Tepat pada tanggal 1 Juli setiap tahun, rakyat Burundi memperingati sebuah tonggak sejarah penting: Hari Kemerdekaan dari penjajahan Belgia pada tahun 1962. Namun, berbeda dengan nuansa perayaan kemerdekaan di banyak negara lain yang biasanya diramaikan oleh parade dan pesta rakyat, peringatan ini di Burundi berlangsung dalam suasana yang jauh lebih tenang dan penuh refleksi.
Sebab, di balik tanggal bersejarah tersebut, tersimpan jejak panjang pergolakan politik, konflik etnis, dan krisis kemanusiaan yang pernah mendera negeri kecil di jantung Afrika ini.
Letak Geografis dan Komposisi Demografis
Mengutip laman World Atlas, Republik Burundi terletak di wilayah Great Lakes di Afrika Tengah dan Timur. Negara ini merupakan negara yang terkurung daratan (landlocked), berbatasan langsung dengan Tanzania di sebelah timur dan selatan, Rwanda di utara, serta Republik Demokratik Kongo (DRC) di barat.
Dengan luas wilayah sekitar 10.745 mil persegi (sekitar 27.830 km²), Burundi memiliki populasi sekitar 9,8 juta jiwa, menjadikannya salah satu negara dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia.
Secara etnis, populasi Burundi terbagi menjadi tiga kelompok utama yang telah menetap di wilayah ini selama setidaknya lima abad. Suku Hutu mencakup sekitar 85% penduduk, suku Tutsi sekitar 13%, dan suku Twa—kelompok masyarakat adat pertama yang menghuni wilayah ini—kini hanya tersisa kurang dari 1% dari total populasi.
Kerajaan Kuno yang Lestari hingga Era Kolonial
Dikutip dari laman National Today, Burundi awalnya berdiri sebagai kerajaan independen sejak akhir abad ke-16. Kerajaan ini diperintah oleh seorang mwami (raja) dengan sejumlah pangeran dan bangsawan lokal sebagai pemimpin wilayah. Struktur pemerintahan dan masyarakat kerajaan ini terus berkembang hingga awal abad ke-20, saat imperialisme Eropa mulai mencengkeram Afrika.
Pada tahun 1890-an, Burundi dianeksasi oleh Kekaisaran Jerman sebagai bagian dari koloni besar Afrika Timur Jerman, bersama Rwanda dan wilayah daratan Tanzania. Namun, kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I membuka jalan bagi Belgia untuk mengambil alih kendali wilayah ini.
Berdasarkan Perjanjian Versailles tahun 1919 dan mandat Liga Bangsa-Bangsa, wilayah ini dijadikan koloni Ruanda-Urundi di bawah administrasi Belgia sejak Oktober 1924.
Politik Identitas dan Benih Konflik
Selama masa kolonial, pemerintah Belgia menerapkan strategi pemerintahan tidak langsung dengan memanfaatkan kelompok minoritas Tutsi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan kolonial. Struktur administratif dan birokrasi dikuasai oleh Tutsi, yang menyebabkan ketegangan dengan mayoritas Hutu yang secara sistematis disisihkan. Kebijakan kolonial ini tidak hanya memperkuat perbedaan etnis, tetapi juga menciptakan polarisasi tajam yang membekas hingga masa pasca-kemerdekaan.
Menjelang akhir era kolonial, gelombang dekolonisasi mulai merambah Afrika. Pada tahun 1959, Raja Mwami Mwambutsa IV dari Burundi secara resmi mengajukan permintaan kepada pemerintah Belgia untuk memberikan kemerdekaan. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1 Juli 1962, Burundi resmi memproklamasikan kemerdekaannya dan diakui sebagai negara berdaulat.
Pada saat itu, Burundi mempertahankan bentuk pemerintahan monarki konstitusional dengan Raja Mwambutsa IV sebagai kepala negara. Pada 18 September 1962, Burundi diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun, euforia kemerdekaan tidak berlangsung lama. Dinamika politik internal yang belum stabil, serta ketegangan etnis yang diwarisi dari era kolonial, menyebabkan gelombang kudeta, konflik, dan kekerasan. Hanya empat tahun setelah kemerdekaan, pada tahun 1966, sistem monarki dibubarkan melalui kudeta dan digantikan dengan republik satu partai yang lebih sentralistik.
Tragedi Genosida dan Perang Saudara
Dekade-dekade selanjutnya menjadi periode paling kelam dalam sejarah Burundi. Ketegangan antara Hutu dan Tutsi meletus menjadi konflik berdarah, yang berpuncak pada peristiwa genosida pada 1972 dan 1993. Perang saudara berkepanjangan menelan ribuan korban jiwa, menyebabkan jutaan orang mengungsi, dan menghancurkan fondasi sosial-ekonomi negara ini.
Meskipun proses perdamaian mulai dirintis sejak awal tahun 2000-an, baru pada 2006 Burundi mulai menikmati kedamaian relatif setelah berbagai upaya rekonsiliasi nasional dan reformasi politik dilakukan.
Saat ini, sistem pemerintahan Burundi adalah republik demokrasi perwakilan presidensial, dengan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Konstitusi yang diberlakukan sejak 13 Maret 1992 membuka ruang bagi sistem multipartai, dan diamandemen pada 6 Juni 1998 untuk mengatur keberadaan dua wakil presiden sebagai bentuk pembagian kekuasaan yang lebih adil.
Potret Sosial dan Ekonomi Burundi
Burundi masih menghadapi tantangan besar dalam bidang ekonomi dan sosial. Negara ini termasuk dalam kategori negara berkembang dengan infrastruktur dan fasilitas yang sangat terbatas.
Sekitar 80% tenaga kerja bekerja di sektor pertanian, namun sebagian besar hanya dalam skala subsisten. Kepemilikan lahan sangat terbatas, dan hanya sedikit warga yang memiliki lebih dari satu hektar tanah, menjadikan praktik pertanian berkelanjutan sangat sulit dilakukan.
Masalah kelaparan dan kekurangan gizi masih menjadi isu serius. Mayoritas masyarakat mengandalkan makanan nabati seperti jagung dan umbi-umbian, tanpa cukup asupan protein hewani. Hal ini menyebabkan tingginya kasus malnutrisi dan penyakit seperti kwashiorkor. Selain itu, hanya 13% penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sisanya tersebar di daerah pedesaan yang minim akses ke fasilitas pendidikan, kesehatan, dan informasi.
Akses internet di Burundi juga tergolong sangat rendah. Pada awal dekade ini, hanya sekitar 1,2% penduduk yang memiliki akses internet. Angka ini meningkat menjadi sekitar 4,5%, namun masih jauh di bawah rata-rata Afrika (39%) maupun rata-rata global (53%).
Ancaman Lingkungan dan Krisis Ekologis
Tiga taman nasional utama di Burundi—Kibira, Rusuzu, dan Ruvubu—menghadapi tekanan hebat akibat pertumbuhan populasi yang tidak terkendali. Masalah seperti erosi tanah, deforestasi, dan hilangnya habitat alami terus membayangi kelestarian lingkungan hidup di negeri ini. Tanpa kebijakan konservasi yang berkelanjutan, kekayaan alam Burundi berada di ambang kehancuran.
Meski penuh tantangan, masyarakat Burundi tetap mempertahankan kekayaan budaya dan tradisi mereka. Salah satu kebiasaan unik adalah minum bir tradisional bersama-sama dengan sedotan panjang dari teko yang diletakkan di tengah lingkaran. Tradisi ini masih dilestarikan hingga kini, bahkan dalam versi modern di bar dan kafe.
Sapi juga memiliki makna penting dalam budaya Burundi. Hewan ini bukan hanya sumber pangan, tetapi juga simbol kekayaan dan status sosial. Semakin banyak sapi yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pula kedudukan sosialnya di masyarakat.
Semboyan nasional Burundi, “Ubumwe, Ibikorwa, Iterambere”, yang berarti “Persatuan, Kerja, Kemajuan”, mencerminkan harapan untuk membangun bangsa yang stabil dan sejahtera. Namun, semboyan ini belum sepenuhnya terwujud, mengingat masih adanya fragmentasi etnis dan dominasi mayoritas terhadap minoritas.
Di luar isu politik dan sosial, Burundi juga dikenal oleh cerita legendaris tentang Gustave, seekor buaya Nil raksasa yang diyakini hidup di Sungai Ruzizi dan pesisir Danau Tanganyika.
Dengan panjang mencapai 18 kaki dan berat 2.000 pon, Gustave disebut-sebut telah membunuh lebih dari 300 orang. Hingga kini, hewan ini belum berhasil ditangkap, dan tetap menjadi simbol teror sekaligus mitos hidup bagi masyarakat sekitar.
Perjalanan Burundi sejak kemerdekaan adalah kisah tentang ketangguhan menghadapi krisis, tentang masyarakat yang mencoba bangkit dari bayang-bayang kolonialisme, konflik etnis, dan kemiskinan struktural.
Tanggal 1 Juli bukan hanya peringatan atas lepasnya kendali penjajah, tetapi juga hari refleksi atas pencapaian dan kegagalan, serta harapan akan masa depan yang lebih baik.
Meski tantangan masih membentang luas, dari kemiskinan hingga kerusakan lingkungan, dari ketimpangan sosial hingga infrastruktur yang lemah, Burundi tetap berdiri. Sebuah negara kecil dengan sejarah besar dan semangat rakyatnya yang tak pernah padam untuk mencari arti sejati dari “Persatuan, Kerja, dan Kemajuan.” [UN]