Koran Sulindo – Jeda sementara perang dagang antara Cina dan AS selama 90 hari bagaimanapun telah menarik perhatian dunia.

Beberapa analisis menganggap jeda itu penting tak hanya untuk perang dagang namun sekaligus seluruh hubungan bilateral mereka. Bagi yang skeptis, jeda itu hanya berdampak terbatas dan hanya menguntungkan AS karena memberi tenggang untuk lebih menekan musuhnya itu.

Kedua garis besar analisis itu tak objektif karena dipengaruhi posisi dan keinginan politik.

Konsensus yang dicapai Cina dan AS akhir pekan lalu harus dilihat sebagai terobosan besar yang dampaknya bisa dilihat langsung pada pasar saham awal pekan ini.

Meski apa yang ada di depan mata adalah negosiasi yang sulit, namun mengatasi kesulitan-kesulitan sepenuhnya tergantung sikap politik AS dan Cina.

Setelah hampir setengah tahun perang dagang antara mereka, baik Cina maupun AS telah mempelajari satu sama lain dan memahami kebutuhan mereka untuk mengurangi tekanan.

Kedua belah pihak sama-sama paham dan tak ada yang bisa memaksakan untuk meraih kepentingan maksimal secara sepihak. Mereka harus berkompromi mencapai kesepakatan perdagangan dalam negosiasi.

Perang dagang hanya dapat meningkat lagi jika mereka gagal mencapai kesepakatan.

Di sisi lain perjanjian perdagangan patut diperjuangkan yang dimotivasi reformasi dan keterbukaan Cina. Hubungan perdagangan yang sehat harus diakomodasikan sementara permintaan yang tidak masuk akal dan berbahaya untuk sementara bisa dikecualikan.

Saat ini kedua belah pihak jelas memiliki keinginan yang sama untuk memulai babak negosiasi baru yang serius dalam 90 hari ke depan. Ini adalah signifikansi utama dari jeda perang dagang itu.

Jeda menunjukkan kedua belah pihak menyadari akan lebih bermanfaat bagi mereka untuk mengakhiri perang dagang daripada melanjutkannya. Pemahaman Washington dalam hal ini tak jauh berbeda dengan pemahaman Beijing.

Di sisi lain, jelas tak mungkin mengatasi perbedaan besar antara mereka hanya dalam waktu 90 hari. Namun, sangat mungkin dalam 90 hari itu dapat dibangun rasa percaya tertentu yang mengarah pada kompromi.

Sementara AS tahu betul kesenjangannya dengan Cina tak sebesar Korea Selatan, Australia atau Jepang. Mereka merasa tak harus merusak kepentingan utama Cina dan bergerak lebih lembut untuk memaksimalkan kepentingannya.

Pernyataan sepihak dari Gedung Putih dirilis akhir pekan lalu jelas tidak menyebutkan rencana Made in China 2025, yang dulu ditentang keras AS. Di sisi lain, Cina juga nampak hati-hati menghindari membicarakan rencana itu untuk sementara waktu.

Preseden ini membuktikan bahwa baik Wahsington maupun Beijing tengah mencari kemungkinan kompromi tentang isu-isu yang sangat sensitif.

Upaya Cina memperluas reformasi dan keterbukaan bagaimanapun telah menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan untuk mengurangi njomplangnya perdagangan mereka.

Di tengah tekanan politik pemilu, Washington jelas perlu memetik kemenangan  dalam perang dagang. Sementara Cina tak perlu bersaing untuk merebut opini publik AS. Cina bisa lebih fokus memikirkan manfaat nyata dan mendorong reformasi dan keterbukaan.[TGU]