Sekali Lagi tentang Kereta Api Supercepat Jakarta-Bandung

Sulindomedia – Giliran Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mengkritisi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Menurut Direktur Transportasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional- Bappenas, Bambang Prihartono, proyek itu lebih banyak rugi ketimbang untung.  “Karena pembangunan proyek transportasi massal memang bukanlah suatu proyek yang menguntungkan,” ujar Bambang Prihartono kepada wartawan di Jakarta, Jumat pekan lalu (12/2/2016).

Kendati begitu, proyek itu tetap akan menjadi tanggung jawab pemerintah. “Di mana-mana, pembangunan proyek angkutan massal itu rugi. Di sini orang sering salah, dikira membangun proyek angkutan itu untung,” katanya.

Rencana proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sejak awal mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Pemerintah memutuskan tidak memakai Anggaran Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek ini sehingga dilakukan skema kerja sama swasta dengan membentuk BUMN baru, yakni PT Pilar Sinergi yang beranggotakan PT KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga, dan PTPN VIII. Konsorsium ini akan bekerja sama dengan konsorsium Cina dengan kredit sepenuhnya dari China Development Bank. Komposisi saham Indonesia 60% dan Cina 40%.

Anggota konsorsium Indonesia tidak akan menyetor uang, hanya tanah atau jasa sebagai modal penyertaan. Misalnya Wijaya Karya hanya menyumbang jasa pekerjaan sipil dan PTPN VIII akan mengonversi lahan kebun tehnya menjadi kota baru dan lahan kereta.

Proyek menelan anggaran sebesar US$ 5,6 miliar atau Rp 76 triliun dan 75% dibiayai lewat utang. Sedangkan sisanya akan ditanggung konsorsium bersama. Kalau dilihat dari komposisi saham, Indonesia punya kewajiban US$ 2,51 miliar.

Secara terpisah, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah agar membatalkan lantaran terlalu dipaksakan dan mubazir. Terlebih pangsa pasar masyarakat dari Jakarta-Bandung dan sebaliknya tidak begitu banyak.

“Membangun KA supercepat tidak terdapat dalam masterplan kebijakan transportasi nasional. Ini artinya KA supercepat tidak jelas arah dan tujuannya, untuk apa dan untuk siapa,” ujar Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, Jumat itu juga.

Menurut dia, seharusnya pemerintah fokus untuk membenahi akses transportasi umum di kota-kota besar yang saat ini sudah mati suri dibanding membangun kereta cepat.

“Membangun KA supercepat juga bukan hal yang efisien dari sisi kebijakan transportasi. Untuk apa dengan KA supercepat, tetapi untuk menuju ke lokasi stasiun perlu waktu lebih dari 2 jam, karena didera kemacetan? Akan lebih elegan mengatasi kemacetan di Jakarta daripada membangun KA supercepat,” tutur Tulus.

Pemerintah mestinya berpikir ulang dengan pembangunan proyek ini. Dengan anggaran proyek yang sebesar itu, sebenarnya kita bisa membangun jalan tol ratusan kilometer  di Sumatera, pelabuhan baru, bendungan, bahkan kereta api di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi. Efeknya bagi ekonomi rakyat akan jauh lebih besar.

Anggaran proyek bisa dialihkan dengan cara mengaktifkan lagi jalur jalur kereta api yang sudah mati seperti Jalur kereta Padangpanjang-Payakumbuh atau Rangkasbitung-Labuan sampai ke Tanah Abang-Jakarta karena lebih dibutuhkan masyarakat.

Menurut Tulus, pembangunan kereta cepat akan menciptakan ketimbangan  infrastruktur antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Padahal, Presiden Joko Widodo berkali-kali menyampaikan ingin membangun proyek-proyek infrastruktur di luar Jawa—termasuk tol laut—untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. [ARS/PUR]