Ilustrasi/ist

Koran Sulindo – Ketentuan penggunaan uang elektronik untuk layanan tol dan Transjakarta digugat ke Mahkamah Agung (MA). Ketentuan yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (BI) itu dianggap diskriminatif.

Adapun yang memohonkan aturan itu untuk diuji ke MA adalah dua orang warga yakni Normansyah dan Tubagus Haryo. Kedua orang ini menganggap aturan itu memberi kesan melarang warga yang hendak melakukan transaksi pembayaran uang tunai.

Menurut kuasa hukum pemohon, Azas Tigor Nainggolan, sejak aturan BI itu diterapkan, warga menjadi kesulitan melakukan transaksi uang tunasi karena dipaksa menggunakan transaksi elektronik. Bahkan aturan itu membuat warga resah.

“UU Mata Uang menjelaskan bahwa rupiah adalah mata uang resmi Indonesia bukan uang elektronik,” kata Tigor seperti dikutip CNN Indonesia pada Selasa (10/10).

Ia menuturkan, berdasarkan UU Mata uang, dijelaskan secara rinci tentang ketentuan umum penggunaan rupiah, macam dan harga rupiah, desain rupiah, pengelolaan rupiah, penggunaan rupiah, penarikan rupiah, hingga ketentuan pidananya. Atas dasar ini, penggunaan uang elektronik sesungguhnya pembangkangan terhadap UU Mata Uang.

Tigor karena itu berharap MA mengabulkan permohonan kliennya dan menyatakan bahwa peraturan tentang uang elektronik tidak sah. Itu demi kepastian hukum dan tidak ada lagi diskriminasi terhadap masyarakat pengguna rupiah kertas maupun logam dalam setiap transaksi.

Sejak Oktober 2017, transaksi uang elektronik diwajibkan di seluruh gerbang tol. Selain gerbang tol, BI juga menyasar integrasi seluruh sistem pembayaran elektronik di bidang transportasi antar-moda darat, laut, udara, kereta api, parkir, dan jalan berbayar di Jakarta pada 2018.

Aturan BI ini sudah mengalami perubahan sejak 2009. Kemudian direvisi lagi pada 2014. Dalam waktu dekat BI berencana kembali merevisinya terutama mengatur uang elektronik yang terbatas hanya dapat digunakan pada satu merchant (close loop). [KRG]