Koran Sulindo – Urusan beras memang bisa membawa negara ini ke pintu gerbang kehancuran bila tak diurus dengan benar. Soal ini pernah diingatkan Presiden Soekarno sejak 66 tahun lampau. Saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—kelak bernama Institut Pertanian Bogor—pada 27 April 1952, Bung Karno menungkapkan pandangannya: “Rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka!”
Dipaparkan juga mengenai statistik pangan. Pada tahun 1952 itu, dengan jumlah penduduk 75 juta orang, Indonesia membutuhkan beras sebesar 6,5 juta ton, tapi produksi beras baru 5,5 juta ton. Jadi, Indonesia harus mengimpor. “Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu,” kata Bung Karno.
Lain lagi alasan Presiden Joko Widodo ketika menjelaskan mengapa pemerintahan di bawah kepemimpinannya mengimpor beras pada awal tahun 2018 ini sebesar 500.000 ton. “Itu untuk memperkuat cadangan beras kita agar tidak terjadi gejolak harga di daerah-daerah,” katanya di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, 15 Januari 2018 lalu.
Sebelumnya, 12 Januari 2108, akademisi dari IPB, Prima Gandhi, dalam siaran pers-nya sudah mempertanyakan, bila tujuan pemerintah adalah mengendalikan harga beras medium yang meroket naik belakangan ini, mengapa yang diimpor malah beras khusus. “Untuk apa impor khusus?” katanya.
Prima melihat kejanggalan harga beras pada awal 2018, antara lain di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta Timur. Dari data yang ada dalam jaringan Internet yang dirilis PIBC pada 3 Januari 2018 terlihat, beras termurah yang dikenal beras medium masih di harga Rp 7.800 per kilogram, stabil sejak 9 November 2017 hingga 3 Januari 2018. “Tapi tiba-tiba pada tanggal 3 hingga 4 Januari naik tinggi menjadi Rp 8.400. Setelah itu, pada 5 hingga 8 Januari menjadi Rp 8.800, terus tanggal 9 hingga 12 Januari menjadi Rp 8.900 per kilogram,” kata Prima.
Sementara itu, stok beras harian PIBC pada periode tersebut berada di atas normal, yaitu 32.001 ton hingga 47.013 ton. Dengan begitu sebenarnya untuk pasokan tidak ada masalah. Tapi, mengapa harga naik? “Justru ini sumber masalahnya,” ujar Prima. Mestinya, lanjutnya, harga beras dikendalikan, bukan malah bukan impor.
Rekan sealmamater Prima, Dwi Andreas Santoso, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah untuk melakukan impor beras pada awal tahun 2018 sebenarnya cukup terlambat. Seharusnya, impor dilakukan sejak Juli 2017. Karena, kini beras yang ingin diimpor dari Thailand dan Vietnam kemungkinan besar sudah diborong Cina. “Itu sudah terlambat, seharusnya impor dilakukan sejak Juli. Karena, kita tahu, harga beras dari April 2017 sudah tinggi,” tutur Dwi, 12 Januari 2018.
Dwi mengaku, dirinya sebagai guru besar dari perguruan tinggi pertanian paling prestisius di Tanah Air telah mengingatkan soal kekurangan pasokan beras di Triwulan IV-2017. Ketika itu,ia telah menyatakan, surplus stok beras yang diklaim Kementerian Pertanian (Kementan) sebesar 17,4 juta ton pada tahun 2017 tidak realistis. Apalagi, Badan Urusan Logistik (Bulog) saja hanya bisa menampung 13 juta ton beras selama setahun, sementara konsumsi beras nasional setahun hanya separo dari 17,4 juta ton. “Saya enggak percaya data Kementan. Itu ngawur untuk dijadikan acuan,” ujar Dwi.
Ekonom yang mantan Kepala Bulog dan mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, juga mengatakan, masalah yang selalu menghiasi krisis beras adalah soal data. Sepengalamannya, Kementerian Perdagangan dan Bulog selalu menginginkan impor beras. “Sebab, ada komisi 20-30 dolar per ton. Transaksinya di luar negeri, account bank juga berada di luar negeri. Tetapi, Kementan selalu bilang produksi lebih dari cukup. Sebab, ini terkait dengan prestasi mereka. Faktanya, angka yang benar itu di tengah,” kata Rizal12 Januari 2018.
Seharusnya, yang menilai adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution. “Saya bingung di mana posisi Kemenko Perekonomian sekarang dalam menentukan data ini,” ujar Rizal.
Menurut Rizal, uang memang paling mudah didapat dari komisi impor komoditas. “Jadi duitnya gampang kalau main di beras, kedelai, gula, daging, dan lain-lain,” tuturnya.
Toh, ia tetap saja merasa heran, mengapa pemerintah tetap ngotot menginginkan impor beras, padahal sebentar lagi akan musim panen. “Stok di gudang Bulog memang 900 ribu ton, tapi itu cukup untuk dua bulan lagi. Panen kan sebentar lagi, Februari dan Maret, dan Bulog bisa beli,” ungkap Rizal.
Masalahnya, memang, Bulog pasif: pada saat panen tidak beli beras. Seharusnya, Bulog mengtahui berapa yang harus dibeli. “Saya tidak tahu ini sengaja atau tidak, meski memang Bulog sekarang beda dengan dulu, yang tak ada bunga kredit, tapi turun langsung dari likuiditas Bank Indonesia. Ini kan sektor strategis,” kata Rizal lagi.
Pada 11 Januari 2017 lampau, Menteri Pertanian Amran Sulaiman memang pernah menyatakan, sudah tak ada lagi impor beras pada tahun 2016. Pencapaian tersebut, katanya lagi, tak lepas dari upaya-upaya peningkatan produksi gabah, seperti penambahan luas tanam, perbaikan irigasi, dan bantuan besar-besaran alat dan mesin pertanian.
Keputusan pemerintah untuk tak lagi mengimpor beras pada tahun 2016 lalu itu, ungkap Amran, bahkan membuat beberapa negara pemasok beras untuk Indonesia keheranan. “Saya ketemu delegasi Vietnam dan Thailand, mereka heran, apa yang dilakukan Indonesia kok tiba-tiba enggak impor. Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Pakistan selama ini menjadi negara yang ekspor [beras] ke Indonesia,” ujar Amran.
Bukan hanya itu, bahkan pada 10 Januari 2018 yang baru lalu, lewat akun resmi Twitter-nya, Kementan menyatakan tiap detik di Bumi Nusantara ada panen padi. “Alhamdulillan Indonesia sudah #TidakImporBeras sejak 2016,” demikian tertulis di akun @kementan.
Kendati begitu, ya, itu tadi: data Kementan meragukan, kalau tak ingin dibilang ngawur seperti kata Profesor Dwi Andreas Santoso. Data itu tak sinkron dengan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS, ada impor beras sebanyak 1,2 juta ton senilai US$ 495,12 juta, dari Januari sampai November 2016. Angka ini meningkat 110,66% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2015, yakni sebesar 569.620 ton senilai US$ 351,60 juta.
Terkait perbedaan data itu, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Agung Hendriadi menjelaskan, impor beras yang cukup besar di 2016 tersebut merupakan sisa dari kontrak impor tahun 2015. Beras yang datang itu juga difungsikan sebagai beras cadangan pemerintah. “Itu beras sisa kontrak tahun 2015 lalu. Artinya, itu residu karena negara eksportir baru mengirimkan berasnya pada tahun berikutnya,” kata Agung dalam keterangan tertulisnya, 2 Januari 2017. Beras yang diimpor adalah beras premium.
Yang pasti, dalam masa awal menjadi presiden, Jokowi pernah mengatakan, Indonesia harus bisa swasembada beras paling lambat dalam tiga tahun ke depan. Itu dikatakan Jokowi pada 5 November 2014. “Dalam tiga tahun, jika semua berjalan lancar, kenaikan produksi pangan akan mencapai 30 persen dari sekarang. Selain beras, jagung dan kedelai juga harus swasembada. Soalnya ketiga produk pertanian itu jumlah dan nilai impornya cukup tinggi selama ini,” kata Jokowi setelah melakukan peletakan batu pertama Bendungan Irigasi Bendoro Belawa di Desa Mojong Kecamatan Watansidenreng Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri pernah mengatakan, tak masuk akal bila kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan garam, sekarang masih menjadi masalah. Megawati memandang, masalah itu berasal dari soal keberpihakan saja. Kalau masyarakat dan pemerintah gotong royong dalam membangun ekonomi, persoalan di atas akan segera diselesaikan. “Keberpihakan kita itu sebenarnya ke mana? Hanya mau ambil untung dari sisi impor?” katanya di Jakarta, 15 Agustus 2017 lalu. [PUR]