Koran Sulindo – Mendiskusikan Islam dalam lingkup Uni Soviet acap kali menjadi “masalah”. Pasalnya, negeri pertama yang menerapkan sistem sosialisme itu selalu dikaitkan antara gagasan komunismenya dengan ateisme – walau sama sekali tidak ada kaitannya. Dalam sejarahnya, nasib Islam justru jauh lebih baik di bawah kepemimpinan kaum Bolshevik setelah menumbangkan pemimpin feodal Tsar.
Pada masa itu, dari 16 negara bagian Republik Soviet, sekitar delapan di antaranya, penduduknya mayoritas Islam. Jejak Islam awal mula diperkenalkan di Uzbekistan pada abad ke-8 di masa Khalifah Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Sosok ini merupakan khalifah kelima Dinasti Umayyah pada usia 39 tahun. Selama 21 tahun memerintah ia dianggap khalifah perkasa, negarawan berwibawa yang mampu memulihkan kesatuan kaum Muslimin.
Selama 200 tahun, wilayah Uzbekistan berada di bawah pemerintahan Muslim. Dari wilayah ini pula muncul beberapa sarjana Muslim terkenal. Seperti di Uzbekistan, jejak Islam di Tajikistan juga bermula pada abad yang sama. Seluruh warga Tajikistan merupakan umat Muslim, jauh sebelum Islam tiba di Afghanistan.
Setelah Revolusi Oktober itu, dukungan Lenin dan juga Stalin terhadap umat Islam tercermin dari pernyataannya pada 24 November 1917. Dalam tulisan berjudul Islam in the USSR Part 1 – Lenin menyebutkan, hanya sebulan setelah Revolusi Oktober meletus, ia memastikan kaum Muslim Rusia bebas untuk beribadah. Masyarakat Muslim kembali diizinkan untuk mendirikan masjid-masjid yang dihancurkan pada zaman Tsar.
Umat kembali diizinkan untuk bebas memeluk kepercayaan dan tradisi yang “diinjak-injak” pada era Tsar dan para penindas. Lenin memastikan soal praktik dan kepercayaan adalah hak umat. Negara dipastikan tidak akan mencampurinya. Umat Islam, seperti juga semua rakyat Rusia berada di bawah perlindungan kuat revolusi, kata Lenin.
Sikap Lenin itu sesungguhnya telah tercermin sejak 1909. Sebuah tulisan berjudul The Bolsheviks and Islam menyebutkan, Lenin tidak mungkin memaksakan kaum buruh ketika itu untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Karena itu, sama saja dengan bunuh diri politik. Terlebih waktu itu, ia sedang mengorganisasi kaum buruh untuk bergabung ke partai revolusioner. Lenin karena itu menentang orang-orang yang melarang kaum buruh untuk menjalankan keyakinannya.
Kembali kepada sikap Lenin soal Islam selepas Revolusi Oktober. Ia menyilakan umat Islam untuk mengembalikan buku-buku atau artefak ke masjid-masjid di Rusia. Wilayah Soviet yang berada di Asia Tengah – untuk menghormati umat Islam – pada hari Jumat dinyatakan sebagai hari libur. Lenin bahkan tidak mempersoalkan ketika suatu daerah ingin menerapkan hukum syariat Islam.
Sebagian pihak memandang apa yang dilakukan Lenin itu sebagai strategi politik untuk menggandeng kaum Muslim. Lalu, pemimpin kaum Muslim berharap di bawah Soviet, mereka akan mendapat kebebasan lebih besar. Dari situ, kelompok pan-Islam Kazakhstan yaitu Ush-Zhuz – yang telah bergabung dengan Partai Komunis pada 1920 – mampu membentuk aliansi dengan pan-Islam Persia dan lain-lain.
Setelah Revolusi Oktober 1917 berhasil menumbangkan Tsar, kaum Bolshevik menegaskan pemisahan antara agama dan negara. Akan tetapi, Uni Soviet memastikan tidak anti-agama. Persoalan administrasi warga negara seperti pendaftaran kelahiran, pernikahan, perceraian dan pendidikan menjadi urusan pemerintahan, tidak lagi urusan gereja. Pemerintah menghapus hak-hak istimewa gereja seperti menguasai properti dan lain sebagainya.
Beberapa gereja di bawah kekuasaan kaum proletar justru berkembang pesat. Semisal, aliran Protestan evangelis. Dari sekitar 100 ribu orang pada waktu zaman Tsar, naik tajam menjadi satu juta orang pada dekade pertama pemerintahan Soviet. Para evangelis ini terlibat dalam kerja-kerja yang luas dan kuat serta memanfaatkan konstitusi yang memberi kebebasan dalam menyebarkan agama.
Para evangelis ini menerbitkan berbagai karya mereka, menjalankan sekolah Alkitab untuk mendidik calon pendeta, menyelenggarakan program sosial, menciptakan koperasi pertanian dan manufaktur. Untuk menjamin ini semua, Lenin tidak mau menciptakan tindakan-tindakan menyinggung perasaan masyarakat yang religius itu. Tindakan-tindakan kaum Bolshevik yang mengarah kepada itu hanya akan membangkitkan kebencian rakyat. Dan musuh akan menggunakannya dengan menyebutkan kaum Bolshevik menganiaya rakyat karena iman kepercayaannya.
Stalin soal Islam
Setelah masa Lenin, tuduhan yang sama diberikan kepada penerusnya yaitu Stalin bahwa orang-orang komunis memang “hobi” menganiaya warga yang setia kepada agamanya. Akan tetapi, faktanya tidaklah demikian. Dalam sebuah Congress of the Peoples of Daghestan pada November 1920, Stalin menegaskan posisi pemerintah Rusia terhadap hukum syariah Islam. Pidato Stalin ini menjadi penting mengingat tuduhan yang diberikan kepadanya pun tidak main-main.
Di pidatonya itu, Stalin memulai bahwa pemerintah mendengar rakyat Dagestan menganggap hukum syariah Islam teramat penting. Walau pada saat bersamaan, musuh-musuh Uni Soviet juga menyebarkan desas-desus bahwa pemerintah melarang syariah Islam. Stalin tentu saja membantah desas-desus itu. Berdasarkan wewenang yang diberikan pemerintah Republik Sosialis Uni Soviet, setiap orang berhak mengatur dirinya sendiri sesuai dengan undang undang dan kebiasaannya.
Menurut Stalin, Dagestan mesti otonom dan diberi kebebasan secara mandiri mengatur kehidupannya secara administrasi sambil menjaga persatuannya dengan orang-orang Rusia. Maka, Dagestan mesti diatur sesuai dengan ciri khas, tata cara hidup dan adat-istiadatnya. Pemerintah Soviet menganggap syariah Islam sebagai hukum umum, sama-sama diberi hak sebagaimana rakyat lainnya yang berada di Rusia. Karena itu, kata Stalin, jika rakyat Dagestan ingin melestarikan hukum dan kebiasaan mereka, itu tidak menjadi masalah.
Serba salah memang. Ketika Stalin memberikan pernyataan demikian, ia justru dituduh menjadi bagian atau itu bukti bahwa komunisme berhubungan erat dengan radikalisme Islam. Ia dituduh sebagai pendukung penerapan syariah Islam walau di sisi lain, ia juga dituduh “memaksa” rakyat untuk menjadi ateis. Padahal tidak demikian. Stalin hanya menegaskan rakyat Dagestan berhak memilih dan menentukan masa depannya. Termasuk jika ingin menerapkan syariah Islam yang dianggap sebagai bagian hukum umum di Uni Soviet.
Akan tetapi, Stalin juga tidak menginginkan rakyat selalu berada dalam tahapan kebudayaan demikian. Ia karenanya menganjurkan pendidikan untuk meningkatkan tingkat kebudayaan rakyat Dagestan yang dianggap masih didominasi budaya Rusia kuno. Dan pemerintah Uni Soviet menyediakan pendidikan itu. Pada prinsipnya, pemerintah Soviet bertujuan untuk meningkatkan kebudayaan rakyat Dagestan ke tingkat yang lebih tinggi.
Ia mengetahui, “musuh” utama rakyat adalah ketidaktahuan. Itu sebabnya, pemerintah Soviet merancang mendirikan sejumlah sekolah dan lembaga administrasi dengan berbagai bahasa daerah. Lewat cara ini, pemerintah Soviet berharap rakyat Dagestan terlepas dari kebudayaan kuno yang dianggap membodohi rakyat. Dengan kata lain, penghapusan syariah Islam secara bertahap dilakukan lewat pendidikan, bukan dengan pembunuhan massal seperti yang dikampanyekan Barat.
Sikap Stalin ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan Lenin. Kedua orang ini beranggapan, kelas buruh bukanlah satu-satunya kelas yang merintih dan tertindas pada masa rezim Tsar. Jutaan rakyat yang setia dengan kepercayaannya juga mengalami nasib yang sama terutama Kristen Ortodoks di bawah imam ortodoks yang menjadi kaki tangan rezim Tsar. Untuk mendapatkan hak pendidikan, kebebasan berbicara, kebebasan mengkritik, kebebasan beragama dan kebebasan berorganisasi, maka tidak ada cara lain kecuali menumbangkan rezim Tsar.
Lewat gerakan sosial untuk membangun sistem yang baru, rakyat lalu bergerak menjatuhkan sistem otokrasi. Lalu, bersama-sama membangun sebuah sistem sosial yang berdasarkan kepada pemerintahan rakyat untuk mewujudkan semua keinginan rakyat. Dengan demikian, rakyat akan terlindungi dari semua rezim penindas mulai dari kapitalis hingga penguasa feodal seperti kaum agama. Hanya sistem begitu, akan membawa kemaslahatan bagi rakyat banyak: perjuangan menuju pembentukan sistem sosialis.
Dalam karyanya berjudul National and Marxism Question, Stalin menyebutkan “suatu minoritas merasa tidak puas bukan karena tidak ada uni-nasional, melainkan karena tidak ada kebebasan berkeyakinan (kebebasan beragama), kebebasan bergerak dan lain-lain. Berilah ia kebebasan-kebebasan ini, maka, ia yak akan lagi merasa tak puas.”
Kendati telah bubar sejak 26 tahun lalu, warisan Lenin di dua wilayah mayoritas Islam eks Uni Soviet yaitu Kirgizstan dan Kazakhstan masih dilestarikan. Nama Lenin masih bersemi di hati warganya, meski menurut pemberitaan media Barat, rakyat kedua wilayah itu tidak lagi menginginkan komunisme. Di Kirgizstan, misalnya, kode Bandara Bishkek masih menggunakan FRU yang juga digunakan pada masa Uni Soviet. Inisial FRU merujuk kepada Mikhael Frunze, tokoh Kirgizstan yang merupakan salah satu komandan pasukan Tentara Merah dan bersahabat dengan Lenin.
Soal Kirgizstan mempertahankan nama bandaranya itu, warga mengaku sebagai bagian dari sejarah negerinya. Dan Lenin begitu penting bagi Kirgizstan, bahkan jika Lenin di masa lalu tidak pernah menginjakkan kakinya di negeri itu. Kecintaan warga Kirgizstan terhadap Lenin juga tampak pada sekelompok orang yang masih kerap memperingati Revolusi Oktober di samping patung Lenin.
Yang menarik adalah ketika ribuan rakyat Kirgizstan menggunakan ruang publik untuk Salat Ied pada Lebaran. Ketika mereka menghadap ke arah barat yang merupakan arah kiblat, tapi patung Lenin yang menjulang justru mengarah ke utara yang merupakan Rusia – kota yang menjadi tujuan warga Kirgizstan bekerja sebagai buruh migran. Jumlahnya mencapai sekitar satu juta orang. [Kristian Ginting]