Kitab I La Galigo (foto: Wikipedia)

Suluh Indonesia – Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo yang termasyhur adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis antara abad  ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno dan huruf Lontar. Puisi ini merupakan sajak bersuku lima dan menceritakan kisah asal-usul manusia.

Dalam masyarakat Bugis epik ini berkembang melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan acara tradisional. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau karena lapuk. Akibatnya, tidak ada versi La Galigo yang  pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar. Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata dari India, walaupun ini masih harus dibuktikan.

Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, seorang sutradara teater kontemporer berkewarganegaraan Amerika. R. Wilson merupakan produser film  dan  drama Romeo and Juliet, serta The Life and Times of Joseph Stalin dan mendapat nominasi drama untuk Pulitzer Prize (1986).

I  La Galigo telah keliling dibanyak belahan dunia sejak tahun 2004, lakon ini dipentaskan di berbagai panggung teater kelas dunia, mulai dari Singapura,  Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Jakarta, Melbourne, Milan, hingga Taipeh. Walaupun Robert Wilson hanya mengambil secuplik sureq (serat) I La Galigo yang dianggap sebagai naskah sastra terpanjang di dunia.

Hikayat La Galigo

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Sawerigading menikah dengan putri Tiongkok, We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan merupakan ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.

Keberadaan Sureq I La Galigo

Para ahli La Galigo menempatkan sastra ini sebagai karya terpanjang di dunia. Cerita itu terdiri dari beberapa episode yang dalam bahasa Bugis disebut dengan Tereng. Tereng yang paling popular adalah perkawinan Sawerigading dengan I We Cudai dan dianugerahi seorang putera yang bernama La Galigo.

Perlu dipahami, bahwa La Galigo mempunyai dua dimensi makna dengan pengertian yang berbeda, yakni: I La Galigo sebagai nama dari putera pasangan Opunna Wareqdan I We Cudai dan I La Galigo sebagai naskah, baik yang menyangkut katalog yang  dibuat oleh Kern (yang di dalamnya memuat ringkasan cerita La Galigo) maupun kumpulan 12 jilid naskah dengan nomor NBG 188 yang tersimpan di Perpustakaan Leiden University, yang merupakan salinan tangan dari Colliq Pujie Arung Pancana Toa.

Pementasan I La Galigo (foto: The Jakarta Post)

La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. Versi bahasa Bugis asli La Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. Sejauh ini La Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari La Galigo yang  telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa,  terutama di Perpustakaan KoninklijkInstituutvoorTaal-Land-en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 naskah tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi  Selatan dan Tenggara, dan terdapat juga beberapa jumlah naskah yang tersimpan di Eropa, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.

Kitab berbahasa Bugis klasik ini memiliki panjang lebih dari 300 ribu baris, dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana. Bahkan peneliti dari Belanda, Roger Tol, mengatakan, I La Galigo juga memiliki gaya bahasa yang indah.

Baca juga Bung Karno sang Pembaru Penulisan Naskah Teater Modern Indonesia

Pada suatu waktu yaitu pada tanggal, 23-24 April 2011untuk pertama kalinya I La Galigo pulang kampung ketanah kelahirannya di Fort Rotterdam Makassar, dipentaskan di  hadapan masyarakat Sulawesi Selatan dengan disutradarai oleh Robert Wilson.

Naskah I La Galigo ini sekarang merupakan bagian dari koleksi naskah-naskah Indonesia dari The Netherlands Bible Society, dan diberikan hak permanen kepada KoninklijkInstituutvoorTaal- Land- en Volkenkunde Leiden Perpustakaan Universitas Leiden sejak tahun 1905-1915 di Belanda. Manuskrip ini masih tersimpan rapi dan menjadi salah satu naskah tua yang paling dijaga dan sangat berharga. [Nora E]

Baca juga SERAT CENTHINI : Dari Seksualitas Hingga Religi