila pos anggaran harus ada yang dipotong, arahnya adalah belanja barang dan belanja rutin, bukan untuk infrastruktur. Belanja infrastruktur tidak akan dipotong,” kata Presiden Jokowi saat meninjau proyek LRT Jakabarang-Bandara Sultan Badaruddin Mahmud II di Palembang.
Terkait proyeksi penerimaan negara khususnya dari pajak di 2016 yang masih melempem, Jokowi bersama menteri terkait sedang mengkaji serta menghitung ulang. “Kalau akhirnya penerimaan negara tidak tercapai, belanja juga harus dipotong, tapi kita belum bicara sampai ke sana. Janganlah mendahului dulu, hitung-hitungannya masih berjalan,” kata Jokowi.
Alhasil, mengajukan APBN Perubahan 2016 ke DPR pada Juli mendatang menjadi jurus sakti terakhir pemerintah untuk mengatasi defisit anggaran. Langkah ini juga menjadi solusi pemerintah untuk meringankan beban kekurangan anggaran yang ujung-ujungnya dapat mengancam stabilitas ekonomi dan politik.
Menunggu pengajuan APBN Perubahan 2016 yang masih tiga bulan lagi, sejumlah kalangan mengingatkan agar pemerintah selektif menggunakan anggaran yang terbatas itu. Terutama untuk membiayai program yang memang menjadi prioritas sejak awal dan bukan mengambil jalan pintas dengan cara berutang kepada asing. Pasalnya, utang Indonesia kepada asing sudah sangat membengkak. Sekadar pengingat, data Bank Indonesia menunjukkan posisi utang luar negeri Indonesia akhir Januari 2016 sudah mencapai Rp 4.158 triliun, naik 2,2% dari bulan Desember 2015.
Pemerintah Jokowi-JK bisa saja menargetkan pembangunan infrastruktur yang massif, tapi tetap harus memperhatikan keadaan anggaran negara. Jangan terjadi seperti kata pepatah lama: besar pasak daripada tiang.
Tampaknya, Presiden Jokowi sudah saatnya membuka “catatan blusukan”-nya untuk “menguji” lagi mana program kerja yang benar-benar diperlukan masyarakat sehingga harus sangat diprioritaskan, mana program yang bisa ditunda sampai negara punya fulus lagi, dan mana program yang memang harus dihapuskan segera agar tidak menjadi beban. [ARS/PUR]