Patung Buddha di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah - Kompas
Patung Buddha di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah - Kompas

BUDDHA GAUTAMA dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: “keturunan Gotama yang tujuannya tercapai”), dia kemudian menjadi Sang Buddha (secara harfiah adalah orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna).

Dia juga dikenal sebagai Sakyamuni (‘orang bijak dari kaum Sakya’), sebagai Theravada, dan sebagai Tathagata.

Buddha Gautama berdasarkan penuturan kitab-kitab yang ada dianggap memiliki kemampuan dan kekuatan mukjizat melebihi manusia biasa. Tetapi ia sendiri, berulang kali menolak permohonan dari umat biasa untuk mempertunjukkan kemampuan dan kekuatan mukjizat nya tersebut. 

Ia beranggapan bahwa mukjizat-mukjizat itu seharusnya membawa manfaat bagi banyak makhluk dan dia memperingatkan kepada murid-muridnya bahwa mereka harus belajar Dharma (ajaran Buddha) bukan demi memperoleh kemampuan dan kekuatan tersebut. Mujizat terbaik adalah membuka pandangan orang-orang akan kebenaran Dharma dan memperoleh kebijaksanaan.

Kelahiran Siddhartha Gautama Sang Buddha

Pangeran Siddhartha Gautama dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, ketika itu Ratu Mahamaya berdiri memegang dahan pohon sal. 

Ibunda Ratu meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Siddhartha Gautama. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu maka yang merawat Pangeran Siddharta adalah Mahä Pajäpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Pada saat pangeran lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, tempat yang dipijaknya tumbuh bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha.

Para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda pun menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya.

Menikah

Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara.

Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat empat peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di dalam penglihatannya, setelah itu Pangeran Siddharta tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita ini.

Meninggalkan Kehidupan Duniawi

Ketika Siddhartha Gautama berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati.

Mengembara

Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra.

Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, namun Gautama belum juga dapat memahami hakekat dan tujuan dari  pertapaan yang dilakukan tersebut.

Dalam proses pertapaan seorang wanita bernama Sujata memberi Gautama semangkuk susu. Walaupun badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan pertapaannya.

Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara setan yang menggoda dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Mencapai Pencerahan Sempurna

Sekarang pertapa Gautama menjadi terang dan jernih, secerah sinar fajar yang menyingsing di ufuk timur. Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha, tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar).

Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain : Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata, Sugata, Bhagava dan sebagainya.

Empat Kebenaran Mulia Buddha Gautama

Buddha Gautama mengajar murid-muridnya Empat Kebenaran Mulia: Pertama, bahwa hidup adalah dukkha, “penderitaan.” Kedua, bahwa penyebab penderitaan ini adalah tanha, “keinginan” atau “keinginan.” Ketiga, penderitaan itu akan berhenti ketika keinginan yang menyebabkannya ditinggalkan dan diatasi.

Keadaan pembebasan melalui lenyapnya penderitaan ini mengarah pada nirwana, yang secara harfiah berarti pemadaman atau peniupan—penembusan dari bukan diri. Kebenaran Mulia Keempat adalah bahwa jalan menuju pembebasan ini adalah melalui menjalani Jalan Mulia Berunsur Delapan, atau Jalan Tengah.

Jalan Berunsur Delapan Buddha Gautama

Langkah pertama di Jalan Berunsur Delapan adalah memiliki pemahaman benar, atau pandangan benar. Yang kedua adalah aspirasi yang benar, pikiran yang benar, atau ketetapan hati yang benar. Ketiga adalah ucapan yang benar. Keempat adalah perbuatan benar, atau perbuatan benar. Kelima adalah penghidupan yang benar. Keenam adalah usaha yang benar. Ketujuh adalah perhatian benar, dan Kedelapan adalah konsentrasi benar, atau penyerapan benar. [S21]