Suap PLTU Riau: Eni Nyatakan “Fee” dari Kotjo Halal

Ilustrasi: Mantan Ketua DPR Setya Novanto dan pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo bersaksi dalam sidang untuk terdakwa anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih didakwa menerima suap senilai Rp4,75 miliar serta gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura (sekitar Rp410 juta) di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (18/12/2018)/Antara-Desca Lidya Natalia

Koran Sulindo – Anggota Komisi VII DPR non-aktif dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih mengaku “fee” yang diterimanya dari pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo halal, karena merupakan “fee” untuk agen.

“Tentang fee 2,5 persen memang dari CHEC (China Huadian Engineering Company).  Memang selalu disampaikan Pak Kotjo kalau ‘fee’ itu halal, legal, karena Pak Kotjo mendaftarkannya dengan pajak. Saya membantu karena saya yakin tak menyalahi aturan,” kata Eni, dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (18/12/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Dalam kasus suap ini, Eni didakwa menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham BNR Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo serta gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura (sekitar Rp410 juta) dari pengusaha yang bergerak di bidang energi dan tambang itu.

“Saya mengakui memang pemberian bantuan Pak Kotjo 4 kali ada Rp4 miliar-an. Tapi pemberian itu tak terkait PLTU. Semua pemberian itu ada tanda terimanya. Jadi saya tak sembunyi-sembunyi karena saya tidak menganggap itu suap.  Saya mengakui salah menerima pemberian dan saya sudah mengembalikan,” katanya.

“Fee” tersebut adalah imbalan dari pengurusan proyek “Independent Power Producer” (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa Kotjo pada sekitar 2015 mengetahui rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1 sehingga ia mencari investor dan didapatlah CHEC Ltd dengan kesepakatan bila proyek berjalan maka Kotjo akan mendapat ‘fee’ sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS.

Dari jumlah tersebut, Eni diduga juga akan mendapat bagian 3,5 persen atau sekitar 875 ribu dolar AS.

“Saya beri tahu Ibu Eni kalau tidak salah saya akan dapat 2,5 persen dan itu halal karena itu ‘agent fee’ jadi semua dapat ‘fee’. Setelah saya yakin Bu Eni dapat mempertemukan saya dengan Pak Sofyan Basir, saya katakan saya dapat ‘agent fee’ 2,5 persen tapi saya tidak pernah mengatakan Ibu Eni dapat berapa,” kata Kotjo, yang bersaksi dalam persidangan hari ini.

“Dalam BAP saudara mengatakan ‘Saya sampaikan bahwa saya dapat ‘agent fee’ 2,5 persen tahun 2016 ketika berada di lobi gedung PLN. Saya beri tahu karena saya ingin memastikan Eni bisa mempertemukan saya dengan Pak Sofyan Basir, yang tahu soal ‘agent fee’ 2,5 persen selain saya, adalah Setya Novanto dan Eni Maulani Saragih’, apakah ini benar?” tanya jaksa penuntut umum KPK Ronald Worotikan.

“Sebenarnya kalau 2,5 persen itu orang akan tahu memang jumlah segitu, itu ‘common sense’ terdakwa tahu dan insya Allah fee-nya legal, tapi saya tidak pernah mengatakan itu ke Pak Setya Novanto karena asumsi saya, dia tahu karena ‘fee’ 2,5 persen itu memang ‘common sense’,” jawab Kotjo.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa Kotjo pada sekitar 2015 mengetahui rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1 sehingga ia mencari investor dan didapatlah perusahaan CHEC Ltd dari China dengan kesepakatan bila proyek berjalan maka Kotjo akan mendapat ‘fee’ sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS.

Fee itu akan dibagikan kepada Kotjo sendiri sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS serta Setya Novanto sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS.

“Apa peran Setnov sehingga dicadangkan 6 juta dolar AS?” tanya jaksa Ronald.

“Pertama-tama, semua yang ada di ‘list’ itu tidak tahu akan mendapat uang, yang tahu cuma saya, lalu KPK menyita ‘list’ itu dan terungkap di media, jadi mereka ‘suprise’. Nah saya dan beliau (Setnov) sudah kenal lama, saya merasa berhutang dengan dia, saya ingin berterima kasih kepada beliau karena beliau selalu membantu,” jawab Kotjo.

Kesaksian Kotjo

Sebelumnya, Kotjo mengakui peran anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih sebagai penghubung dengan Direktur Utama (Dirut) PLN Sofyan Basir.

“Tugas beliau memfasilitasi pertemuan-pertemuan saya dengan direksi dan Dirut PLN karena kalau saya ke Dirut PLN akan lama sekali diterimanya tapi dengan terdakwa bisa jauh lebih cepat,” kata Kotjo.

Kotjo bersaksi untuk Eni Maulani Saragih didakwa menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham BNR Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo serta gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura (sekitar Rp410 juta) dari pengusaha yang bergerak di bidang energi dan tambang itu.

“Kepentingan terdakwa (Eni) adalah men-‘develop’ proyek sehingga bisa berhasil dan perusahaan yang saya bawa itu bisa jadi mitra PLN yaitu Blackgold Natural Resources Singapura dan Samantaka Batubara,” kata Kotjo.

PT Samataka Batubara adalah anak perusahaan BNR. BNR memiliki 99 persen saham PT Samantaka, sedangkan Kotjo adalah pemegang saham PT BNR. Proyek yang dimaksud adalah “Independent Power Producer” (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.

Sebelum “menggunakan jasa” Eni, Kotjo lebih dulu meminta bantuan kepada mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) yang ia sudah kenal lebih dari 30 tahun.

“Katanya dia kenal Sofyan Basir kemudian saya tidak dikenalkan langsung, tapi saya disuruh membuat surat untuk bertemu di kantor PLN dengan Pak Sofyan Basir, lalu saya bertemu dengan Pak Sofyan Basir di PLN pusat,” kata Kotjo.

Namun setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 kepada Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan Kotjo. Idrus merupakan Plt Ketua Umum Golkar saat itu.

Eni lalu menyampaikan kepada Idrus akan mendapat ‘fee” untuk mengawal proyek PLTU MT RIAU-1.

“Setelah mereka yakin bahwa saya memang bisa berhubungan dengan PLN dengan baik, lalu kita bicara soal fee, dasarnya 2,5 persen dari nilai proyek dengan term pembayaran adalah 60 hari setelah ditandatangani ‘power puchase agreement’ (PPA) sebesar 30 persen, setelah ‘financial closing’ sebesar 60 persen, dan 10 persen setelah ‘sealed’,” kata Kotjo.

Tapi dari rencana seharusnya memberikan sekitar Rp7,5 miliar, Kotjo hanya menyerahkan Rp4,75 miliar kepada Eni.

“Kan terdakwa meminta saya untuk membantu mengurus mesin partai, saya kasih Rp2 miliar, lalu membantu untuk membantu suami Rp2 miliar, sisanya 750 juta, jadi sebetulnya tidak ada hubunganya dengan proyek yang ini karena itu sumbangan saya untuk terdakwa untuk bantu dia di pilkada suaminya,” kata Kotjo.

Besaran bantuan itu menurut Kotjo adalah bagian dari 3,5 persen dari 2,5 persen “fee” berdasarkan nilai proyek 900 juta dolar AS.

“Saudara mengatakan di BAP bahwa ‘3,5 persen itu adalah untuk ‘other’ yaitu pihak-pihak lain yang membantu seperti Eni mendapat 3,5 persen dari 2,5 persen total 875 ribu dolar AS dengan 2 versi perhitungan karena saat itu masih ada alokasi’, keterangan ini benar?” tanya jaksa penuntut umum KPK Ronald Worotikan.

“Saat itu disita sama sekali tidak terpikir untuk membeli, kalau dilihat ada tulisan tangan saya untuk DPR (Eni) itu baru, jadi merupakan tambahan,” jawab Kotjo.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa uang hasil penerimaan atau gratifikasi tersebut telah digunakan oleh terdakwa Eni Maulani Saragih untuk membiayai kegiatan Pilkada di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah yang diikuti oleh suami terdakwa yaitu M. Al Khadziq serta untuk memenuhi kebutuhan pribadi Eni.

Peran Dirut PLN

Dalam persidangan hari ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mengungkap percakapan ‘WhatsAap’ (WA) soal peran Direktur Utama PLN Sofyan Basir untuk meloloskan proyek “Independent Power Producer” (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).

Percakapan itu terjadi pada 23 Februari 2018 antara anggota Komisi VII DPR non-aktif dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo,  yang diputar dalam sidang untuk terdakwa Eni Maulani Saragih di pengadilan Tipikor, hari ini.

Eni: SB bilang ‘bu eni dapatnya harus yg the best ya.., karena di sini bu eni yg fight’ saya bilang aman.. yg fight kita bertiga lah.. pak SB jg fight, Pak kotjo

Kotjo: Hahha iya ibu, kita semua

Eni: SB sgt mengerti itung-itungan, besok-besok katanya jangan di print print, langsung            saja, biar cepat, gak bolak-balik hahaha

Kotjo: Besok-besok lebih cepat karena sudah tahu maunya pln

Eni: Thema baru harus langsung aja biar cepat

Kotjo: Beres

Eni: SB: anak2nya saya diperhatikan juga ya biar mereka happy

Terhadap percakapan itu, Kotjo yang menjadi saksi dalam sidang mengatakan bahwa Sofyan Basir tidak pernah meminta apa-apa darinya.

“Seingat saya Pak Sofyan tidak pernah minta apa-apa dan seingat saya juga terdakwa tidak pernah minta apa-apa ke saya,” kata Kotjo.

“Uang Rp4,75 miliar itu bagaimana?” tanya JPU KPK Ronald Worotikan.

“Itu untuk Munas Golkar dan pilkada suaminya ibu Eni,” jawab Kotjo.

“Dalam BAP No 9 terkait percakapan WA saksi mengatakan dalam pertemuan ada Idrus Marham meminta agar membantu munaslub partai Golkar, Idrus minta berapa?” tanya jaksa Ronald.

“Dia tidak sebut jumlahnya tapi saya kasih ke terdakwa Rp2 miliar dan untuk selamatan karena kemenangan butuh Rp500 juta,” jawab Kotjo.

“Apakah campur tangan Idrus Marham untuk pemberian Rp2 miliar yang kedua?” tanya jaksa Ronald.

“WA (whatsaap) terdakwa hanya untuk menggerakkan mesin partai, Pak Idrus saat itu belum muncul. Terdakwa pernah mengatakan ke saya nanti diperhitungankan, tapi tidak ada berkata yang lain dan saya juga tidak menjawab sama sekali,” jawab Kotjo.

JPU KPK pun akhirnya menampilkan percakapan WA pada 27 Juni 2018 antara Eni dan Kotjo.

Eni: Menang telak di Temanggung

Kotjo: Alhamdullah amin ya selamat ibu nggak sia-sia perjuangan

Eni: Alhamdulilah. Gimana huangdian. Amaaaan??

Kotjo: Insyaallah aman

Eni: Sipp. Bisa bayar utang, hehehe

Kotjo: Insya Allah

“Akhir pembicaraan terdakwa saya dengan tidak pernah membicarakan (fee), tapi saya cuma kasih wawasan ke beliau (Eni) di kantor PLN kalau saya dapat fee 2,5 persen dan beliau juga tidak tahu dikasih berapa. Kalau soal bayar utang di percakapan itu karena beliau mau utang ke bank dengan jaminan rumah ya mungkin itu menganggap Rp4,75 miliar utang ke saya,” kata Kotjo. [DAS]