Berpindah-pindah

Soewarsih Djojopoespito lahir di Cibatok, Bogor, Jawa Barat pada 21 April 1912. Nama kecilnya Tjitjih.

Ayahnya adalah bangsawan asal Cirebon, Raden Bagoes Noersaid Djajasapoetra. Profesi ayahnya dalang wayang kulit dalam tiga bahasa (Jawa, Sunda, dan Indonesia). Raden Bagoes Noersaid Djajasapoetra, menurut Soewarsih, selama hidupnya buta huruf.

Soewarsih menempuh pendidikan pertamanya di Kartini School (sekolah dasar 7 tahun khusus perempuan yang didirikan atas prakarsa Van Deventer) Bogor, dari tahun 1919 sampai 1926. Lulus, ia melanjutkan pendidikan ke MULO, juga di Bogor, dari tahun 1926 sampai 1929. Ia kemudian mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan ke Europeesche Kweekschool (Sekolah Guru Atas Belanda) di Surabaya, dari tahun 1929 sampai 1932. Ketika itu, Soewarsih adalah satu dari dua murid bumiputra yang ada di sekolah tersebut. Jumlah seluruh muridnya sendiri hanya ada 28 orang.

Lulus dari sekolah guru, Soewarsih menjadi guru di Purwakarta, Jawa Barat. Tahun 1933, ia menikah dengan Soegondo Djojopoespito dan kemudian pindah ke Bandung. Meski memiliki ijazah sekolah guru Belanda, Soewarsih di Bandung lebih memilih mengajar di Taman Siswa, yang dipimpin suaminya. Selain mengajar dan aktif dalam gerakan kemerdekaan bersama suaminya, Soewarsih juga aktif di Perkoempoelan Perempoean Soenda.

Kurang-lebih setahun setelah menikah, tahun 1934, Soegondo terkena aturan dilarang mengajar (onderwijs verbod) dari Pemerintah Hindia Belanda, bersama dengan penangkapan Bung Karno, dan kemudian Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Baru setahun kemudian, 1935, onderwijs verbod atas diri Soegondo dicabut.

Setelah itu, keluarga ini pindah ke Bogor dan mendirikan Sekolah Loka Siswa. Tapi, ternyata, tak ada murid yang mendaftar, sehingga akhirnya ditutup. Pasangan suami-istri ini pun lalu pindah ke Semarang, tahun 1936.

Di Kota Lumpia itu, Soegondo mengajar di Perguruan Taman Siswa, sementara Soewarsih menjadi guru di Sekolah Drs. Sigit. Dua tahun di Semarang, mereka kembali ke Bandung pada tahun 1938. Di sini, Soewarsih mengajar di Pergoeroean Soenda.

Ketika Perang Dunia II meletus, banyak guru Eropa yang meninggalkan Batavia. Soegando dan Soewarsih pun pindah ke Batavia. Soewarsih diterima mengajar di Gouvernement Opleiding School voor Vak Onderwijzeressen Paser Baroe Batavia (Sekolah Guru Kepandaian Putri Negeri Pasar Baru Batavia, sekarang SMKN 27 Pasar Baru, Jakarta Pusat).

Soewarsih dan Soegondo

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, dari tahun 1945 sampai 1949, keluarga ini kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Apalagi, Soegondo juga adalah anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Jakarta dan Purworejo.

Tahun 1948, mereka menetap di Yogyakarta, ketika BP-KNIP pindah ke Yogyakarta. Soegondo sendiri kemudian diangkat menjadi Menteri Pembangunan Masyarakat pada Kabinet dr. Abdul Halim, tahun 1949.

Soewarsih mengajar di di SGKP Lempuyangan, Yogyakarta. ia berhenti mengajar pada tahun 1953, karena mendapat undangan dari Pemerintah Kerajaan Belanda untuk tinggal di Amsterdam selama enam bulan. Pulang dari Belanda, Soewarsih kembali aktif menulis dan menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Inilah masa produktifnya sebagai penulis.

Perempuan pejuang ini dipanggil menghadap Ilahi pada 24 Agustus 1977. Ia dimakamkan di Pemakamam Taman Siswa Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo, Yogyakarta. Verba volant, scripta manent. [Purwadi Sadim]