Koran Sulindo – Dari mana Bung Karno pertama kali mempelajari ajaran agama Islam? Dalam buku otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Putra sang Fajar mengatakan, “Kakekku menanamkan pada diriku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari Bapak datang teosofi dan Islamisme. Dari Ibu, Hinduisme dan Buddhisme.”
Pengetahuannya tentang Islam bertambah ketika tinggal di rumah Hadji Omar said Tjokroaminoto, sewaktu sekolah di HBS Surabaya. “Aku juga seorang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan, sifat yang melekat padaku sejak lahir. Aku tak pernah mendapat didikan agama yang teratur karena Bapak tidak mendalaminya. Aku menemukan sendiri agama Islam pada usia 15 tahun, ketika aku mengikuti keluarga Pak Tjokro, masuk satu organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah. Gedung pertemuannya terletak di seberang rumah kami di Gang Peneleh. Sekali sebulan, dari pukul delapan sampai tengah malam, seratus orang berdesak-desakan mendengarkan pelajaran agama dan ini disusul dengan tanya-jawab,” tutur Bung Karno dalam buku yang sama.
Ketika berkuliah di Bandung, tahun 1920-an, ia juga mengaku semakin dekat dengan Tuhan karena beratnya beban hidupnya, terutama karena masalah keluarga dan ditangkapnya Tjokroaminoto oleh Belanda pada tahun 1921 . “Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Bahkan selagi aku melangkah ragu pada awal jalan yang menuju kepada ketuhanan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan seseorang. Menurut jalan pikiranku, kemerdekaan bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama,” katanya.
Tahun 1930, Bung Karno ditangkap pemerintah kolonial Belanda karena dituduh ingin melakukan makar. Pengadilan memutuskan hukuman penjaran selama empat tahun. Bung Karno lalu dijebloskan ke Penjara Banceuy, lalu dipindahkan ke Penjara Sukamiskin dengan masa hukuman 4 tahun.
Di dalam penjara, ia banyak membaca buku keagamaan dan merenung. “Aku menemukan Islam dengan sungguh-sungguh dan benar. Di dalam penjaralah aku menjadi penganut Islam yang sebenarnya,” tuturnya.
Empat tahun kemudian, tahun 1934, Bung Karno dibuang ke Ende, Flores. “Di Ende yang terpencil dan membosankan itu aku memiliki banyak waktu untuk berpikir. Di depan rumahku tumbuh sebatang pohon kluwih. Berjam-jam lamanya aku duduk bersandar pada pohon itu, memanjatkan harapan dan keinginan. Di bawah dahan-dahannya aku berdoa dan berpikir, mengenai suatu hari… suatu hari…. Itu adalah perasaan yang sama yang menguasai MacArthur di kemudian hari. Dengan setiap sel saraf berdenyut dalam seluruh tubuhku, aku merasakan bahwa bagaimanapun juga—di mana saja—kapan saja—aku akan kembali. Hanya semangat patriotisme yang menyala-nyala itu yang masih berkobar di dalam dadaku, yang membuat aku terus hidup,” kata Bung Karno, sebagai diungkapkan dalam otobiografinya.
Pada masa inilah, Bung Karno berkorespondensi dengan pendiri Persatuan Islam, A. Hassan. Pembicaraan keduanya banyak berkisar soal agama Islam. Selain itu, Bung Karno juga lebih banyak merenung. “Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila,” ungkap Bung Karno.
Dari Ende, Bung Karno dibuang ke Bengkulu pada tahun 1938. Di sini, kembali ia mendapat ilmu agama Islam, karena berinteraksi dengan penggiat Muhammadiyah. Bahkan, Bung Karno juga menjadi guru di sekolah Muhammadiyah.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D., Bung Karno adalah tokoh yang sangat agamis. Bung Karno bukanlah tokoh yang sangat sekuler dan tidak peduli kepada agama. Demikian disampaikan Mahfud pada buku Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran yang ditulis oleh Wakil Bupati Trenggalek-Jawa Timur, Mochamad Nur Arifin.
Diungkapkan Arifin dalam bukunya, dari berbagai adegan sejarah hidupnya jelas terlihat betapa islamisnya Bung Karno. Ada banyak peristiwa dan tindakan Bung Karno yang menunjukkan ia sosok yang sangat menekankan aspek religiositas. Dalam diri Bung Karno, antara nasionalisme dan religiositas menyatu tanpa sekat. Ia sosok yang melampaui (beyond) dikotomi keduanya. Bung Karno figur yang nasionalis sekaligus religius.
Dijelaskan pula, pemikiran Bung Karno tentang keislaman dan keindonesiaan merupakan hasil pembacaan-nya terhadap ayat-ayat Alquran, antara lain “tafsir” Bung Karno atas surat al-Hujurat. Dalam pandangan Bung Karno, ijtihad adalah apinya Islam. Api Islam bisa terus terjaga selama spirit energi ijtihad tetap dijaga. Bila pintu ijtihad ditutup hilanglah progresivitas dan kedinamisan Islam.
Umat Islam, menurut Bung Karno, bisa mengejar kemajuan saintifik dan teknologi jika tafsir atas ayat-ayat Al-Quran dihidupkan dengan spirit ijtihad. Apalagi, Alquran mencakup semua disiplin ilmu. Karena itu, sangat disayangkan jika ilmu-ilmu yang ada di dalamnya tak bisa ditemukan oleh para penafsir Alquran. Agar menemukan peta jalannya, menurut Bung Karno, para penafsir harus menggunakan spirit ijtihad.
Dalam pandangan Bung Karno, taklid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam. Sejak ada aturan taklid, ungkap Bung Karno, di situlah kemunduran Islam cepat sekali. “Tak heran! Di mana genius dirantai, di mana akal fikiran diterungku, di situlah datang kematian,” katanya dalam salah satu suratnya kepada A. Hassan, yang ketika itu tinggal di Bandung. Surat itu termuat dalam buku yang ditulis Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I (1964).
Islam, ungkap Bung Karno lagi, harus berani mengejar zaman. “… bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?” demikian petikan salah satu surat Bung Karno kepada A. Hassan juga.
Bung Karno juga mengungkapkan, ribuan orang Eropa yang masuk Islam pada abad ke-20 mendapat pengetahuan tentang Islam justru bukan dari guru-guru yang hanya menyuruh muridnya beriman dan percaya saja. “Bukan dari mubaligh-mubaligh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tasbih saja, tetapi dari mubaligh yang memakai cara penerangan yang masuk akal — karena berpengetahuan umum. Mereka masuk Islam karena mubaligh-mubaligh yang menghela mereka itu ialah mubaligh-mubaligh modern dan scientific dan bukan mubaligh ‘ala Hadramaut’ atau ‘ala kiai bersorban’. Percayalah bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam,” tulis Bung Karno.
Nabi Muhammad merupakan sosok yang sangat mengagumkan dalam pandangan Bung Karno. Nabi Muhammad adalah simbol revolusi, yang sangat menginspirasi Bung Karno. Karena itu, pada diri dan pemikiran Bung Karno terkonvergensi keindonesiaan sekaligus keislaman. Bagi Bung Karno, bertuhan itu sekaligus berindonesia dan berindonesia itu sekaligus berislam. Tak ada pemisahan atas semua itu, melainkan semuanya bersinergi membentuk sebuah filosofi, visi, dan nilai-nilai bersama, yang tercakup dalam Pancasila.
Arifin dalam bukunya juga memaparkan titik temu Bung Karno dengan Nahdlatul Ulama (NU), yakni ijtihad kebangsaan Bung Karno bertemu dengan ijtihad keislaman NU di “terminal” bernama Pancasila. Menurut Arifin, itu merupakan suatu sinergi yang apik: tokoh besar nasionalis bertemu dengan ormas besar religius dalam sebuah gagasan yang menyatukan kedua latar belakangnya tersebut, yakni nasionalisme-religius. [Purwadi Sadim]