Soviet, Bung Karno dan Pembebasan Papua Barat

Dari kiri ke kanan: kosmonot legendaris Uni Soviet Yuri Gagarin, Nikita Khruchev, Presiden RI Soekarno, dan Leonid Brezhnev di Kremlin, Moskow, Juni 1961 [Foto: RIA Novosti]

Koran Sulindo – Tidak seperti negara-negara jajahan Inggris, Indonesia memperoleh kemerdekaannya melalui jalan revolusi fisik. Sementara Inggris memberikan jalan kepada negara jajahannya untuk merdeka melalui jalan damai.

Indonesia menempuh revolusi fisik untuk mempertahankan dan membebaskan wilayah-wilayah yang menjadi jajahan Belanda selama empat tahun lamanya. Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949 kecuali Papua Barat atau dulu dikenal dengan Irian Barat.

Belanda beralasan bahwa pulau itu dan suku-sukunya memiliki budaya yang berbeda. Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekarno lantas membuat misi untuk membebaskan Papua Barat dari kekuasaan Belanda.

“Awalnya ini merupakan upaya yang sia-sia,” kata Clarice Van den Hengel,  peneliti dan ahli Indonesia berbasis di Den Haag, Belanda ketika berbincang dengan RBTH pada 21 Januari lalu. “Amerika Serikat yang telah membentuk NATO awalnya mendukung Belanda, dan Stalin sama sekali tidak peduli dengan Indonesia.”

Bung Karno memulai upaya pembebasan Papua Barat dengan cara bernegosiasi secara langsung dengan Belanda. Upaya itu akan tetapi gagal. Indonesia lantas menggalang dukungan di Majelis Umum PBB. Lagi-lagi upaya tersebut menemui jalan buntu.

Bung Karno secara politik memiliki kecenderungan sosialis. Ia kemudian memulai kunjungan pertamanya ke Moskow pada 1956. Di sana ia membahas masalah Indonesia dengan Belanda yang kemudian disebut sebagai “Sengketa Irian Barat”. Dengan kata lain, ia menempuh jalur konfrontasi dengan Belanda.

Pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev yang mendukung gerakan anti-kolonial di Asia dan Afrika menyatakan dukungannya kepada Indonesia yang waktu itu sedang menggalang dukungan di PBB. Soviet mulai memberi bantuan militer kepada Indonesia. Bantuan itu berupa satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal dan beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan ampifibi, helikopter, dan pesawat pengebom.

Bantuan persenjataan ini diberikan dari akhir 1950-an hingga ujung kekuasaan Bung Karno pada 1966. “Situasi menjadi berubah karena itu,” kata Hengel, “Tidak ada yang mau berurusan dengan militer Indonesia yang dilengkapi dengan persenjataan modern.”

Sejak itu, Indonesia menerapkan politik konfrontasi terhadap Belanda pada 1960. Konfrontasi ini melibatkan tekanan diplomatik, politik, ekonomi dan kekuatan militer secara terbatas. Puncaknya, konfrontasi ini memaksa Indonesia menggunakan kekuatan militer secara penuh yang berisiko melibatkan Amerika Serikat campur tangan untuk membantu sekutu NATO merekea.

Selama masa puncak konfrontasi, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio yang fasih berbahasa Rusia terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet. Pemimpin Soviet Khrushchev merekam pertemuannya dengan Subandrio dalam memoarnya.

“Saya bertanya kepada Subandrio: ‘Seberapa besar kemungkinan kesepakatan bisa tercapai,” tulis Khrushchev.

“Ia menjawab: ‘Kecil kemungkinannya.’ Saya katakan, ‘jika Belanda tidak rasional dan memilih perang, ini merupakan perang dalam batas tertentu dan bisa menjadi pembuktian terhadap pilot-pilot pesawat kami yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan lihat bagaimana rudal kami bekerja,” kata Khrushchev.

Setelah berbicara dengan Subandrio, Khrushchev heran mengapa hasil pembicaraan yang seharusnya rahasia kemudian disampaikan kepada AS. Memang Soviet secara terbuka mendukung Indonesia dalam sengketa Papua Barat dan AS nampaknya tidak ingin terlibat dalam konfrontasi yang berpotensi menimbulkan Perang Dunia.

Menurut Van den Hengel, itu merupakan saat-saat terakhir Belanda di Papua Barat. Selain tidak ingin terlibat perang secara langsung dengan Soviet, AS tidak ingin dituduh sebagai pendukung negara kolonial Eropa terhadap negara-negara Dunia Ketiga yang baru saja merdeka.

Belanda secara resmi menyerahkan Papua Barat ke PBB di bawah tekanan AS pada 1962. Kemudian diteruskan secara administrasi menjadi bagian dari wilayah Indonesia pada 1963. Papua Barat kemudian resmi bergabung setelah referendum pada 1969.

Dalam dokumen PBB yang dimuat laman resminya juga menyatakan demikian. Bahwa kesepakatan awal antara negara yang bersengketa tercapai pada Juli 1962. Dengan begitu, Papua Barat resmi berada di bawah PBB. Selanjutnya, Indonesia dan Belanda telah menandatangani perjanjian di New York pada Agustus1962. Sebelum resmi diserahkan kepada pemerintah Indonesia, otoritas terhadap Papua Barat berada di bawah sebuah badan PBB bernama UNTEA.

Badan ini mengelola, menjaga ketertiban, menegakkan hukum serta melindungi hak-hak penduduk. Badan ini memastikan semuanya berjalan dengan baik hingga secara administratif Papua Barat diserahkan kepada Indonesia. Bergabungnya wilayah Papua Barat ke Indonesia melalui proses demokratis dan sesungguhnya sudah sesuai dengan mekanisme hukum internasional kala itu. Dan itu sama sekali berbeda jauh dengan yang dituduhkan banyak orang sebagai aneksasi.

Berdasarkan beberapa catatan, Belanda disebut masih berkepentingan ketika Papua Barat sudah menjadi wilayah dari Indonesia. Bahkan pihak Belanda membentuk organisasi separatis untuk terus mengkampanyekan soal aneksasi dan mempersoalkan integrasi Papua Barat ke Indonesia. [KRG]