Warga lingkar Mandalika melakukan aksi penanaman lahan - dok.warga
Warga lingkar Mandalika melakukan aksi penanaman lahan - dok.warga

SEBAGAI BENTUK KEKECEWAAN dan protes atas penguasaan lahan warga oleh Indonesia Tourism Development Coporation (PT ITDC) tanpa pemberian ganti rugi, masyarakat sepakat menggelar aksi tanam raya di atas lahan sengketa.

Aksi masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Aliansi Masyarakat Lingkar Kawasan Mandalika (ASLI-Mandalika) ini rencananya akan diisi dengan kegiatan pembersihan lahan dan penanaman singkong. Kegiatan ini sekaligus sebagai peringatan momentum HUT RI ke-77.

Protes warga dilatarbelakangi oleh penguasaan lahan milik warga secara sepihak oleh PT ITDC untuk pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika sejak tahun 2018.

Berdasarkan keterangan warga, kawasan ini dibangun di atas lahan milik masyarakat yang teradministrasikan dalam 4 Desa, yaitu Desa Kuta, Sengkol, Sukadana dan Mertak.

Selanjutnya, secara sepihak oleh Negara lahan itu ditetapkan menjadi area “Hak Penggunaan Lahan (HPL)” yang diberikan kepada PT. ITDC.

Penetapan status lahan, menurut warga, ditindaklanjuti dengan serangakaian skema pembebasan lahan yang sarat dengan intimidasi dan manipulasi, sehingga menyisakan setidaknya 3 masalah utama yaitu salah bayar, hanya dibayar sebagian dan bahkan tidak dibayar sama sekali.

Tak kunjung selesai

Hingga tahun ke-empat pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika hak masyarakat belum sepenuhnya diberikan. Bahkan masyarakat lingkar kawasan mengeluhkan berbagai masalah mulai dari rentetan pelanggaran HAM dalam setiap proses pembebasan lahan, permasalahan dampak sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

Sebagaimana diketahui, pembangunan Mega Proyek Pariwisata KEK Mandalika dengan status super prioritas merupakan proyek percontohan pembangunan dan pengembangan kawasan pariwisata di Indonesia.

KEK Mandalika, dengan Sirkuit Moto-GP sebagai ikon utamanya telah berhasil menjalankan perhelatan berbagai even balap Motor internasional, seperti World Superbike (WSBK) pada tahun 2021, kemudian Moto-GP pada Bulan Maret 2022 dan rencananya akan menggelar kembali even WSBK pada Bulan November 2022 mendatang.

Namun demikian, ditengah ambisi kemegahan pembangunannya, kawasan ini ternyata dibangun diatas lahan milik warga yang belum menerima hak atas lahan miliknya.

Sebelumnya, dengan dalih untuk menyelesaikan serangkaian masalah sengketa lahan yang masih tersisa, pemerintah telah membentuk satuan tugas (Satgas) penyelesaian sengketa lahan Mandalika. Namun hingga dua kali berganti pimpinan, Satgas tidak juga menunjukkan hasil yang baik dan adil bagi warga.

Bahkan, paska pertemuan pada tanggal 7 Juli 2022 lalu yang di koordinasikan oleh Kementerian Politik dan HAM (Menkopolhukam RI) di Kantor Gubernur Provinsi NTB, kembali dibentuk Satgas untuk ketiga kalinya. Anehnya Satgas penyelesaian sengketa itu dibentuk lagi tetap dengan tupoksi yang sama.

Pasca pembentukan satgas baru, kembali diadakan pertemuan di Kantor Menkopolhukan RI, di Jakarta pada 3 Agustus lalu. Seperti diduga hasilnya masih dengan rekomendasi yang sama, yakni perlu diadakan “verifikasi” lahan yang masih belum terselesaikan.

Tidak seluruh masyarakat dilibatkan

Sengketa kian berlarut karena tidak ada upaya untuk duduk bersama antara pemerintah, PT ITDC dengan seluruh warga yang lahannya di klaim pemerintah.

Menurut keterangan warga, selain klaim PT ITDC yang menyatakan bahwa semuanya sudah “clean and clear”, ternyata subyek dan obyek sengketa lahan yang belum terselesaikan. Data yang dimiliki oleh Satgas belum mencakup seluruh warga yang belum mendapatkan ganti rugi atas lahannya.

Sementara sebagian warga yang telah terdaftar dalam data satgas sekalipun, justru didorong untuk melakukan gugatan melalui pengadilan.

Selama ini yang dilibatkan dalam petemuan dan koordinasi oleh pemerintah melalui satgas hanya sebagian warga yang memiliki pendamping hukum (kuasa hukum) saja. Sementara, warga yang tidak melakukan gugatan ke pengadilan dan tidak memiliki kuasa hukum tidak dilibatkan sama-sekali.

Skema lain dari PT. ITDC adalah mendatangi warga satu-persatu atau house to house dan hanya menawarkan sejumlah kompensasi dengan nilai berkisar antara 3 juta rupiah, 10 juta hingga 45 juta rupiah yang mencakup ganti rugi lahan, tempat tinggal dan, tanaman.

Karena merasa tawaran itu tidak adil dan tidak sesuai maka warga melakukan penolakan. Warga menganggap tindakan itu sangat tidak bertanggungjawab.

Persoalan relokasi

Selain soal ganti-rugi masyarakat juga mengeluhkan program relokasi yang dilakukan pemerintah. Jumlah yang masuk dalam daftar penerima hak relokasi hanya sebagian kecil warga saja. Kemudian area dan keadaan bangunan rumah relokasi masih jauh dari kata layak.

Area relokasi yang disediakan oleh Pemerintah berada ditempat yang jauh dari lokasi tempat tinggal sebelumnya akibatnya tempat tinggal warga penerima relokasi dengan wilayah kelola atau tempat kerja sebelumnya menjadi terputus oleh jarak. Akibatnya warga yang menjadi petani, nelayan maupun penggembala ternak tidak akan bisa melakukan aktivitas secara bebas ditempat relokasi yang disediakan.

Menurut warga, bangunan relokasi hanya sekitar 65 unit yang dialokasilkan untuk sekitar 120 KK dan untuk sejumlah fasilitas umum. Maka jumlah bangunan yang disediakan belum sesuai dengan jumlah warga yang mestinya menerima relokasi.

Anehnya terdapat syarat-syarat penerima relokasi yang dibuat-buat, seperti salah satunya adalah “hilangnya hak mendapatkan relokasi bagi warga yang masih memperjuangkan hak ganti rugi lahan”.

Dampak sosial ekonomi bagi warga

Pembangunan ekonomi dengan adanya KEK mandalika ternyata tidak serta-merta membawa kemajuan bagi masyarakat setempat. Meski banyak even internasional disertai masuknya berbagai investasi, masyarakat justru merasa terpinggirkan.

Masalahnya adalah tidak adanya jaminan akses pekerjaan bagi warga terdampak. Meski pemerintah dan pengembang diperkirakan membutuhkan hingga 85.000 tenaga kerja seperti yang disampaikan, namun akan sulit untuk diakses oleh warga terdampak jika tidak disertai dengan rencana pemberdayaan dan peningkatan kapasitas yang adil dan memadai.

Adapun lapangan kerja yang tersedia saat ini hanya berupa lapangan kerja bersifat sementara dan musiman, yakni buruh bangunan dan tenaga-tenaga taktis yang dibutuhkan ketika ada even-even saja. Itu pun pekerjaan dengan upah yang sangat rendah bahkan dibawah UMR dan tanpa kontrak kerja.

Dengan berlarut-larutnya sengketa lahan di kawasan Mandalika, warga pun mendesak agar sengketa lahan segera dituntaskan dengan mengutamakan pemenuhan hak masyarakat.

Selain itu warga menuntut ganti rugi yang layak bagi seluruh pemilik lahan disertai relokasi terhubung langsung dengan wilayah kelola atau tempat kerja.

Warga juga meminta pemerintah memberikan jaminan pekerjaan bagi para pemuda lingkar Mandalika disertai akses atas pendidikan dan pekerjaan di kawasan tersebut. [PAG]