Diorama pemogokan buruh di Benteng Vendenberg di Yogyakarta.

Koran Sulindo – Melejitnya inflasi setelah Perang Dunia I, periode 1918 sampai 1919 ditandai dengan meluasnya keresahan buruh di Hindia Belanda. Di sisi lain, pengusaha Belanda tetap menikmati bisnis dengan untung besar.

Dengan upah buruh yang tetap rendah, perjuangan ekonomi dengan aksi mogok menjadi pilihan utama buruh.

Sementara itu, dengan memilih jalur cepat untuk menuju pemerintahan sendiri, pemerintah Hindia Belanda umumnya mengambil sikap ‘netral’ terhadap gerakan serikat buruh. Pemerintah Hindia menganggap, “tak ada yang perlu dicela dari perjuangan ekonomi bagi kesejahteraan sosial dan meningkatkan pengaruh rakyat pada tata pemerintahan kota praja, desa dan negara.”

Melalui posisi itu, pemerintah membatasi diri pada peran mempertahankan aturan dengan hanya bertindak sebagai ‘penengah’ jika diminta pihak yang bertikai dalam konflik perburuhan. Dalam suasana inilah nama Soerjopranoto dan Personeel Fabriek Bond atau PFB muncul sekaligus membawa Yogyakarta sebagai pusat pergerakan di masa itu.

Raden Mas Soerjopranoto lahir 11 Januari 1871 dan dinamai Iskandar. Ia adalah anak sulung Pangeran Soerjaningrat dari Keraton Pakualaman sekaligus merupakan kakak kandung Soewardi Soerjaningrat. Pangeran Soerjaningrat sendiri adalah anak sulung dari Paku Alam III yang gagal naik tahta karena penyakit mata yang dideritanya.

Dipandang terlalu lastig atau keras kepala, ia kemudian dibuang ke Tuban sebagai controleur. Gara-gara menempeleng atasannya yang Belanda totok, Soerjopranoto pulang ke Yogyakarta menghindari tindakan hukum. Belakangan ia kembali dibuang ke Bogor dengan alasan disekolahkan pada Sekolah Pertanian dengan surat tugas yang diteken langsung gubernur jenderal sebagai ‘izin istimewa’.

Di Bogor Soerjopranoto tinggal di rumah van Hinllopen Laberton, seorang penganut teosofi dan merasa menemukan sahabat, guru, kawan, dan orangtua sekaligus. Ia lulus tahun 1907 sekaligus mahir memainkan kuntau dan toya yang dipelajari dari seorang Tionghoa asal Kanton. Selepas dari Bogor itulah, Soerjopranoto bekerja pada Dinas Informasi Penyuluhan Pertanian di Wonosobo tahun 1914 namun keluar dua tahun kemudian dan memilih kembali ke Yogyakarta.

Di Pakualaman ia segera membangun koperasi Mardi Kiswa sekaligus mengorganisir petani dan bekel. Ketika usaha itu gagal, Soerjopranoto bergabung dengan Budi Utomo dan Adhi Dharma, sebuah perkumpulan aristokrat yang beranggotakan para pangeran di Pakualaman. Karena pengaruh Soerjopranoto Adhi Dharma yang semula sekadar perkumpulan aristokrat menjadi sebuah jaringan pergerakan yang melampaui tembok-tembok keraton bahkan hingga ke desa-desa di Yogyakarta.

Ketika pecah pecah kerusuhan buruh di pabrik gula Padokan, Yogyakarta pada tahun 1918, Soerjopranoto segera membentuk Arbeidsleger atau tentara buruh. Organisasi ini  bertindak sebagai cabang Adhi Dharma untuk membantu buruh-buruh yang dipecat supaya mendapatkan pekerjaan baru sekaligus membantu keuangan keluarganya.

Di tengah ketidakpuasan buruh akibat upah yang rendah inilah Soerjopranoto mendirikan PFB pada November 1918 dengan Arbeidsleger sebagai basis utamanya.

Dalam surat edaran pembentukan PFB itu, Soerjopranoto menyebut di bahwa sekaranglah zamannya demokrasi dan mendesak rakyat turut berbicara sekaligus membuat aturan-aturan. Sekaligus mentaati hukum yang dianggap sah. “Kami tahu kapitalis akan hancur jika tak ada buruh. Kami tahu benar bahwa modal hanya hasil akumulasi keluhan dan erangan kaum buruh.”

“Jika memang begitu, kenapa tuan-tuan kapitalis bertindak sesuai keinginannya sendiri tanpa berbicara dengan buruhnya. Pada taraf yang paling ringan, mereka hanya memakinya dan pada puncak yang tertinggi mereka memukuli dan memecatnya. Tapi apakah modal akan ada tanpa kita?”

Meski sudah mendirikan PFB sejak akhir 1918, hooffbestuur baru dibentuk Februari 1919 dengan Soerjopranoto sebagai ketuanya, Soemodihardjo sebagai sekretaris dan Soemoharjono sebagai bendarahara. Serikat buruh itu juga segera menunjuk konsul-konsul untuk memimpin cabang sekaligus membuat propaganda untuk PFB.

Dengan hooffbestuur yang lengkap itu, konsul-konsul PFB segera berkonsentrasi untuk mengorganisir tukang, juru ukur, teknisi hingga juru tulis sebagai anggota. Sayangnya, di bulan-bulan pertama PFB tumbuh pelan. Tercatat hingga Maret 1919 anggota PFB hanya berjumlah 750 orang, itupun terbatas di daerah Yogyakarta saja.

Perluasan

PFB baru mulai berkembang pesat di hampir di semua pabrik gula menjelang musim panen dan musim giling tahun 1919 atas inisiatif buruh sendiri yang menuntut kenaikan upah, persamaan hak antara buruh pribumi dan Belanda, serta perbaikan kondisi kerja.

Umumnya, buruh-buruh itu sebelum memutuskan mogok menghubungi pemimpin pusat PFB dan meminta seorang propagandis untuk memimpinnya.  Permintaan itu ditanggapi dengan mengirim konsul yang bertindak sebagai wakil organisasi sekaligus mendirikan cabang PFB. Karena sikap netral yang ditempuh pemerintah, banyak pemogokan yang dipimpin PFB berakhir sukses.

Angin inilah yang belakangan membuat cabang-cabang PFB menuntut lebih banyak dari pabrik dan lagi-lagi sukses mengorganisir pemogokan. Dalam gelombang pemogokan dan hasil yang sukses inilah PFB tumbuh dengan cepat. Pada bulan Juni 1919, anggota PFB sudah melampaui angka 1.000 orang dan hooffbestuur mulai menerbitkan korannya sendiri.

Jumlah keanggotaan buruh PFB itu kembali melejit pada akhir tahun 1919 sekaligus tampil sebagai serikat buruh paling besar dan militan di Hindia Belanda. Mereka memiliki 90 cabang dan jumlah anggota dan calon anggota hingga 10.000 orang.

Perluasan masif PFB itulah yang lantas mengerek nama Soerjopranoto sebagai propagandis serikat buruh paling terkemuka sekaligus menempatkan Yogyakarta sebagai pusat pergerakan yang baru. Bertahun-tahun sebelumnya, Sarekat Islam atau SI tak pernah mengakar di kota ini dan hanya mampu bertahan di bawah kontrol Muhammadiyah.

Soerjopranoto mengambil alih SI Yogyakarta yang mandek tahun 1918 dengan menggunakan Adhi Dharma sebagai basis kekuatannya. Pengambilalihan SI oleh Soerjopranoto ini disokong orang-orang Muhammadiyah seperti Fachrodin.

Secara umum pada tahun 1918, SI juga mengalami kebangkitan kembali tahun 1918 dengan serikat buruh sebagai pelopornya. ‘Perjuangan Ekonomi’ yang disepakati dalam Kongres Centraal Sarekat Islam atau CSI menjamin posisi unggul Tjokroaminoto pada organisasi itu. Pemimpin SI Semarang hanya mengontrol VSTP sebagai organ buruh terbesar. Pada posisi ini, Soerjopranoto muncul sebagai ‘raja mogok’.

Anak buah Tjokro yang lain, Sosrokardono dan Alimin mengontrol Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumipoetra (PPPB) yang juga tak kalah besar. Belakangan, pada kongres PPPB pada bulan Mei 1919, mereka menginisiasi pembentukan Persatoean Perserikatan Kaoem Boeroeh atau PPKB yang kemudian disetujui Kongres CSI tahun 1919 di Yogyakarta.

Mengira akan terpilih sebagai ketua, Soerjopranoto justru segera dikalahkan Semaoen yang lantas membentuk komite sentral sementara PPKB di Semarang. Tercatat, sampai Agustus 1920 terdapat 22 serikat yang mewakili 72.000 buruh yang bergabung dalam PPKB.

Pada paro pertama tahun 1920, PFB kembali sukses memperluas pengaruhnya dengan mendirikan 172 cabang dari 192 pabrik gula yang ada di Jawa dengan anggota 31.000 orang. Mereka berhasil mengorganisir buruh menyusul kesuksesan pemogokan-pemogokan buruh pabrik gula yang dipimpinnya.

Ada dua faktor eksternal yang menjadi kuci keberhasilan pemogokan itu. Pertama, militansi buruh dalam mempertahankan sikapnya. Kedua, kebijakan pemerintah yang netral terhadap ‘perjuangan ekonomi’.

Di sisi lain, suksesnya aksi-aksi mogok itu juga memicu masalah bagi PFB. Ketika panen dan musim giling tebu 1920 berlalu, mereka mulai takut tindakan balasan majikan pada anggota-anggota PFB. Diam-diam mereka menyebarkan informasi gambar wajah dan nama buruh yang dipecat karena aksi mogok pada pabrik gula lain. Bagi buruh, ini menakutkan karena mereka tak bakal mendapat pekerjaan di tempat lain.

Ketakutan itu tercermin pada konferensi hoofdbestuur PFB pada 18-19 Mei 1920 di Yogyakarta. Delegasi PFB Bantul dan Yogyakarta mencela ‘retorika’ revolusioner Soerjopranoto dengan mengatakan, “Kita mestinya tidak menyerukan kata-kata seperti ‘jangan takut digantung, dipenjara atau dibuang.”

Soerjopranoto bukannya tak menyadari ketakutan dan kesulitan anggotanya, satu-satunya cara mengurangi ketakutan mereka, sekaligus menjamin masa depan PFB sendiri yang bisa dilakukan hoofdbestuur adalah meminta sindikat gula mengakui keberadaan PFB. Sebelumnya, Soerjopranoto sudah menuntut pengakuan itu namun diacuhkan sindikat pabrik gula.

Pemogokan Umum

Pada konferensi di Yogyakarta itu, Soerjopranoto juga kembali mengusulkan agar PFB mengadakan pemogokan umum seluruh pabrik gula di Jawa pada akhir Juni atau awal Juli yang merupakan puncak musim panen dan giling tebu.

Konferensi segera menerima usul Soerjopranoto namun tidak ada tindakan apapun untuk mewujudkannya. Dana-dana pemogokan PFB tetap kosong, sementara pemerintah dan sindikit gula juga tahu omong besar PFB ini. Terbukti, ajakan Soerjopranoto utntuk mengadakan pemogokan umum hanya kata-kata kosong belaka. Seiring berlalunya waktu, PFB segera kehilangan momentum menggelar pemogokan umum karena musim panen telah selesai.

Pada bulan Mei hingga Juli, keadaan justru makin buruk bagi hoofdbestuur PFB. Dengan pabrik-pabrik gula menaikkan upah 20-50 persen, militansi buruh benar-benar terpukul. Di sisi lain, posisi pemerintah rupanya mulai berubah.

Ketika pemerintah mengirimkan surat edaran kepada residen-residen di daerah perkebunan gula April 1920, posisi pemerintah masih netral. Mereka menganggap upah buruh memang terlalu rendah dan memerintahkan residen agar penguasa setempat tak mengintervensi pemogokan. Pemerintah memahami pemogokan itu dasarnya bersifat ‘ekonomi’ karena memang sesuai dengan ketidakpuasan buruh.

Dalam situasi inilah, Soerjopranoto kembali mengusulkan pemogokan umum PFB pada kongres PPKB tanggal 1 Agustus 1920. Meski secara umum kongres mendukung, keputusan mogok tetap diserahkan pada serikat-serikat yang menjadi anggota. Sedangkan soal waktu pemogokan, PFB menunggu yang lainnya menentukan sikap.

Dengan musim giling yang segera berakhir, hoofdbestuur PFB segera memutuskan menggelar mogok kongres tanpa menunggu yang lain. Meski tindakan ini melanggar kesepakatan, Semaoen dan Bersgma memutuskan untuk mengikuti kehendak Soerjopranoto dan Agus Salim. Pada tanggal 9 Agustus, atas nama PFB dan PPKB Soerjopranoto, Agus Salim, Semaoen dan Bergsma mengirim ultimatium pada sindikat gula agar mengakui PFB, mempekerjakan buruh yang dipecat serta menaikkan upah buruh 100 persen.

Mereka juga menyatakan bahwa PFB dan semua serikat buruh yang berafiliasi dengan PPKB akan menggelar mogok umum kecuali sindikat gula mau bernegoisasi dengan PFB tanggal 17 Agustus.

Menanggapi ultimatium itu, komite eksekutif sindikat gula pada tanggal 15 Agustus mengadakan pertemuan di Surabaya. Seperti yang diduga mereka menolak tuntutan itu. Ketua sindikat gula S.J. Hirsch segera memberitahukan keputusan itu kepada pemerintah.

Malam harinya, asisten residen Yogyakarta menelepon Soerjopranoto dan menanyakan rencananya tanpa memberi tahu keputusan sindikat gula.  Soerjopranoto menjawab bahwa pemogokan umum tidak akan berlangsung.

“Sama sekali tidak terjadi di Yogyakarta. Kita kirim ultimatium ke sindikat gula hanya untuk menggertak mereka.” Tetapi, jawaban ini hanyalah pendapat pribadi, demikian Soerjopranoto menambahkan, keputusan akhir harus ditentukan oleh hoofdbestuur dan konsul-konsul PFB. Di sisi lain, Soerjopranoto diam-diam mengharapkan intervensi pemerintah jika sindikat gula tetap ngotot.

Akhir Mogok

Ketika berita keputusan sindikat gula menyebar malam harinya, sebagian besar cabang-cabang PFB akhirnya sepakat untuk mogok. Paginya, tercatat 50 cabang mogok atau mengancam mogok. Atas perintah sekretaris gubernur jenderal, Residen Yogyakarta memanggil Soerjopranoto dan Salim ke kantor karesidenan dan memperingatkan bahwa pemerintah tak mentoleransi pemogokan umum itu.

Kepada asisten residen, Soerjopranoto menjelaskan ketakutan buruh atas balasan majikan pada anggota-anggota PFB jika musim panen dan giling tebu berakhir. Residen menjanjikan, “pemerintah akan memperhatikan kegelisahan buruh-buruh pabrik yang masuk akal itu.”

Jawaban itu rupanya melebihi apa yang diharapkan Soerjopranoto dan Salim, selain sekarang punya peluang baik untuk mundur, yang terpenting adalah janji residen melindungi anggota PFB. Siang harinya, hoofdbestuur PFB memutuskan untuk ‘menunda’ pemogokan umum itu.

Gagalnya, pemogokan umum PFB ternyata memiliki pengaruh penting pada transformasi pergerakan pada awal 1920 itu. Peristiwa itu dianggap menandai akhir ‘netralitas’ pemerintah pada ‘perjuangan ekonomi’. Meski tak mengubah posisi netralnya dalam konflik perburuhan, pemerintah tak lagi melihat aksi mogok tersebut hanya bersifat ‘ekonomi’ saja.

Bagi PFB, sikap apapun yang diambil pemerintah akibatnya tetap sama. Di mata buruh dan pemimpin pergerakan, pemerintah sekarang adalah pembela kapital. Dan ini benar-benar merugikan PFB. Meski berkali-kali hoofdbestuur meyakinkan pemerintah ‘berjanji’ melindungi hak-hak buruh tetap saja ketakutan buruh tak susut.

Dalam beberapa bulan kemudian banyak anggota PFB berhenti membayar iuran. Ketika kongres PFB digelar akhir tahun, kondisi serikat buruh itu benar-benar dalam keadaan terguncang dengan keuangan yang kocar-kacir. Di sisi lain ketika buruh beramai-ramai mengundurkan diri PFB, satu-satunya cara meredamnya yakni mengurangi ketakutan buruh dan berpaling kepada pemerintah.

Soerjopranoto dan Salim akhirnya berkirim surat kepada gubernur jenderal tanggal 10 September untuk memohon pertemuan dan dikabulkan tanggal 20 Agustus. Namun, untuk memperoleh perlindungan gubernur jenderal, PFB dianggap wajib memperbaiki ‘kredibilitas’ di mata pemerintah sekaligus mengambil langkah positif.

Dalam konteks inilah kemudian disiplin partai tampil pertama kali dalam tubuh SI. Bukan partijtucht untuk memperkuat kontrol CSI atas SI lokal, namun ‘disiplin partai’ yang berarti pemurnian dan membersihkan SI dari unsur-unsur komunis.[TGU]