Soewarsih Djojopoespito: Pejuang Naratif yang Hampir Dilupakan

Soewarsih Djojopoespito

Koran Sulindo – Pada era kolonial Belanda di negeri ini, bahkan pada masa abad ke-20, sangat sedikit karya sastra yang mengangkat isu kebangsaan atau nasionalisme. Padahal, pada awal abad ke-20 saja, nama “Indonesia” sudah mulai populer dan aktivitas kaum pergerakan kemerdekaan semakin terlihat di permukaan, terutama di Jawa. An Age in Motion atau Zaman Bergerak, demikian istilah yang digunakan sejarawan asal Jepang, Takashi Shiraishi.

Mengapa bisa begitu? Bukankah karya sastra dikatakan sebagai “dokumen sosial”, karena cenderung merefleksikan semangat zamannya dan memotret-dengan-jiwa kehidupan masyarakat yang ada di lingkungan penulis karya itu?

Benar, memang begitu adanya. Namun, tak boleh dilupakan, karya sastra atau dunia sastra adalah bagian dari suatu sistem besar, dalam hal ini adalah sistem kolonialisme yang sedang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda, yang merupakan representasi dari Pemerintah Kerajaan Belanda, penjajah. Sistem besar ini juga menjangkau wilayah reproduksi karya sastra, dengan mendirikan Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur pada 1908, yang kemudian menjadi Balai Pustaka.

Tujuan utama pendirian Balai Pustaka tentu saja melanggengkan sistem kolonialisme. Komisi ini mengatur apa saja bacaan atau buku yang boleh dibaca atau tidak oleh kaum bumiputra. Artinya, bacaan atau buku yang diterbitkan Balai Pustaka pada masa itu haruslah berisi hal-hal yang sesuai dan  sejalan dengan sistem besar kolonialisme. Setidaknya isinya tak “mengganggu” para penjajah dan kaki tangannya itu. Jadi, memang, yang diterbitkan tak melulu berisi propaganda atau karya tulis yang secara verbal mendukung pemerintah kolonial.

Dari sana dapat dilihat, karya yang diterbitkan Balai Pustaka juga merefleksikan zamannya, yakni suatu masa ketika kekuasaan dan kekuatan kolonialisme masih sangat dominan. Apalagi, kemudian, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga memberi cap ke karya-karya tulis yang diterbitkan oleh penerbit selain Balai Pustaka sebagai “bacaan liar”.

Cap itu sekaligus mengonfirmasi tumbuhnya sistem reproduksi karya tulis dan karya sastra (penerbitan) di luar Balai Pustaka. Dari “bacaan liar” inilah dapat kita temukan penyemaian benih-benih nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajahan secara naratif, termasuk dalam karya sastra, walau memang jumlahnya juga tak banyak. Karya-karya sastra yang dapat dinilai kental menyuarakan hal-ihwal itu pada masa ini antara lain Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdika (1924) karya Mas Marco Kartodikromo; Hikayat Kadiroen (1920) karya Semaoen, dan; Buiten Het Gareel (1940, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada tahun 1975 sebagai Manusia Bebas) karya Soewarsih Djojopoespito.

“Bercampuran bangsa itu bisa jadi baik, kalau bangsa satu dan lainnya sama derajatnya, sama kekuatannya, sama kepercayaannya, dan lain-lain. Kalau tidak begitu, saya kira susah sekali. Biasanya jadi baik itu perkara assosiate.Lebih-lebih buat kita orang Bumiputera, itu susah sekali bisa melakukan assosiate dengan bangsa Eropa memandang kita seperti budaknya.” Demikian antara lain petikan seorang tokoh dalam Student Hidjo karya Mas Marco.

Dalam Hikayat Kadiroen, ada petikan cakapan seperti ini: “Tadi saya sudah berichtiar mengajak rayat menjadi pinter dan kuat, supaya akhirnya kita bisa merdika mengurus negeri kita sendiri. Na, ini hal sungguhlah perkara kebangsa’an.”

Sementara itu, dalam Manusia Bebas, tokoh Soelastri mengatakan kepada tokoh Marti seperti ini: “Marti, Do’akanlah aku dapat bekerja dengan penuh cita-cita. Kau masih ingat bahwa pertalian persaudaraan antara kau dan aku harus mengekalkan kesetiaan kita akan sumpah kita berdua: bekerja bagi mereka yang tertindas dan untuk Indonesia, tanah air kita bersama.”

Novel Manusia Bebas ini oleh kritikus sastra terkemuka dari Belanda, A. Teeuw, dinilai sebagai novel terbaik yang ditulis orang Indonesia pada masa sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Teeuw juga mengatakan, bila dibandingkan dengan karya sastra penting yang terbit sebelum Perang, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu karya Armijn Pane, Manusia Bebas karya Soewarsih-lah yang paling agung dalam ukuran karya sastra. “… roman itu malah merupakan roman terbaik di antara yang dihasilkan oleh pengarang Indonesia sebelum Perang,” tulis Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia I (1980).

Novel ini juga terbilang unik dalam proses penulisan dan penerbitannya. Awalnya, Soewarsih menulis novel dalam bahasa Sunda, berjudul “Marjanah”. Ia pun mengirim novel itu ke Balai Pustaka, dengan harapan dapat diterbitkan. Namun, Balai Pustaka menolak.

Ada yang menilai, penolakan tersebut terkait pemakaian bahasa Sunda yang tidak masuk kriteria standard Balai Pustaka. Namun, patut diduga, kalau melihat dari isi novel Manusia Bebas, penolakan itu ada hubungannya dengan isi novel “Marjanah”, karena novel berbahasa Sunda ini sebenarnya tak terlampau berbeda dengan Buiten het Gareel atau Manusia Bebas. Novel ini secara tak langsung menyuarakan hasrat ingin lepas dari keterkungkungan penjajahan.Murid Du Perron

Seperti telah disinggung, Manusia Bebas memang awalnya ditulis dalam bahasa Belanda, dengan judul  Buiten het Gareel. Diterbitkan pertama kali juga di Belanda pada tahun 1940.

Penulisan dan penerbitannya itu tak bisa dilepaskan dari pertemuan Soewarsih dengan sastrawan terkemuka Belanda pada masanya, Charles Edgar Du Perron, yang notabene juga pengagum Multatuli, penulis Max Havelaar. Bahkan, Du Perron juga menulis biografi Multatuli, De Man van Lebak. Du Perron lahir di bilangan Jatinegara sekarang, Jakarta Timur.

Du Perron

Soewarsih bertemu Du Perron ketika sastrawan Belanda itu datang ke Jawa untuk bergabung dalam penerbitan jurnal berbahasa Belanda, Kritiek en Opbouw (‘Kritik dan Konstruksi’), yang menyebut diri sebagai jurnal Hindia Belanda yang umum dan independen. Jurnal ini berkantor pusat di Bandung dan pertama kali terbit pada tahun 1938. Isinya banyak menginformasikan persoalan sosial-politik Eropa serta Hindia Belanda, terutama mengenai perbedaan budaya dalam sudut pandang yang anti-kolonial..

Semangat menulis Soewarsih membara lagi setelah adanya jurnal itu dan ia pun mengirimkan tulisannya ke sana. Umumnya, artikel-artikel yang ia tulis  tersebut mengupas persoalan perempuan. Novel Manusia Bebas itu pun sesungguhnya mengisahkan kehidupan Soewarsih sebagai perempuan—suatu yang menjadi ciri khas dari karya-karya perempuan yang belakangan dikenal sebagai kaum feminis.

Perkenalan pun terjadi, karena baik Soewarsih dan Du Perron sama-sama punya pandangan dan sikap yang sama: anti-kolonialisme. Begitupun dengan suami Soewarsih, Soegondo, yang merupakan Ketua Penyelenggara Kongres Pemuda II pada tahun 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda. Ketiganya kerap berdiskusi mengenai hal-ihwal gagasan kebangsaan, nasionalisme, kemanusiaan, dan perjuangan anti-kolonialisme.

”Saat kami duduk berjam-jam di beranda rumahnya, berbincang-bincang dengannya, kami merasa seolah bahasa Belanda adalah bahasa kami juga. Kami mendiskusikan Dostoeivsky, Huxley, Thomas Mann, Malraux, Gide, Slauerhoff, Vestdijk, van Schendel, sampai lupa bahwa kami tengah berhadapan dengan salah satu tokoh besar kesusastraan Belanda,” kata Soegondo dalam testimoni yang ditulis Soewarsih.

Sementara itu, Soewarsih menganggap Du Perron—yang ia sapa dengan panggilan “Eddie”—sebagai gurunya. “Eddie mengajariku menulis dalam bahasa Belanda dengan bukunya Uren met Dirk Coster. Buku itu diberikannya padaku sambil berkata ‘dengan membaca buku ini engkau akan belajar menulis dalam bahasa Belanda yang baik’,”  ujar Soewarsih.

Pada masa itu, bahasa Belanda memang masih menjadi bahasa utama kalangan intelektual di Jawa, selain bahasa daerah. Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, meski telah ada ikrar Sumpah Pemuda, masih menjadi bahasa ketiga dalam percakapankaum cerdik cendekia Tanah Air.

Itu sebabnya, Du Perron mendorong Soewarsih untuk menulis dalam bahasa Belanda. Selain itu, dengan menulis dalam bahasa Belanda, para pembaca sastra di Belanda juga dapat memahami dan mengetahui kondisi sosial yang terjadi di tanah jajahan. Jadi, ada motif politik etis dalam upaya Du Perron memotivasi Soewarsih.

Padahal, kalau dilihat aspek komersial, karya sastra yang ditulis dengan bahasa Belanda oleh penulis bumiputra dan terbit di Nusantara jarang diminati pada masa itu. Itu sebabnya, penulis Balai Pustaka umumnya menulis dalam bahasa Melayu (yang disebut Melayu Tinggi atau ragam bahasa Melayu yang diajarkan di sekolah) atau bahasa daerah. Di luar Balai Pustaka, penulis menggunakan bahasa Melayu yang disebut sebagai bahasa Melayu Pasar atau—dengan nada menghina—disebut juga sebagai bahasa Melayu Rendah, yang dianggap tabu untuk diajarkan di sekolah.Kurang Perhatian

Ahli Indonesia yang dikenal sebagai kritikus sastra terkemuka dari Australia, Keith Foulcher, mengatakan dalam salah satu bukunya bahwa alur sejarah kebudayaan Indonesia mengalir dari perjumpaan Soewarsih dengan Du Perron menuju Chairil Anwar dan lingkarannya, melewati Sjahrir dan bermuara kepada Angkatan 45 dalam Kesusastraan Indonesia. Sama dengan Teeuw,  Foulcher pun menilai Manusia Bebas karya Soewarsih sebagai novel terbaik yang ditulis sebelum era Perang Kemerdekaan di Indonesia.

Soewarsih memang menulis novel tersebut karena dorongan Du Perron. Itu sebabnya, ia menulis novel itu pertama kali dengan bahasa Belanda, yang mulai ia tulis tahun 1939. Novelnya pun diberi pengantar oleh Du Perron.

Namun, waktu pertama kali terbit, pada masa invansi Jerman ke Belanda, Du Perron telah wafat. Du Perron meninggal dunia secara tiba-tiba pada 14 Mei 1940.

Mungkin itu sebabnya, novel Buiten het Gareel karya Soewarsih awalnya tak begitu mendapat perhatian dari peminat sastra Belanda. Situasi sosial-politik Belanda sedang kacau ketika itu. Begitu pula di Tanah Air, kurang mendapat perhatian kritikus karena ditulis dalam bahasa Belanda.

Tambahan pula, Soewarsih tak berupaya menerjemahkan novelnya itu ke dalam bahasa Indonesia, meski ia terus aktif menulis. Baru pada tahun 1975, edisi bahasa Indonesia itu diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, dengan judul Manusia Bebas. Yang menerjemahkan Soewarsih sendiri atas permintaan Kedutaan Besar Belanda untuk Republik Indonesia. Sebelumnya, kritikus sastra H.B. Jassin juga terus mendorong Soewarsih untuk menerjemahkan novelnya itu ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam pengantar edisi bahasa Indonesia, Soewarsih mengatakan, dengan penerjemahan itu diharapkan bukunya bisa dibaca oleh generasi zaman sekarang, yang tak lagi mempelajari bahasa Belanda. “Saya ingin juga buku saya Buiten Het Gareel dibaca oleh pemuda zaman sekarang sebagai karya sastra,” tuturnya.

Namun, tampaknya, penerbitan edisi bahasa Indonesia yang relatif lama dari masa pertama kali novel itu ditulis membuat Manusia Bebas juga kehilangan gemanya sebagai novel yang membawa gagasan nasionalisme dan pembebasan kaum perempuan. Kisahnya sendiri berpusat pada kehidupan sepasang suami-istri idealis, Soedarmo dan Soelastri, akivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, dengan latar Bandung pada tahun 1933 sampai 1936.

Itu sebabnya, dalam novel itu juga ada bagian-bagian yang mengisahkan tentang sosok Bung Karno, yang baru keluar dari penjara kolonial. Soedarmo bahkan diinformasikan kenal dekat dengan Bung Karno. Juga ada gambaran konflik di antara kaum pergerakan karena perbedaan pandangan politik.

Suami Soelastri, Soedarmo, adalah Kepala Perguruan Kebangsaan, sekolah yang didirikan kaum bumiputra dan tanpa izin Pemerintah Hindia Belanda. Oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Perguruan Kebangsaan dan sejenisnya dianggap sebagai sekolah liar dan karena itu selalu dalam pengintaian aparat intelijen kepolisian.  Apalagi, Perguruan Kebangsaan dalam pengajarannya memasukkan ide-ide nasionalisme dan menanamkan sikap antipati terhadap penjajahan.

Bagi Soelastri, perjuangan Soedarmo untuk mencerdaskan bangsanya itu merupakan pekerjaan mulia, apalagi dibayar dengan gaji yang sangat kecil. Padahal, kalau mau, Soedarmo bisa menjadi guru di sekolah yang dibiayai pemerintah kolonial. Sikap dan idealisme Soedarmo yang seperti itulah yang membuat Soelastri jatuh cinta. Ia pun tanpa ragu bersedia dinikahi oleh Soedarmo meski orang tuanya menentang.Berpindah-pindah

Soewarsih Djojopoespito lahir di Cibatok, Bogor, Jawa Barat pada 21 April 1912. Nama kecilnya Tjitjih.

Ayahnya adalah bangsawan asal Cirebon, Raden Bagoes Noersaid Djajasapoetra. Profesi ayahnya dalang wayang kulit dalam tiga bahasa (Jawa, Sunda, dan Indonesia). Raden Bagoes Noersaid Djajasapoetra, menurut Soewarsih, selama hidupnya buta huruf.

Soewarsih menempuh pendidikan pertamanya di Kartini School (sekolah dasar 7 tahun khusus perempuan yang didirikan atas prakarsa Van Deventer) Bogor, dari tahun 1919 sampai 1926. Lulus, ia melanjutkan pendidikan ke MULO, juga di Bogor, dari tahun 1926 sampai 1929. Ia kemudian mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan ke Europeesche Kweekschool (Sekolah Guru Atas Belanda) di Surabaya, dari tahun 1929 sampai 1932. Ketika itu, Soewarsih adalah satu dari dua murid bumiputra yang ada di sekolah tersebut. Jumlah seluruh muridnya sendiri hanya ada 28 orang.

Lulus dari sekolah guru, Soewarsih menjadi guru di Purwakarta, Jawa Barat. Tahun 1933, ia menikah dengan Soegondo Djojopoespito dan kemudian pindah ke Bandung. Meski memiliki ijazah sekolah guru Belanda, Soewarsih di Bandung lebih memilih mengajar di Taman Siswa, yang dipimpin suaminya. Selain mengajar dan aktif dalam gerakan kemerdekaan bersama suaminya, Soewarsih juga aktif di Perkoempoelan Perempoean Soenda.

Kurang-lebih setahun setelah menikah, tahun 1934, Soegondo terkena aturan dilarang mengajar (onderwijs verbod) dari Pemerintah Hindia Belanda, bersama dengan penangkapan Bung Karno, dan kemudian Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Baru setahun kemudian, 1935, onderwijs verbod atas diri Soegondo dicabut.

Setelah itu, keluarga ini pindah ke Bogor dan mendirikan Sekolah Loka Siswa. Tapi, ternyata, tak ada murid yang mendaftar, sehingga akhirnya ditutup. Pasangan suami-istri ini pun lalu pindah ke Semarang, tahun 1936.

Di Kota Lumpia itu, Soegondo mengajar di Perguruan Taman Siswa, sementara Soewarsih menjadi guru di Sekolah Drs. Sigit. Dua tahun di Semarang, mereka kembali ke Bandung pada tahun 1938. Di sini, Soewarsih mengajar di Pergoeroean Soenda.

Ketika Perang Dunia II meletus, banyak guru Eropa yang meninggalkan Batavia. Soegando dan Soewarsih pun pindah ke Batavia. Soewarsih diterima mengajar di Gouvernement Opleiding School voor Vak Onderwijzeressen Paser Baroe Batavia (Sekolah Guru Kepandaian Putri Negeri Pasar Baru Batavia, sekarang SMKN 27 Pasar Baru, Jakarta Pusat).

Soewarsih dan Soegondo

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, dari tahun 1945 sampai 1949, keluarga ini kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Apalagi, Soegondo juga adalah anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Jakarta dan Purworejo.

Tahun 1948, mereka menetap di Yogyakarta, ketika BP-KNIP pindah ke Yogyakarta. Soegondo sendiri kemudian diangkat menjadi Menteri Pembangunan Masyarakat pada Kabinet dr. Abdul Halim, tahun 1949.

Soewarsih mengajar di di SGKP Lempuyangan, Yogyakarta. ia berhenti mengajar pada tahun 1953, karena mendapat undangan dari Pemerintah Kerajaan Belanda untuk tinggal di Amsterdam selama enam bulan. Pulang dari Belanda, Soewarsih kembali aktif menulis dan menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Inilah masa produktifnya sebagai penulis.

Perempuan pejuang ini dipanggil menghadap Ilahi pada 24 Agustus 1977. Ia dimakamkan di Pemakamam Taman Siswa Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo, Yogyakarta. Verba volant, scripta manent. [Purwadi Sadim]