Membuat Geger
PADA AWAL dekade 1980-an, Semsar membuat geger dunia seni rupa Indonesia ketika membakar patung “Citra Irian dalam Torso” karya Profesor Soenarjo, dosennya di Jurusan Patung ITB. Padahal, patung itu baru tiba kembali setelah dipamerkan di pameran seni patung internasional di Fukuoka, Jepang.
Tak cuma mengabukan patung itu, Semsar membungkus nasi kuning dengan daun pisang yang disajikan sambil menyatakan apa yang ia lakukan itu sebagai “seni kejadian”. Tanpa menunggu lama, pihak ITB mencoret nama Semsar sebagai mahasiswa dan menggelandang Semsar ke balik sel di hotel prodeo.
Di mata Semsar, seni modern Indonesia jatuh derajatnya bila hanya menjadi pemuja keindahan estetik. Seniman dianggap memanipulasi seni tradisi untuk kepentingan mereka sendiri.
Mengambil penjuru ke Barat sekaligus memimpikan kemakmurannya sejak kepeloporan Raden Saleh, Semsar menganggap estetika abai pada kenyataan sosial di negeri sendiri, yakni petani miskin dan nelayan. Itulah yang sangat ditentang secara konsisten oleh Semsar pada masa rezim Soeharto, karena hak-hak dasar rakyat dihilangkan dan kemanusiaan dirampas.
Sikapnya yang garang dan tak kenal kompromi itu membuat Semsar sulit mendapat kapling untuk berpameran. Tinggal di wilayah kumuh di Jakarta, dia mulai kembali melukis dan berstudio di jalanan. Bertahun-tahun mencoba, ia pada tahun 1988 akhirnya berhasil menggelar pameran tunggal yang didukung Dewan Kesenian Jakarta.
Pada pameran itu, dia mengusung 250 gambar hitam-putih dan 12 lukisan yang rata-rata mencitrakan penindasan dan kekerasan yang mengerikan. Brita L. Miklouho-Maklai, peneliti seni modern Indonesia, menyebut karya-karya Semsar itu diolah dari karya humanistis seniman Jerman, Käthe Kollwitz, dan satir George Grosz.
Kedekatan Semsar dengan Grosz bisa dilihat dari citra manubilis yang sebelumnya sudah muncul dalam cerita pendek yang ditulis pada 1982. Manubilis digambarkan sebagai pengisap tengik yang sopan dan penuh adab.
Hampir pada semua karya Semsar, suasana jelata, kematian, dan penindasan terlihat sangat tajam. Citra itu berkelindan dengan gambaran ketamakan, kekuasaan, dan kebengisan penuh ironi, sinis, nyelekit, sekaligus sarkas. Keutamaaan estetika benar-benar pingsan di jalan pembebasan Semsar.
Tak hanya di Taman Ismail Marzuki, lukisan itu kemudian berkeliling mengunjungi jejaring aktivis Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, hingga Bandung. Di pengujung pameran, di Gedung Yayasan Pembina Kesenian, Bandung, pada hari Minggu, 10 April 1988, Semsar memproklamasikan “Seni Peristiwa Monumental Menentang Pemilikan Pribadi atas Karya Seni”.
Bagi dia, pemilikan pribadi adalah persemaian neofeodalisme, yang dengan gampang berbiak di era kekuasaan rezim Soeharto. Seperti mengulang pembakaran patung Soenarjo tujuh tahun sebelumnya, Semsar membakar semua karyanya sekaligus bersuara lantang bahwa karyanya “harus dikembalikan pada apinya semangat pembaharuan”.
Dengan pameran itu, Semsar seperti menyuntikkan semangat aktivis dan penggiat hak asasi. Keterlibatannya juga dituangkan pada spanduk, poster, baliho, dan gambar-gambar yang dipakai demonstran saat turun ke jalan. Bahkan, dia sendiri yang mengusung poster-poster buatannya ketika aksi menentang Perang Teluk pada tahun tahun 1991.
Lima tahun kemudian, Semsar kembali menggelar pameran di Galeri Utama Taman Ismail Marzuki, yang akan dibongkar karena akan direbovasi. Ia mengusung tajuk “Penggalian Kembali” sebagai monumen korban kekejaman politik sejarah Indonesia mutakhir. “Monumen negatif” itu berupa galian seluas 9 meter x 3,5 meter x 2 meter sebagai kuburan patung manusia tanah yang ia gambarkan sebagai jenazah para korban yang dikeliling mural hitam putih penuh manubilis.
Semsar menuding debat isme-isme pada dunia seni tak bakal memecahkan masalah perjuangan kemanusiaan yang nyata yang dengan lantang diekspresikan dalam kalimat di dinding masuk, “Anda memasuki daerah bebas gravitasi posmo.” Ketika itu, gerakan postmodernisme memang sedang menjadi semacam fashion di kalangan pekerja seni, dengan “pusat gravitasi”-nya di kantor majalah Tempo dan dosen filsafat Universitas Indonesia, Tommy F. Awuy, sebagai “juru bicara”-nya.
Pada tahun 1994, ketika Semsar bergabung dengan para demonstran menentang pemberedelan majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik, tentara menghajar kakinya, yang memang lemah karena pernah diserang polio. Kakinya patah tiga.
Tercatat, sejak tahun 1979, Semsar setidaknya sudah mengikuti 12 kali pameran, baik itu bersama meupun tunggal di Bandung, Jakarta, dan Australia. Termasuk di antara pameran itu meliputi patung, lukisan, dan karya seni rupa-pertunjukan. Tahun 1991, dia memberi ceramah keliling di Sydney, Melbourne, Wollongong, Canberra, Hobart, dan Adelaide. Dia juga diundang sebagai perupa tamu di University of New South Wales, Australia.
Keadaan sosial dan politik yang terus memanas bagaimanapun membuat Semsar waswas. Ketika beberapa mahasiswa mati ditembak; aktivis dan penyair sahabatnya, Wiji Thukul, diculik tahun 1998, dia merasa jiwanya terancam. Ia memutuskan pindah ke Kanada.
Semsar baru kembali ke Tanah Air tahun 2004 dan menggelar pameran The Shade of Northern Lights di Galeri Nasional Indonesia. Pada pameran itu jelas terlihat seni oposisional Semsar tampak mengalami perluasan konteks dan pencanggihan visual. Juga tema dan bentuknya.
Melalui pameran itu juga, Semsar pamit setelah memutuskan mencari tempat yang lebih tenang. Tempat itu terletak di Tabanan, Bali Utara, yang ia rancang sebagai sanggar kreatif. Sayang, di tengah persiapannya itu tiba-tiba dia tersungkur akibat serangan jantung. Semsar Siahaan meninggal pada Rabu dini hari, 23 Februari 2005, di rumah sakit di Tabanan.