Sudah Ada Payung Hukum, Mengapa Ujaran Kebencian Tetap Merajalela?

Ilustrasi UU ITE

Suluh Indonesia – Sejak 2008 pemerintah telah menerbitkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang pada pokoknya mengatur segala macam aktivitas yang bersinggungan dengan ITE. Bahkan, salah satu pasalnya mengatur dengan jelas tentang ujaran kebencian.

Alih-alih ujaran kebencian makin turun, faktanya kelahiran UU tersebut belum bisa menjawab tantangan kehidupan bernegara yang bebas dari ujaran kebencian.

Bahkan, Ketua Program Doktor Hukum Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago merasa bingung dengan maraknya kasus ujaran kebencian meski sudah ada payung hukum yang mengatur soal itu.

Seharusnya, kasus-kasus ujaran kebencian yang terjadi di Tanah Air dan yang menjerat warga biasa, tokoh agama, politisi hingga pejabat negara, dapat menjadi pelajaran bagi semua orang.

Nyatanya, itu tampaknya belum membuat masyarakat jera untuk berhenti menyebar ujaran kebencian melalui gawai.

Tampaknya, diperlukan penguatan sosialisasi UU itu oleh pihak pemerinah, khususnya Kementerian Agama, Kemkominfo dan aparat keamanan terkait bahaya ujaran kebencian.

Hal itu penting ditekankan, demi menjaga agama dari ujaran kebencian dan tidak mengganggu atau menghina agama lainnya.

Tetapi, bila kita menilik lebih jauh sebelum UU ITE lahir, Islam telah mengajarkan tentang toleransi dan sikap menghargai keyakinan yang berbeda.

Hal itu tercermin dalam Surah al-Kafirun. Pada ayat terakhir atau keenam secara jelas mengatakan bahwa: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”.

Agar kasus ujaran kebencian tidak terjadi lagi atau setidaknya dapat diminimalisir, maka aparat keamanan dalam hal ini polisi harus berani tegas dan tentunya tidak tebang pilih dalam menanganinya.

Dari sekian banyak masalah bangsa yang sedang dihadapi saat ini termasuk pandemi Covid-19 yang belum berakhir, sudah sepatutnya seluruh anak bangsa saling bergandengan tangan, mempererat kebinekaan dan menjauhi permusuhan.

Dengan demikian maka cita-cita pendiri bangsa yang menginginkan Indonesia betul-betul merdeka tidak terkhianati atau terkoyak hanya karena adanya ujaran kebencian di ranah publik.

Baca juga: Serat I LA GALIGO

Meski begitu, maraknya ujaran kebencian yang muncul ke tengah publik bisa jadi dilatar-belakangi banyak hal. Salah satunya bisa saja akibat kondisi pandemi Covid-19 yang mengakibatkan banyak orang tidak bebas seperti biasanya.

Pasalnya, keadaan sekarang serba terbatas, yang berdampak kepada tekanan secara psikologis kepada masyarakat dan akhirnya berimbas pada perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan norma.

Ditambah lagi dengan desakan ekonomi, yang berimplikasi mengakibatkan mudahnya orang melakukan kejahatan termasuk merespons adanya penghinaan-penghinaan.

Tetapi apapun alasan seseorang hingga membuat ujaran kebencian, tetap saja itu tidak dapat dibenarkan. Sehingga, penegak hukum seperti polisi harus bersikap adil, mengevaluasi diri termasuk dalam menangani kasus-kasus ujaran kebencian yang terjadi.

Evaluasi tersebut termasuk melihat kesiapan sumber daya manusia, hingga profesionalitas Polri dalam bekerja. Bila hal tersebut bisa diterapkan polisi, maka diyakini tidak akan ada lagi publik yang menuding atau beranggapan Korps Bhayangkara tebang pilih menangani kasus.

“Karena bisa saja ada ketidaksamaan perlakuan dan integritas,” begitu pandangan yang dikemukan oleh Pakar Hukum Yenti Ganarsih.

Sebagai contoh ada kasus yang direspons langsung dan ada kasus yang lambat mendapat perhatian atau tindakan dari polisi. Akibatnya, masyarakat masih melihat hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah.

Bahkan, tak jarang penanganan kasus seakan-akan melihat kekuatan di belakang orang yang melanggar UU ITE tersebut yang akhirnya menjadikan kasus itu lambat untuk diusut. Padahal, pada dasarnya di mata hukum setiap orang diperlakukan sama tanpa perbedaan atau pengecualian.

Karena bagaimanapun, kasus ujaran kebencian tampaknya tidak pernah akan habis diucapkan oleh masyarakat. Sasarannya jelas mengarah pada unsur suku, agama, ras dan antargolongan.

Kendati sudah ada produk hukum yang mengatur soal tindakan tersebut yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetap saja ujaran kebencian belum bisa dibendung atau membuat masyarakat jera.

Teranyar, kasus ujaran kebencian atau dugaan penistaan agama yang dilontarkan oleh YouTuber M Kace karena menistakan agama Islam melalui kanal YouTubenya. Dia dikenakan melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) UU ITE atau Pasal 156a KUHP.

Berawal dari unggahan video ceramahnya terkait Kitab Kuning dan Nabi Muhammad SAW yang diunggah dengan judul “Kitab Kuning Membingungkan”. Atas tindakannya tersebut masyarakat di Tanah Air langsung merespons dan meminta pihak kepolisian bergerak cepat menangkap sang YouTuber.

Pada Rabu (25/8) polisi berhasil menangkap M Kace di Bali dengan status tersangka yang disandangnya.

Sehari berselang, publik di Tanah Air kembali dihebohkan dengan penangkapan Yahya Waloni di kediamannya. Dia juga ditangkap karena kasus dugaan penodaan agama.

Sang ustaz ditangkap setelah dilaporkan oleh Komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme. Laporan tersebut tertuang dalam LP Nomor: LP/B/0287/IV/2021/BARESKRIM.

Intinya, Yahya Waloni diduga menistakan agama melalui ceramahnya yang menyebut Bible palsu. Sama dengan YouTuber M Kace, Yahya Waloni juga disangkakan melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE terkait ujaran kebencian.

Dari dua kasus ujaran kebencian di atas yang cukup menyita perhatian publik, beragam respons juga tertuju kepada Korps Bhayangkara sebagai instansi terdepan yang menanganinya.

Ada yang merespons positif dan mengapresiasi kinerja Polri karena bertindak cepat, namun ada juga yang membandingkan dengan penyelesaian kasus yang hampir sama.

Sejumlah pihak mendesak agar polisi bertindak adil dalam menangani kasus dugaan penistaan agama sebagaimana yang menimpa Yahya Waloni dan M Kace.

Desakan serupa juga ditujukan kepada Polri agar memproses Permadi Arya alias Abu Janda dan Denny Siregar. Dua orang tersebut dinilai banyak pihak turut serta membawa kegaduhan di tengah publik akibat pernyataan yang dilontarkannya dan melukai agama tertentu.

Misalnya, pernyataan Abu Janda yang menyebut arogan itu adalah Islam sebagai agama pendatang dari Arab terhadap budaya dan kearifan lokal di Tanah Air.

Kemudian pegiat media sosial Denny Siregar yang menyebut “adek2ku calon teroris yang abang sayang”. Ucapan Denny kemudian menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat terutama bagi umat muslim.

Denny pun lantas dilaporkan ke Polres Tasikmalaya, Jawa Barat dugaan tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan menggunakan foto tanpa izin.

Tapi demikian, laporan polisi yang dilayangkan masyarakat terhadap dua orang tersebut hingga kini masih mangkrak alias tak direspons di meja kepolisian.

Desakan keduanya agar ditangkap disampaikan oleh Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Razikin. Karena persoalan yang menimpa kedua pegiat media sosial itu sangat serius dan sensitif.

Dampak dari permasalahan-permasalahan di atas mungkin bisa menjadi cerminan masyarakat saat ini. Mereka cenderung memudahkan atau menggampangkan permasalahan dengan cara yang tidak baik.

Terlebih, akses teknologi dan informasi tanpa batas dan ruang mudah dijangkau saat ini. Melalui jemarinya, masyarakat bebas melampiaskan keinginan di dunia digital, baik itu perkara positif maupun negatif.

Kemudahan masyarakat meluapkan ekspresi tersebut tak jarang tanpa dibarengi filter atau membatasi diri dengan itikad yang bisa diterima oleh nilai dan norma.

Merujuk pada gambaran itu, maka apa yang dilakukan oleh polisi dalam menindak pelaku ujaran kebencian yang mengarah pada SARA sudah tepat. Faktor agama merupakan alasan paling kuat atau cepat direspons oleh polisi apabila adanya dugaan ujaran kebencian.

Namun demikian, acap kali, pihak kepolisian terlihat tebang pilih dalam hal penegakan hukum. Karenanya, pihak kepolisian harus lebih profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pengayom masyarakat.

Di lain sisi, masyarakat saat ini belum bisa membedakan kritikan dan hujatan karena dua hal tersebut berbeda. Seperti kritikan yang dilontarkan oleh Denny Siregar. Kritikan yang disampaikan Denny dibarengi dengan solusi jalan keluar. [WIS]