Setahun dalam Hidup Novel Baswedan

Ilustrasi

Koran Sulindo – Ada puluhan Novel Baswedan di halaman gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bilangan Kuningan, Jakarta itu. Ada juga beberapa puluh Novel Baswedan di Taman Pandang, tempat yang dibangun khusus untuk melakukan aksi unjuk rasa, di seberang Istana Negara Jakarta.

Mereka memperingati satu tahun penyiraman air keras pada penyidik senior KPK itu dengan diskusi dan nonton bareng film, “Menolak Diam”. Sudah setahun, polisi tak pernah pergi lebih jauh dari awal penyelidikan 365 hari lampau. Sudah setahun, dan polisi seperti tak pernah serius menyigi kasus penyerangan brutal itu.

Di tempat pertama, Novel Baswedan yan asli berdiri bersama beberapa komisioner KPK, penyidik, dan warga negara yang peduli.

“Saya sudah menyampaikan sejak awal, bahkan seingat saya 5 bulan setelah saya di Singapura, saya menyampaikan bahwa saya meyakini ini tidak akan diungkap. Apakah itu merupakan keengganan atau memang ada suatu kesengajaan saya tidak tahu,” kata Novel, lirih. Ia menduga ini semua berkaitan dengan orang-orang yang mempunyai kekuasaan di negeri ini.

“Saya menduga bahwa ada oknum Polri juga yang terlibat di sini sehingga saya ingin menyampaikan bahwa saya menduga itu yang terjadi,” katanya.

Novel adalah salah satu penyidik senior KPK. Ia terlibat antara lain menangani kasus korupsi dalam pengadaan KTP-elektronik (e-KTP), pengadaan Al Quran di Kementerian Agama, dan kasus korupsi di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

TGPF

Sekitar setengah lalu, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK menilai mandeknya pengungkapan kasus penyiraman brutal ini bukan semata karena ketidakmampuan penyidik Polri, tapi lebih karena banyak kepentingan di internal Polri yang mempengaruhi proses penyidikan.

“Sehingga terjadi politik saling sandera di internal kepolisian. Kami mempercayai bahwa sebenarnya Polri mampu untuk mengungkap kasus Novel Baswedan, dengan barang bukti dan informasi yang cukup banyak yang telah dikumpulkan oleh penyidik,” tulis siaran pers Koalisi, di Jakarta, Rabu (27/7/2017), seperti dikutip bantuanhukum.or.id.

Sudah sekitar setengah lalu mereka meminta Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), terutama karena banyak kejanggalan dalam proses penyidikan Polri, dari hilangnya sidik jari dalam gelas yang ditemukan di sekitar lokasi kejadian yang diduga digunakan oleh pelaku penyiraman. Lalu penangkapan dan dilepaskan kembali beberapa orang yang diduga merupakan pelaku; beberapa saksi di sekitar lokasi baik sebelum peristiwa penyerangan menduga kuat orang-orang yang ditangkap polisi itu terlihat sering berada di sekitar lokasi kediaman Novel dan menanyakan aktivitas kesehariannya.

Belum lagi ketidaksepemahaman pernyataan antara Mabes Polri dengan Polda Metro Jaya. Beberapa kali pernyataan Mabes Polri dibantah atau direvisi oleh Tim Penyidik Polda. Belum lagi ancaman terhadap beberapa Komisoner Komnas HAM dalam proses usulan pembentukan TGPF.

Kejanggalan yang paling besar adalah adanya tim di internal Polri di luar proses penyidikan resmi, yang juga bergerak. Beberapa saksi menyampaikan setelah proses pemeriksaan di Polres, beberapa anggota yang mengaku dari Mabes Polri juga mendekati saksi dan meminta informasi terkait dengan peristiwa penyerangan itu.

“TGPF ini juga penting dibentuk untuk menghindari politik kepentingan atau politik saling sandera yang ada di tubuh internal kepolisian,” tulis pernyataan koalisi itu ke media.

Setahun Kemudian

Pada 11 April 2017, Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal usai salat subuh di masjid dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sesaat setelah kejadian Novel dilarikan ke RS Mitra Keluarga sebelum akhirnya dirujuk Jakarta Eye Center. Novel dirujuk ke rumah sakit di Singapura.

Setahun setelah itu dan akhirnya pulang dan dinyatakan sembuh secara medis, terutama matanya, Novel pekan lalu mendatangi gedung KPK atas undangan Wadah Pegawai KPK.

“Saya berpikir TGPF ini penting untuk melihat apakah betul ucapan saya bahwa ada banyak fakta-fakta yang tidak diungkap,” kata Novel.

Pembentukan TGPF bukan untuk mencari bukti, melainkan fakta-fakta.

“Ada banyak fakta-fakta yang tertutupi. TGPF bukan untuk mencari bukti, TGPF mencari fakta-fakta yang bisa memberi informasi.Dengan begitu, bisa menjadikan informasi kepada Presiden dan juga informasi kepada Bapak Kapolri sehingga upaya pengungkapannya menjadi serius dan benar,” katanya.

Pada 22 Februari 2018 lalu, sejumlah organisasi sipil menggelar aksi #Novelkembali #Sebelahmata, menyambut pulangnya penyidik KPK itu. Mereka menuntut penuntasan kasus yang bertele-tele itu.

Sudah sejak hari pertama penyerangan brutal itu, sebenarnya, Presiden Joko Widodo sudah mengutuk keras penyiraman air keras itu.

“Itu tindakan brutal yang saya mengutuk keras. Saya perintahkan kepada Kapolri untuk dicari siapa pelakunya,” kata Presiden Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (11/4/2017), seperti dikutip setneg.go.id.

Tapi juga sejak itu Jokowi menyerahkan penyidikan kasus ini ke polisi, dan tak tergerak menyetujui pembentukan TPGF seperti yang diminta KPK, Komnas HAM, sejumlah organisasi sipil, dan bahkan Novel sendiri. Ia mengatakan polisi belum menyerah, dan selama itulah ia masih menyerahkan penyidikan kasus ini ke tangan polisi. Entah sampai kapan, tidak jelas.

Yang jelas, siapa pelaku penyerangannya itu sebenarnya btak rumit-rumit apa. Sumber-sumberKoran Sulindo menyatakan beberapa hari sebelum dan saat kejadian brutal itu, terdapat 3 kelompok yang mengincar Novel.

Yang pertama, yang diduga terlibat kasus e-KTP. Yang Kedua, yang terlibat kasus suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Yang ketiga, yang terlibat kasus korupsi Al Quran di Kementerian Agama.

Dalam wawancara dengan majalah Time sekitar Juni 2017, Novel mengatakan ada perwira tinggi polisi terlibat dalam kasus yang menimpanya.Sementara dalam wawancara di situs Kumparan.com, Novel mengatakan polisi memandang sebelah mata kasusnya. Misalnya, dalam penyelidikan polisi menyatakan tidak menemukan sidik jari pada gelas yang dipakai pelaku membawa air keras untuk menyiramnya. Menurut Novel, saksi mengatakan pelaku tidak mengenakan sarung tangan saat itu.

Novel yakin jika kepolisian serius menangani kasus ini pasti bisa terungkap dengan cepat.

Setelah sepekan bertemu dengan Kapolri, Novel didatangi tim Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror, yang berjanji akan menemukan pelakunya. Metodologi yang dipakai tim ini secara teknis sama seperti yang umum mereka gunakan untuk menemukan terduga teroris. Tidak lama kemudian, foto pelaku dikirimkan kepadanya, amun hingga kini kasus ini tetap jalan di tempat. Hingga setahun berlalu dalam hidup Novel Baswedan.[Didit Sidarta]