Soal RUU HIP, PDI Perjuangan hanya Kambing Hitam

Ilustrasi: Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Ngatawi Al-Zastrouw/akun Facebook @Ngatawi Al-Zastrouw

Koran Sulindo – Polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila yang diwarnai pembakaran bendera PDI Perjuangan adalah bukti rendahnya pendidikan politik, solidaritas, maupun etika antarpartai politik di parlemen. Bahkan yang lebih dominan adalah justru sifat politicking alias suka mempolitisasi demi kepentingan sendiri.

Hal ini disampaikan Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Ngatawi Al-Zastrouw melihat tidak adanya reaksi partai politik terhadap pembakaran bendera PDIP. Ngatawi melihat solidaritas antarpartai sangat rendah dan membuktikan jalinan antarpartai sangat transaksional.

“Jangankan memberikan pembelaan terhadap sesama partai yang simbolnya dinista oleh demonstran, bahkan sekadar ucapan simpati dan bela rasa tidak muncul dari partai-partai lain,” kata Ngatawi, Senin (6/7/2020), melalui rilis media.

Ngatawi menjelaskan, institusionalisasi parpol sebenarnya terus digoyang oleh berbagai pihak yang ingin mengarahkan demokrasi Indonesia lebih bernuansa individualis. Jadi jika diam melihat simbol martabat sebuah parpol diserang, sama saja sebenarnya membiarkan serangan terhadap parpol sebagai pilar demokrasi Indonesia.

Dan lebih jauh, bukan tak mungkin ke depan, preseden pelecehan terhadap sistem politik kenegaraan ini bisa saja terulang. Jika saat ini para demonstran bisa membakar bendera PDI Perjuangan, lain kali akan terjadi pembakaran terhadap bendera partai lain karena dianggap dekat dengan organisasi terlarang.

“Misalnya, bisa saja akan terjadi pembakaran terhadap bendera PKS karena dianggap dekat dengan HTI sebagai organisasi ilegal dan dianggap merongrong Pancasila,” katanya.

Bahkan yang lebih parah, menurut Ngatawi, justru ada partai politik yang berusaha menangguk keuntungan dari peristiwa polemik HIP dan pembakaran bendera PDIP.

Dosen Pascasarjana Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu sudah mengecek bahwa sebenarnya seluruh fraksi di DPR menjadi inisiator RUU HIP. Sebab pengesahannya di rapat paripurna DPR.

Fraksi Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, PPP, dan PDIP menerimanya, begitupun dengan PKS. Hanya Fraksi PD yang tak jelas pendapatnya. Nah, RUU HIP merupakan manifestasi dari hak inisiatif DPR, seharusnya seluruh fraksi dan anggota DPR bertanggung jawab memperjuangkannya.

Seharusnya kalau ada penolakan dari masyarakat, mestinya seluruh fraksi dan anggota DPR harus bersatu padu menjelaskan dan mempertahankan RUU HIP. Namun ternyata, alih-alih mempertahankan, beberapa fraksi justru balik badan ikut menolak RUU yang telah mereka buat dan usulkan.

Menurutt Ngatawi, secara moral tindakan ini sulit dipertanggungjawabkan. Karena perilaku tersebut mencerminkan inkonsistensi partai politik, bahkan cenderung politicking.

“Demi menarik perhatian dan simpati publik, partai-partai politik seperti cuci tangan terhadap RUU yang telah mereka usulkan. Seolah-olah mereka tidak ikut membuat dan menyetujui RUU tersebut, kemudian tampil di depan publik sebagai pahlawan dengan ikut-ikutan mencerca RUU yang sudah mereka buat dan sepakati,” kata Ngatawi. “Tak hanya balik badan mereka seolah menuding bahwa RUU HIP hanya milik PDIP, produk PDIP bukan usulan lembaga DPR, padahal mereka jelas-jelas ikut membahas, memberi catatan dan mengesahkan dalam sidang parpurna.” [CHA]