{Foto: Istimewa]

Suluh Indonesia – Selain menahan Bupati Probolonggo dan Anggota DPR dari Fraksi NasDem, Komisi Pemberantasan Korupsi juga menangkap 17 tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan kepala desa di Pemkab Probolinggo, Jawa Timur.

Panahanan itu dilakukan KPK untuk kepentingan proses penyidikan. Upaya paksa penahanan terhadap 17 orang dilakukan dalam 20 hari pertama terhitung sejak 4 September 2021 sampai dengan 23 September 2021.

Pengungkapan suap jual-beli jabatan ini memang bukan kali pertama di tangani KPK. Namun, jumlah ini memang terhitung besar. KPK menetapkan 22 orang sebagai tersangka kasus tersebut, terdiri dari empat orang sebagai penerima dan 18 orang pemberi suap.

Sungguh ironi memang, ketika Pemerintahan Jokowi-Maruf tengah berjuang melawan Covid-19, justru para aparatur daerah sibuk dengan mementingkan jabatannya.

Lalu apa yang terjadi? Tampaknya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI No.28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional tidak diindahkan.

Peraturan itu yang dikeluarkan kurang dari dua bulan setelah Menpan RB Tjahjo Kumolo dilantik, lantas Menpan RB memangkas 39.000 jabatan ASN setingkat eselon III dan eselon IV sampai Februari 2021.

Karena bila mengacu pada kasus di atas,  pemerintahan efektif adalah birokrasi yang sederhana. Tapi demikian, menyederhanakan struktur birokrasi pemerintahan butuh kebijakan yang menggebrak dan tidak populer, khususnya bagi sebagian pegawai aparatur sipil negara (ASN).

Karena bagamana pun, gebrakan itu membuat banyak ASN terpaksa keluar dari zona nyaman, yang kemudian langkah itu dapat membuat para ASN tidak lagi fokus mengincar jabatan struktural. ASN bisa fokus meningkatkan kinerja secara profesional demi memberi pelayanan terbaik bagi publik.

Dari dulu memang, para birokrat lebih berorientasi pada jabatan struktural, seolah-olah para pemangku jabatan struktural memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sedemikian kuat. Pola pikir demikian menjauhkan ASN dari marwahnya sebagai pelayan publik.

Karena itu, langkah Menpan RB yang memangkas jabatan bisa mengubah pola pikir ASN yang masih mengejar jabatan struktural, mengingat jenjang karier ASN saat ini ditentukan kinerjanya dalam melayani publik dan kompetensi sebagai pelayan publik.

Pola pikir lama seperti ini, tentu lambat laun akan mengubah menjadi pola pikir yang lebih mengoptimalkan fungsi-fungsi spesifik tugas pemerintahan yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.

Kondisi-kondisi yang sifatnya nonfisik itu, jika meminjam pemikiran para strukturalis merupakan bagian dari struktur. Dengan demikian, semua itu seharusnya tidak terlepas dari sasaran reformasi birokrasi yang dilakukan guna menciptakan pemerintahan efektif dan pelayanan publik yang profesional, tidak lagi ada namanya asal ada duit baru dikerjakan.

Walaupun demikian, berbagai terobosan itu belum cukup karena saat ini konflik kepentingan, rangkap jabatan, dan jual beli jabatan tidak sulit ditemukan terjadi di instansi-instansi pemerintah.

Kasus yang teranyar yakni suap terhadap Bupati Probolinggo. Bila lingkungan di institusi pemerintah mendukung tumbuh kembangnya budaya malu, maka suap-menyuap mungkin tidak ada. Pasalnya, ada keengganan dan kesungkanan untuk berbuat demikian.

Apabila ada pelanggaran, tentu para pejabat atau birokrat yang bersalah tidak perlu sampai ditangkap. Pertanyaannya, apakah lingkungan kerja instansi pemerintah mendukung tumbuhnya budaya malu, sementara berbagai potensi adanya konflik kepentingan justru amat terasa.

Karena bagaimana pun, konflik kepentingan wajib dijauhi oleh para pejabat publik, karena berpotensi menjadi celah tindak pidana korupsi. Konflik kepentingan pada pejabat publik juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Terkait itu, upaya mereformasi struktur birokrasi tentu tidak cukup dengan penyederhanaan organisasi, digitalisasi, atau pemberian predikat Zona Integritas di instansi-instansi pemerintah. Perubahan paling mendasar ada pada pola pikir, pemahaman, dan kebiasaan para birokrat, setidaknya untuk punya budaya malu jika terbukti berbuat kesalahan.

Namun, reformasi yang mengakar pada alam pikir, kesadaran, dan perbuatan para birokrat tidak dapat dilakukan hanya dengan jargon-jargon, slogan, dan pelatihan.

Perubahan itu hanya mungkin terjadi jika antara lain ada komitmen bersama menegakkan hukum, mempraktikkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) secara lengkap dan utuh, serta adanya keteladanan pimpinan-pimpinan instansi pemerintah untuk konsisten memegang integritas sebagai pelayan publik dan pengabdi negara. [WIS]

Baca juga