Kitab Pararaton

Koran Sulindo – Selain Pararaton, kitab yang bercerita tentang masa-masa awal Tumapel adalah Nagarakretagama yang ditulis Prapanca pada era Mahapahit tahun 1365.

Negarakretagama tidak secara jelas menyebut siapa pendiri pendiri Kerajaan Tumapel selain menyebutnya sebagai putra Bhatara Girinatha yang lahir tahun 1182.

Setelah mengalahkan Raja Kertajaya dari Kadiri pada tahun 1222 putra Bhatara Girinatha itu naik tahta di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa dan memerintah dari ibu kota yang bernama Kutaraja.

Kitab itu menyebut Sri Ranggah Rajasa mangkat tahun 1227 atau lebih cepat 20 tahun dibanding yang disebutkan Pararaton. Menghormati arwahnya, sebuah candi didirikan di Kagenengan tempat ia dipuja sebagai Siwa, sementara di Usana dipuja sebagai Buddha.

Rajasa tentu saja orang yang sama yang disebut sebagai Angrok dalam Pararaton.

Selain tak menyebut Angrok, Negarakretagama juga mengabaikan Tohjaya. Prapanca menulis, sepeninggal Anusapati yang menjadi Raja Tumapel adalah Wisnuwardhana alias Ranggawuni.

Baca juga: Kutuk Tujuh Turunan Keris Mpu Gandring

Nama Tohjaya justru ditemukan dalam Prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Kertanagara pada tahun 1255 atas perintah ayahnya yang bernama Maharaja Seminingrat alias Wisnuwardhana alias Ranggawuni.

Prasasti itulah yang membuktikan bahwa Tohjaya benar-benar tokoh sejarah, bukan sekadar tokoh fiktif ciptaan Pararaton. Hanya saja, dalam prasasti itu ditulis Tohjaya bukan Raja Tumapel atau Singhasari. Ini juga membenarkan urut-urutan raja di Tumapel oleh Nagarakretagama.

Tohjaya bertahta di Kadiri menggantikan adiknya, Guningbhaya yang menjadi raja setelah menggantikan kakaknya Bhatara Parameswara. Ketiga raja Kadiri tersebut merupakan paman dari Seminingrat.

Prasasti itu juga menulis bahwa pendiri Kerajaan Tumapel yakni Bhatara Siwa yang mangkat di atas tahta itu adalah kakek dari Seminingrat.

Rekonsiliasi

Merujuk pada Prasasti Mula Malurung, Nagarakretagama, juga Pararaton, Slamet Muljana dalam Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya menyebut Kadiri runtuh tahun 1222 oleh pemberontakan Bhatara Siwa alias Rajasa alias Ken Angrok.

Ia lantas mendirikan Kerajaan Tumapel dan menempatkan Kadiri sebagai bawahan Tumapel dan menyerahkan wilayah itu pada Bhatara Parameswara atau Mahisa Wonga Teleng, anak sulungnya dengan Ken Dedes.

Inilah yang memicu kecemburuan Anusapati sebagai putra tertua. Mungkin ia memang benar-benar membunuh Bhatara Siwa karena menurut Prasasti Mula Malurung raja pertama Tumapel itu mangkat di atas tahtanya. Sementara itu sepeninggal Bhatara Parameswara di Kadiri, tahta jatuh pada adiknya Guningbhaya dan kemudian dilanjutkan oleh kakaknya yakni Tohjaya.

Dalam Pararaton, Bhatara Parameswara ini identik dengan Mahisa Wonga Teleng, putra tertua Ken Angrok dan Ken Dedes. Sementara Guningbhaya adalah adik kandung Mahisa Wongateleng yaitu Agnibhaya.

Di sisi lain penyebutan Tohjaya disebut sebagai kakak Guningbhaya juga sesuai dengan Pararaton yang menyebut Tohjaya adalah putra tertua Ken Arok yang lahir dari Ken Umang karena bisa dipastikan Tohjaya lahir lebih dulu dibanding Agnibhaya.

Hanya saja yang berbeda dari Pararaton adalah Tohjaya merupakan raja Kadiri bukan raja Tumapel atau Singhasari. Jika benar dengan kisah-kisah pembunuhan dalam Pararaton, paling mungkin ia melakukannya pada Guningbhaya pada Anusapati.

Prasasti Mula Malurung juga menyebut Wisnuwardhana alias Ranggawuni yang kembali mempersatukan Tumapel sepeninggal Tohjaya.

Pararaton dan Nagarakretagama juga sama-sama menyebut pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Pararaton menyebut nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.

Jika cerita berdarah dan balas dendam dalam Pararaton benar-benar terjadi, bisa dipahami tujuan dari pemerintahan bersama yakni rekonsiliasi antara mereka yang saling bersaing. Bagaimanapun sebagai anak Anusapati, Wisnuwardhana adalah cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok dari Mahisa Wonga Teleng .

Selain itu, Wisnuwardhana juga mengawini Jayawardani saudara kandung Narasingamurti. Dari perkawinan itulah lahir Kertanagara yang diangkat sebagai putra mahkota pada tahun 1253. Tahun yang sama Wisnuwardhana mengganti nama ibu kota Kutaraja menjadi Singhasari.

Kertanegara naik tahta 1268 sekaligus menjadi satu-satunya raja di Singhasari yang naik takhta dengan damai tanpa pertumpahan darah menurut Pararaton. Ia juga yang menggagas Ekspedisi Pamalayu ke Sumatra untuk memperkuat pengaruhnya di Sumatra dan perairan Selat Malaka.

Ekspedisi yang dipimpin Kebo Anabrang tahun 1275 itu adalah strategi Kertanagara menghadang meluasnya pengaruh Mongol yang nyaris menguasai hampir seluruh daratan Asia. Ia menginginkan Mongol dicegat di Sumatra tanpa perlu masuk dan bertempur di Laut Jawa.(TGU)