Suluh Indonesia – Indonesia mengenal media penyiaran TV mulai tahun 1962 melalui kehadiran stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ia memonopoli siaran televisi di negara ini selama 27 tahun, menyiarkan agenda pemerintah, selain program hiburan, acara anak-anak dan olahraga, sesuai kebutuhan penonton.
Sementara itu, negara-negara tetangga di ASEAN telah mengoperasikan saluran televisi swasta dengan sukses. Malaysia saat itu memiliki satu-satunya saluran TV swasta, TV3, yang dibuka pada 1984. Filipina dan Thailand juga telah memiliki saluran swasta TV berdampingan dengan saluran televisi pemerintah.
Kenyataan itu mendorong dibukanya pintu pembentukan stasiun televisi swasta dan diakhirinya monopoli TVRI. Maka, pada 24 Agustus 1989, stasiun televisi swasta pertama, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) memulai siarannya sebagai stasiun televisi lokal.
Stasiun televisi swasta pertama ini dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo berpatungan dengan Peter Sondakh. Tidak seperti TVRI, RCTI diizinkan untuk menyiarkan iklan hingga 15 persen dari jam siarannya.
Pada 24 Agustus 1990, stasiun televisi Surabaya Central Televisi (SCTV) menyusul mendapat izin bersiaran. Stasiun ini dimiliki raja bioskop Sudwikatmono berpatungan dengan Henry Pribadi.
Baca juga: TVRI dari Masa ke Masa
Kedua stasiun semula hanya boleh bersiaran dengan menggunakan alat dekoder. Namun, kebijakan ini dicabut pemerintah untuk pemerataan kesempatan. Keduanya pun bisa bersiaran lebih leluasa seperti TVRI melalui jalur teresterial meski secara lokal di kota masing-masing, di Jakarta dan Surabaya.
Setahun kemudian, PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) diresmikan oleh pemerintah sebagai stasiun televisi swasta ketiga. Selama tahun-tahun pertama, TPI berbagi saluran dengan TVRI. Fasilitas dan operator didukung oleh TVRI di pagi hari ketika TVRI tidak bersiaran.
Semula TPI yang dikelola oleh Siti Hardijanti Rukmana ini ditujukan untuk menyiarkan acara pendidikan dari Depdikbud ke seluruh Indonesia. Namun demikian, ia mendapat izin mencari keuntungan dengan menayangkan iklan.
Pemerintah terus membuka peluang bagi stasiun-stasiun TV swasta lain untuk bersiaran. SCTV Denpasar dan RCTI Bandung pun beroperasi pada 1991. Pada 1991-1992, pemerintah memberi izin kepada enam perusahaan untuk mendirikan stasiun televisi swasta — istilah resminya Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Khusus.
Izin itu diberikan kepada PT Indosiar Visual Mandiri (Indosiar, Jakarta). Selanjutnya, berdiri banyak stasiun televisi lokal. Di Yogyakarta, misalnya, berdiri SMTV (PT Sanitya Mandara Televisi) milik GBPH Pakuningrat/keluarga keraton Yogyakarta dan Youk Tanzil.
Di Semarang, berdiri MCTI (PT Merdeka Citra Televisi Indonesia) yang dimiliki patungan oleh Grup Suara Merdeka dan Grup Salim. Di Batam, berdiri RIT TV (PT Ramako Indotelevisi) yang dimiliki patungan oleh Grup Salim dan Bambang Rachmadi dari Grup Ramako. Dan banyak lainnya.
Hanya saja, pada Juli 1993, pemerintah memutuskan hanya mengizinkan lima stasiun TV swasta untuk bersiaran nasional, yaitu RCTI, SCTV, TPI, Anteve dan Indosiar saja. Ini membuat stasiun-stasiun afiliasi masing-masing TV, seperti RCTI Bandung dan SCTV Surabaya, dilebur dengan induknya.
Pada 1997, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran resmi berlaku. Ia membagi lembaga penyiaran menjadi tiga: Lembaga Penyiaran Pemerintah seperti TVRI, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus seperti penyedia layanan televisi berlangganan, layanan informasi audioteks/videoteks, layanan video-on-demand dan lainnya.
Ini mendorong hadirnya perusahaan-perusahaan penyiaran yang lebih beragam. Peter F. Gontha, Bambang Trihatmodjo dkk, misalnya, mendirikan televisi satelit Indovision (kini MNC Vision), pada 16 Januari 1994.
Inilah televisi berlangganan pertama di Indonesia, yang tiada tandingan hingga 1998, hingga muncul Telkomvision sebagai televisi berlangganan berikutnya. UU tentang Penyiaran telah membuka peluang seluas-luasnya bagi para pemodal besar untuk terjun di bisnis pertelevisian.
Pada 12 Oktober 1999, lima perusahaan penyiaran televisi baru berhasil lulus seleksi dan menerima izin siaran. Perusahaan-perusahaan ini yaitu Trans TV, MetroTV, Global TV, PRTV (yang kemudian berubah menjadi Lativi), dan DVN TV yang kemudian menjadi TV7.
Baca juga: KH. Ahmad Sanusi, Ulama Penengah Kebuntuan Sidang BPUPKI
Pada 28 Desember 2002, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997. UU ini mengubah struktur kelembagaan TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
UU tersebut juga memberikan landasan bagi sistem penyiaran yang lebih terdesentralisasi, dengan mengadopsi sistem berjaringan. Stasiun-stasiun televisi swasta yang bersiaran secara nasional dari Jakarta dengan hanya mengandalkan stasiun transmisi di daerah-daerah kini diwajibkan mendirikan stasiun-stasiun lokal.
UU tersebut bertujuan mewujudkan keberagaman kepemilikan dan isi siaran. Berdasar aturan itu, stasiun penyiaran TV harus bersiaran secara lokal, kecuali melalui jaringan. Pemberlakuan UU ini berdampak menumbuhkan keinginan masyarakat mendirikan perusahaan TV.
Sejak penerapan UU Penyiaran, jumlah stasiun TV melonjak drastis, dari 11 menjadi 1.251 lembaga pada 2016, yang sebagian besarnya merupakan stasiun TV kecil. Namun pada 2017, jumlah stasiun TV berkurang menjadi 1.071, karena sebagian stasiun TV kecil tidak mampu menghadapi persaingan.
Stasiun-stasiun TV tersebut terdiri dari 14 TV publik; 371 TV berlangganan; 671 TV swasta, dan 13 TV komunitas. Dari sejumlah tersebut, beberapa perusahaan TV memiliki banyak ‘anak perusahaan’ dan membangun jaringan penyiaran sehingga cenderung mendominasi siaran TV Indonesia. [AT]