Sisi Positif Lemahnya Rupiah Menurut Menteri Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati/The Straits Times

Koran Sulindo – Betapa beruntungnya bangsa Indonesia. Ternyata, melemahnya rupiah justru mendatangkan keuntungan triliunan rupiah. Yang mengatakan ini adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati,.yang dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik se-Asia Pasifik dalam World Goverment Summit di Dubai, Uni Emirates Arab, April 2018 lalu..

Dikatakan Sri Mulyani, setiap pelemahan Rp 100 dari nilai tukar terhadap dolar Amerika Serikat, Indonesia mendapat penerimaan hingga Rp 1,7 triliun. “Setiap melemah Rp 100, akan ada penerimaan Rp 1,7 triliun,” ujar Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (25/7).

Ia juga mengatakan, setiap harga minyak mentah (ICP) naik US$ 1 per barel pun penerimaan negara Indonesia mendapat efek positif. “Kalau untuk ICP, setiap naik US$ 1 ada Rp 660 miliar,” katanya.

Kendati demikian, lanjutnya, dirinya sebagai Menteri Keuangan akan tetap berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dan lembaga lainnya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. “Kita juga tidak akan terlena, walapun parameter ICP dan kursnya meningkat,” ujar Sri.

Pada Rabu ini, menurut data RTI, nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan. Tercatat Rp 14.518 per dolar Amerika Serikat atau melemah 0,03%. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Australia pun melemah 0,29%, menjadi Rp 10.738. Terhadap yuan Cina juga melemah 0,28%, menjadi Rp 2.133 melemah. Bahkan, rupiah lunglai di hadapan ringgit Malaysia dan bath Thailand. Di hadapan ringgit, rupiah melemah 0,25%, menjadi Rp 3.571; sementara di hadapan bath melemah 0,16%, menjadi Rp 434,5.

Menteri Sri menjelaskan, melemahnya nilai tukar rupiah terutama karena perubahan dari mata uang Amerika Serikat terhadap seluruh mata uang yang lain. “Ini adalah konsekuensi dari pertama normalisasi maupun kebijakan yang diadopsi oleh Amerika Serikat,” ujarnya.

Setiap negara, tambahnya, memiliki respons dari sisi kelemahan yang berbeda-beda, bergantung pada, pertama, kondisi eksternal balance masing-masing negara, yaitu neraca pembayarannya. Namun, juga didukung kondisi dalam negeri, baik dari sisi moneter fiskal maupun dari sisi ekonomi riil di negara tersebut. “Sehingga empat keseimbangan inilah yang akan menentukan bagaimana suatu negara menghadapi dinamika dari dolar yang akan diterima oleh kebijakan di Amerika Serikat,” katanya.

Kementerian Keuangan Indonesia misalnya, merespons kebutuhan industri dengan mendorong insentif fiskal kepada pelaku usaha untuk bea masuk bahan impor untuk industri seperi tekstil, kertas elektronik, dan otomotif. Selain itu, kata Sri lagi, pemerintah juga mendorong agar sektor pariwata lebih digalakkan untuk bisa menarik lebih banyak devisa. “Sehingga pada situasi ini mereka bisa memanfaatkan kesempatan yang ada dan mengurangi tekanan yang cukup besar dari peruabahan operasi bisnis karena terdampak kurs rupiah,” tuturnya.

Sebelumnya, ekonom yang satu almamater dengan Sri Mulyani, Faisal Basri, justru punya pandangan berbeda. Menurut dia, selain faktor eksternal, pelemahan rupiah juga didorong ambisi pemerintah dalam menggenjot pembangunan infrastruktur. “Sumber utama rupiah rusak adalah pemerintah yang terlalu ambisius, yang melampaui dari kemampuannya sendiri,” kata Faisal kepada wartawan di Kantor Pusat PT PLN (Persero), Selasa (10/7).

Pemerintah, ungkap Faisal, jor-joran membangun infrastruktur. Padahal, pembangunan proyek infrastruktur mendongkrak kenaikan impor bahan baku dan barang modal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Misalnya proyek pembangunan jalur bawah tanah MRT, Indonesia masih harus mengimpor mesin bor dari Jepang. “Bahkan, tenaga kerja yang menjalankan [bor] masih harus diimpor. Kalau tidak salah dari Thailand,” tutur Faisal.

Proyek pembangunan infrastruktur pemerintah juga sebagian didanai dari aliran modal masuk asing (capital inflows), baik dalam bentuk investasi langsung maupun surat utang. Artinya, semakin agresif pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur, semakin besar dana yang dibutuhkan.

Selain itu, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh kondisi defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan, kata Faisal, banyak dipengaruhi dari defisit neraca perdagangan. Per Januari-Mei 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit sebesar US$ 2,83 miliar. Dan, di saat bersamaan, permintaan global terhadap ekspor Indonesia juga tidak bisa diandalkan, terutama karena adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina.

Perang dagang itu akan membatasi pergerakan arus barang di dunia. Bahkan, bukan tidak mungkin Cina ke depan bisa mengalihkan ekspornya dari Amerika Serikat ke Indonesia.

Risiko investor asing mengalihkan investasinya dari negara berkembang, termasuk Indonesia, ke negara maju juga semakin tinggi akibat ketidakpastian global. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah membesar.

Diprediksi Faisal, rupiah akan cenderung melemah sampai akhir tahun 2018. “Pertanyaannya, melemah dalam waktu cepat atau lambat? Nah itu bergantung  pada respons Bank Indonesia menaikkan suku bunga,” ujarnya. Konsekuensinya, suku bunga kredit yang ditanggung masyarakat bakal meningkat karena biaya dana semakin mahal. “Kalau ingin rupiah stabil, sementara rezim devisa bebas, satu-satunya cara adalah dengan menaikkan suku bunga acuan.”

Opsi lain yang bisa diambil, menurut penilaian Faisal, adalah pemerintah mulai mengerem pembangunan infrastruktur. Selain bisa menghemat belanja negara, langkah ini juga dapat memperbaiki neraca perdagangan. [RAF]