Megawati memperhatikan potret dirinya, didampingi anaknya, Prananda Prabowo, ketika meresmikan Perpustakaan dan Museum Bung Karno di Bali, 22 November 2015/istimewa

Koran Sulindo – Hari ini 70 tahun yang lalu seorang perempuan dilahirkan dalam hujan badai di Yogyakarta.

“Aku takkan melupakan peristiwa tanggal 23 Januari 1947 tersebut. Pada malam itu, guntur seakan hendak membelah angkasa. Istriku terbaring di kamar tidur yang telah disediakan. Tiba-tiba saja lampu padam. Atap di atas kamar runtuh, mega yang gelap dan berat melepaskan bebannya dan kemudian air hujan langsung mengalir ke dalam kamar bagaikan sungai. Dokter dan juru rawat mengangkat Fatmawati ke kamar tidurnya sendiri. Dia basah kuyup seperti juga semua peralatan dokter, kain sprei dan segala-galanya. Dalam kegelapan, dengan penerangan cahaya pelita, lahirlah putri kami, Megawati.”

Hanya kelahiran anak kedua dan putri sulungnya itu yang dilukiskan begitu rinci dan dahsyat oleh bapaknya, Ir Soekarno.

Baru setahun berselang, pada 4 Januari 1946 malam,  Bung Karno, Bung Hatta, dan seluruh pejabat negara yang belum seumur jagung itu memutuskan pindah ke Yogyakarta. Pada 3 Januari 1946, situasi memang makin gawat. Beberapa kali Bapak Bangsa itu mengalami percobaan pembunuhan. Soekarno menggelar rapat memindahkan ibu kota dari Jakarta ke pusat kebudayaan Jawa itu. Yogya dirasa aman dari gangguan Belanda dan anjing NICA-nya; fasilitas kota kecil itu juga memadai menjadi ibu kota sementara.

“Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak,” kata Bung Karno.

Dalam suasana revolusi bangsa baru yang, mengutip puisi Chairil Anwar, baru bisa bilang “Aku” itulah Megawati dikandung dan dilahirkan Fatmawati.

Hampir 3 tahun masa-masa awal hidupnya Megawati menghirup udara Yogya, dalam suasana perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan bapaknya; dalam kondisi miskin bersama-sama dengan semua anak-anak pejabat negara saat itu.

Kelak, melompat beberapa tahun kemudian, Megawati tetap bertahan dengan bapaknya ketika ibunya, Fatmawati, meninggalkan istana. Dan ia sejak itu bertindak sebagai ibu bagi adik-adiknya dan sebagai ibu negara ketika Soekarno berkunjung ke negara lain.

Peran baru itu membuat Megawati terdidik menjadi sosok yang tangguh, namun juga pendiam.

Ibu rumah tangga itu memiliki biografi hidup yang lebih dramatik daripada sinetron. Ia harus putus kuliah dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung karena pergolakan politik Oktober 1965. Ia kehilangan suami pertamanya, Letda Penerbang Surindro Supjarso, karena pesawat yang dibawanya di Perairan Biak, Papua, 22 Januari 1970, jatuh. Ia tak dapat melanjutkan kuliah di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, pada 1972 karena situasi ekonomi keluarga, dan seterusnya.

Kelak, melompat lagi beberapa tahun kemudian, ia hampir-hampir sendirian menghadapi kekuasaan yang memasung. Memasuki partai politik di masa penguasa yang melengserkan bapaknya sedang kuat-kuatnya, Megawati mungkin tahu ia akan dihantam kanan kiri depan belakang.

Pada 1986 Megawati masuk Partai Demokrasi Indonesia, pada 1993 ia sudah di pucuk tertinggi partai itu, dan serangan baik halus dan keji diterimanya dengan tenang.

Keteguhannya menghadapi serangan dari pemerintah dan orang-orang dalam partainya sendiri, meninggikan kedudukan dan moralnya di antara para pendukungnya dan rakyat.

Dan itu langsung terlihat paling menyolok ketika Megawati memasuki tahun ketiga sebagai Ketua Umum PDI: Ia telah melangkah lebih jauh dari sekadar simbol pewaris bapaknya.

Megawati merengkuh reputasi dalam moralitas, kejujuran, kebenaran, dan kesantunan karena tetap tenang dan sabar menghadapi para durjana keji yang mencoba menjatuhkannya.

Pemimpin berkelas dunia yang pendiam itu memang berkepribadian emas. Megawati teguh memegang prinsip, konsisten, dan visioner. Dia seorang pejuang sekaligus simbol dan inspirasi reformasi.

Perjuangannya menegakkan demokrasi ketika negaranya dalam keadaan terpasung Orde Baru  memicu keberanian tokoh-tokoh lainnya ikut dalam gerbong reformasi.Tanpa putri pertama Bung Karno tersebut reformasi di Indonesia belum tentu terjadi.

Ibu yang pendiam itu pemberi inspirasi bangkit bersama. Ia memberi keberanian anak-anaknya berkumpul dan berorasi menumpahkan segala kemarahan terhadap penguasa yang represif di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta pada 1996.

Peristiwa 27 Juli 1996 tak menyurutkan perlawanannya. Megawati sadar saat itu dibutuhkan seorang pemimpin sebagai simbol perlawanan. Jika dia surut bisa jadi gerbong perlawanan yang makin membesar di belakangnya itu pun terhenti.

Megawati adalah seorang pemimpin berkepribadian kuat. Ia tak mudah dipengaruhi jika tidak sesuai dengan nurani dan visinya tentang cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Baginya visi dan misi para pemimpin bangsa ini tak bisa lain dari visi dan misi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Megawati juga tak bisa didikte kekuatan mana pun, baik dari dalam negeri apalagi dari luar negeri. Dia dengan lantang menolak tindakan balas dendam Amerika Serikat menyerang Afganistan dan Irak, kendati tetap menentang terorisme global.

Masih segar dalam ingatan bagaimana di awal-awal reformasi para pengikutnya sukarela menorehkan cap jempol darah, menjelang penyelenggaraan pemilihan umum 1999: Pejah Gesang Nderek Mega. Hidup mati tetap bersama Megawati. Masih terbayang juga bagaimana sudut-sudut kampung, sudut-sudut kota, penuh dengan posko-posko PDIP yang swadaya dan swadana, hanya karena seruan Megawati.

Pada 1999, sebelum jajak pendapat berlangsung di Timor Timur, massa pendukung kemerdekaan beramai-ramai ke Bandara Komoro, Dili, sambil membeberkan sebuah spanduk besar berbunyi, “Mega Ibu Kami”. Saat seorang peninjau asing berbisik pada salah seorang pendukung itu, “Apa kalian tidak tahu Megawati tidak setuju TimTim merdeka?” Dijawab: “Biar saja, tetapi Megawati ibu kami”.

Megawati telah menjadi personifikasi bangsa ini. Untuk sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk para penentang integrasi Timtim, Megawati adalah Ibu Pertiwi.

Selamat ulang tahun, Ibu. [Didit Sidarta]