Selamat Tinggal Pilkada yang Brutal

Ilustrasi

Koran Sulindo – Sampai beberapa hari menjelang pencoblosan putaran kedua Pilkada DKI Jakarta pada 19 April 2017 siapa akan memenangkan pemilihan umum daerah paling brutal dan mencapekkan dalam sejarah Indonesia itu masih samar-samar. Sebuah lembaga survei mengunggulkan pasangan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hadi 1-2 persen di atas lawannya. Lembaga survei yang lain menghitung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno unggul 2 persen dari pesaingnya.

Pilkada Jakarta 2012 sama situasinya: hingga beberapa hari menjelang pemungutan suara, sejumlah lembaga survei masih mengunggulkan pasangan Jokowi-Basuki Purnama, namun sebagian besar menyebut selisihnya dengan suara dari pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli terlalu tipis.

Sama seperti 5 tahun lampau, bermacam survei masih menyisakan kemungkinan salah hitung hingga 5 persen. Namun yang paling menonjol dalam Pilkada kali ini adalah responden yang belum menentukan pilihan.

Lembaga Indo Barometer misalnya menyebutkan jumlah mereka hingga 22 persen, angka yang besar sekali. Apalagi dalam detil penjelasan survei, responden yang mau menjawab pertanyaan hanya 55 persen; artinya bagian besar pemilih sisanya itu akan menentukan hasil pemenang nanti langsung melalui tempat pemungutan suara (TPS).

Tak heran, TPS pada pilkada Jakarta tahun ini tak hanya diisi saksi dan pemantau, tapi juga 1 orang anggota TNI dan 1 orang Polisi Perwira Menengah di sebanyak 15 ribu tempat yang bertebar di ibukota negara ini.

Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) menyatakan jumlah pemilih diam yang makin besar dalam Pilkada Jakarta dari tahun ke tahun. Mereka ini memang terbiasa tidak menentukan pilihan cepat-cepat. Mereka menunggu ada informasi tentang program substantif para calon, bukan sekedar lontaran isu seperti SARA.

Sayangnya pola kampanye Pilgub Jakarta 2017 ini tak banyak berubah dari 5 tahun lalu, masih banyak berkisar pada persoalan isu, bukan program.

Dan dalam bentuknya yang paling brutal. Politisasi agama dijabarkan dalam aksi jalanan bernomor seperti 114, 212, 312, dan seterusnya. Aksi 212 bahkan mampu membuat jalanan Jakarta di sekitar Monas penuh lautan manusia berbusana putih. Ada yang menyebut sekitar 300 ribu, ada yang mengklaim 7 juta orang: mereka mengkafirkan salah satu calon gubernur karena dianggap menistakan agama.

Yang terlupakan dalam gaduh Pilkada kali ini, ternyata, jumlah pemilih yang sudi datang ke TPS meningkat pesat. Jika putaran pertama 5 tahun lampau jumlah pemilih hanya 60% dari total yang mempunyai hak pilih, maka pada putaran pertama Pilkada 2017 jumlah pemilih naik menjadi 77 persen. Selain kesadaran pemilih yang meningkat, kampanye KPU bolehlah dikatakan berhasil.

Pemilih terdaftar di Jakarta saat ini sekitar 7 juta jiwa. Dengan jumlah pemilih yang belum mau mengatakan pilihannya antara 17 hingga 22 persen menurut berbagai lembaga survei, gubernur dan wakil gubernur 2017-2022 masih baru akan diketahui pada 19 April 2017 sore hari.

Yang menentukan gubernur 5 tahun ke depan adalah mereka yang diam, yang tak mau dicatat lembaga survei, yang tak peduli hiruk-pikuk di media sosial. Orang-orang seperti ini tetap berusaha rasional, mereka memilih calonnya dengan menggunakan akal sehat. Ahok diuntungkan karena 3 tahun terakhir menjadi gubernur yang kelihatan mau dan bisa bekerja. [DAS]